BAB 9

124K 6K 428
                                    

DEMI

"Sidang pertama perceraian anda dan Pak Revan akan dilakukan bulan depan. Kalau bisa, Ibu Demetra hadir dalam sidang tersebut," ucap Pak Erwin, pengacara yang kusewa untuk mengurus perceraianku dengan Revan, di telepon.

"Insya Allah saya hadir, Pak," ucapku dengan lirih. "Uhm, apa Pak Revan juga akan datang?" tanyaku mengenai seseorang, yang selama dua minggu ini tidak pernah kutemui, dengan jantung berdebar lebih cepat.

"Pengacaranya bilang kemungkinan besar beliau akan hadir juga. Belum bisa dipastikan karena saat ini Pak Revan sedang ada di luar negri untuk urusan pekerjaan."

"Oh, oke," ucapku sambil menghela napas tanpa sadar. Lega? Kecewa? Entahlah.

"Untuk perkembangan selanjutnya akan saya kabari lagi nanti, Bu Demetra."

"Iya, terima kasih banyak, Pak Erwin."

Aku meletakkan ponselku dan lagi-lagi menghela napas panjang. Setelah sebulan mengurus segala hal yang diperlukan, akhirnya tanggal sidang pertama perceraianku dan Revan ditetapkan. Seharusnya aku lega karena tidak lama lagi aku tidak akan memiliki hubungan apapun dengan Revan, tapi kenapa yang aku rasakan saat ini malah sebaliknya.

Sebulan berlalu amarahku pun perlahan surut bersamaan dengan diriku yang mulai bisa ikhlas menerima kalau keguguran yang kualami adalah suratan takdir. Tuhan memiliki rencananya sendiri untuk bayi kami dan tidak ada yang bisa kami lakukan untuk mencegahnya.

Namun, belakangan ini hal lain mengganggu pikiranku. Mengenai perceraianku dan Revan. Apa ini jalan yang terbaik? Apa aku tidak gegabah memutuskan untuk berpisah dari Revan? Aku mengatakan kalimat tabu itu di saat emosiku tidak stabil sehingga tidak dapat berpikir dengan baik. Aku hanya mengikuti emosiku saja tanpa mempertimbangkan hal lainnya. Aku memang membenci Revan tapi juga tidak bisa membohongi diriku sendiri kalau aku pun masih mencintainya.

Namun, hingga kini pun aku masih tidak percaya dengan alasan yang dia berikan, bahwa dia tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya dan Disha malam itu. Itu tidak masuk akal. Tidak mungkin mereka berdua bisa berakhir di ranjang bersama tanpa dia menyadarinya.

Mengingatnya kembali, membuat dadaku terasa begitu perih. Aku tak ingin memikirkannya, tapi bayangan Revan melakukan hubungan suami istri dengan Disha, yang seharusnya hanya dia lakukan denganku, membuatku begitu marah dan sakit hati.

Aku tidak percaya, dibalik penampilan baik-baiknya, Disha bisa begitu tega merayu lelaki yang jelas-jelas sudah berkeluarga. Tapi apa iya dia yang merayu Revan? Bagaimana kalau Revan yang merayu Disha? Revan bosan denganku yang sudah tidak menarik dan menggoda asistennya yang cantik itu. Bisa saja kan?

Atau tidak

Entahlah. Aku tidak tahu siapa yang harus aku percaya. Hatiku mengatakan untuk memaafkan Revan dan mengizinkannya kembali ke sisiku –demi anak-anak dan juga diriku-, tapi akal sehatku mengatakan untuk memutuskan hubungan kami dan tidak lagi berurusan dengan dia yang berulang kali menyakiti hatiku.

Hati atau logika? Mana yang harus aku ikuti?


***


"Bu Demi, ada Bapak datang," kata Mbak Asih sambil memasuki dapur, saat aku sedang memasak untuk makan siang anak-anak nanti sepulang dari sekolah.

"Bapak?" tanyaku bingung karena setahuku Papa tidak mengatakan akan datang hari ini. "Bapak siapa, Mbak?" tanyaku lagi memastikan siapa tamu yang dimaksud.

"Bapaknya anak-anak, Bu. Pak Revan."

Tanganku yang tadinya sedang mengaduk isi panci pun berhenti seketika. Ada urusan apa Revan ke sini? Anak-anak kan belum pulang. Terus dia mau ketemu siapa?

[2] Baby, Dont Cry [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang