REVAN
Dering ponsel membangunkanku dari tidur. Kulihat jam di nakas yang menunjukkan pukul 12 malam. Siapa yang menelepon malam-malam seperti ini? Dengan sedikit kesal kuambil ponselku dan menjawab tanpa melihat lagi siapa yang menelepon.
"Halo," kataku dengan suara serak
"Happy Birthday, Papa!!!" teriak keempat anakku disebrang. Aku pun tertawa mendengar suara penuh keceriaan mereka di telepon. Aku menegakkan tubuh dan duduk bersandar pada kepala tempat tidur agar bisa bangun sepenuhnya untuk mendengarkan suara anak-anak yang aku rindukan.
Aku bahkan tidak ingat aku berulang tahun hari ini. Banyak hal lain yang kupikirkan belakangan ini yang jauh lebih penting dari ulang tahunku sendiri. Lagipula sejak dulu, aku tidak pernah memusingkan ulang tahunku. Bagiku yang selalu kuingat adalah ulang tahun Demi. Ya, aku bahkan tidak ingat tanggal ulang tahun anak-anak kami kalau bukan Demi yang mengingatkannya.
Benar-benar Papa yang payah.
"Makasih, Sayang. Kalian kok belum tidur?"
"Kita tadi udah tidur. Tapi bangun lagi biar bisa ngasih selamat pas tengah malam," seru Dee bersemangat. "Papa seneng kan Dee ucapin selamat pas jam 12?"
"Iya, Papa senang, Sayang."
"Tapi tadi kamu kan susah dibangunin. Dasar kebo!" potong Rion mengajak ribut adiknya seperti biasa. "Sama aja kaya Kak Devan."
"Biarin! Bweee," seru Dee tidak mau kalah hingga membuatku tertawa kecil.
"Dasar anak jelek!" sahut Rion juga tidak mau kalah.
"Hei, sudah. Jangan bertengkar!" kataku mengingatkan keduanya yang selalu seperti Tom dan Jerry. "Di ulang tahun Papa, Papa mau anak-anak Papa jadi anak yang manis."
"Iya, Pa!" jawab keduanya serentak.
"Pa!" Terdengar suara lembut Livie. "Semoga panjang umur, makin banyak rezeki, sehat selalu, cakep selalu-," kata Livie yang langsung disoraki ketiga saudaranya. "Semoga Papa makin sayang kami. Livie sayang Papa."
"Amin. Makasih ya, Liv. Papa juga sayang Livie," jawabku dengan senyum lebar tersungging.
"Pa, aku juga doain semoga perusahaan Papa bisa sukses lagi kaya dulu. Papa jadi bos yang paling hebat," ucap Devan diiringi suara tawa ketiga adiknya. "Semoga Papa bisa secepatnya pulang ke rumah dan kita bisa kumpul berenam lagi. Semuanya."
Aku terdiam mendengar ucapan Devan. Berkumpul bersama adalah hal yang paling kuinginkan saat ini. Bersama dengan anak-anak dan tentunya Demi. Apa mungkin ada keajaiban suatu hari nanti? Semoga saja. Doakan Papa bisa membujuk Mamamu ya, Sayang.
"Iya, amin. Semoga saja bisa terkabul ya, Dev."
"Pasti, Pa. Aku yakin pasti terkabul," jawab Devan penuh keyakinan yang membuatku tersenyum. "Karena Papa sayang kami semua dan Mama juga begitu." Senyumku semakin melebar mendengarnya. Mendengar langsung dukungan anak sulungku untuk tetap memperjuangkan keluarga kami.
"Pa, jadi kita makan di restoran apa nanti?" potong Rion yang selalu bersemangat kalau sudah membicarakan makanan. Persis dengan mamanya. "Yang enak kan, Pa?"
"Dimana ya?" kataku sambil setengah tertawa. "Kalian saja yang pilih. Papa ikut aja."
"Asik!" seru Rion dan Dee kegirangan.
Aku pun menggelengkan kepala mendengar mereka. Sebenarnya mereka senang karena aku berulang tahun atau senang karena akan makan enak?
"Besok Papa jemput pagi ya," ucapku yang membuat mereka bersorak semakin kencang. Kebetulan besok adalah hari Minggu, jadi aku bisa mengajak mereka pergi dari pagi. "Kalian siap-siap biar kita bisa jalan-jalan abis makan."
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Baby, Dont Cry [SUDAH DITERBITKAN]
Romance[CERITA AKAN DITERBITKAN SECARA SELF PUBLISH SEHINGGA SEBAGIAN BESAR BAB SUDAH DIHAPUS] "Aku akan membahagiakanmu seumur hidupmu, Sayang. Jadi tetaplah bersamaku, hingga ajal menjemput" Janji Revan pada sang istri, Demi. Namun, di saat usia pernik...