Aku menghirup nafas dalam-dalam. Kueratkan sandangan tas dan menurunkan sedikit topiku. Matahari yang bersinar terik siang ini menyilaukan mata, namun harum yang samar-samar tercium di hidungku membuat kepalaku refleks terngadah pada sang mentari.
Harum yang tak pernah kulupakan. Harum yang selalu membuatku rindu.
Meski harus menunggu seratus tahun atau bahkan lima ratus tahun, aku tak akan pernah berhenti. . . . .
. . . . . .untuk mencarimu.
@@
"Boleh aku minta tolong ambilkan script novel di apartemen Karamatsu-sensei, Ichimatsu?"
Pertanyaan itu langsung menghentikan kegiatanku yang sedang memfotokopi berkas di sudut kantor. Aku menoleh.
"Tapi aku sedang memfotokopi ini." Kataku singkat.
"Setelah ini juga tak apa. Tolong, ya. Aku harus meeting dengan bagian produksi. Deadline novelnya minggu ini dan dia sudah berusaha keras menyelesaikannya hanya dalam waktu satu setengah bulan. Aku kasih uang saku untuk beli kue, deh." Pria dengan nametag "Choromatsu" membujukku dengan merapatkan telapak tangannya dan raut memelas bahkan menjanjikan sogokan.
Aku berpikir sekilas dan menghela nafas. "Baiklah."
Choromatsu bernafas lega, "Maaf ya, membuatmu repot. Kapan-kapan aku akan mentraktirmu makan malam." Ia mengeluatkan dompet dan memberikan selembar sepuluh ribu yen serta sebuah kunci. "Karamatsu-sensei orang yang ramah, hanya saja terkadang ia bersikap menyakitkan. Dia suka kue coklat, belilah bagianmu juga dan makanlah bersamanya. Ah, sekalian juga belikan makan siang untuknya, ya. Kalau sudah dekat deadline dia pasti akan memaksakan dirinya. Lalu, kalau dalam tiga dentingan bel dia belum membuka pintu atau tiba-tiba suara keras dari dalam, langsung masuk saja. Cari dia di ruang tengah kalau tidak ada di kamar. Mengerti?"
Aku mencerna cepat kata-kata Choromatsu dan mengangguk sambil menerima uang dan kunci yang ia berikan.
"Kalau aku belum ada sekembalimu taruh saja manuskripnya di atas mejaku. Terima kasih ya, Ichimatsu." Choromatsu pamit dan pergi dengan langkah terburu-buru.
Aku mengamati punggungnya sekilas. Di saat itu pula mesin fotokopi berhenti bekerja dengan setumpuk kertas hasil kerjanya dengan jumlah yang sesuai dengan inputan yang ku inginkan. Aku memasukkan uang dan kunci tersebut ke saku belakang celana dan secepatnya membawa tumpukan kertas itu pada orang yang memintaku.
Setelah meminta alamat apartemen Karamatsu-sensei, aku mengambil jaket, tas, kacamata hitam, masker dan juga topi di meja kerja dan pergi melangkah keluar kantor.
Teriknya matahari membuatku kembali mundur masuk ke tempat yang teduh.
"Ck." Aku mendecih dan berusaha untuk tak membuka mulut di antara kerumunan orang yang lalu lalang.
Kulit pucatku seakan terbakar saat sinar mentari mengenainya. Seharusnya tadi aku memakai payung, tapi aku khawatir akan terlihat aneh.
Aku menghela nafas. Kumasukkan tanganku ke saku jaket dan berlari menembus kerumunan orang-orang. Baru sekitar sepuluh menit, aku kembali berteduh dengan nafas terengah-engah. Masker membuat udara di sekitar mulutku pengap. Aku membukanya dan berganti mengkover mulut dengan tangan.
"Haahh. . . . Haaahh. . . . " mungkin pilihan terburuk keluar saat matahari seterik ini di musim panas. Tapi aku tak bisa menolak tawaran Choromatsu.
Karamatsu. . . . .
Wajahku langsung merona saat nama itu terngiang.
Meski bekerja di perusahan editorial, tapi aku bukan penggemar novel. Maksudku tidak fanatik. Aku suka membaca, tapi hanya di saat-saat ingin saja. Aku menyukai novel buatan salah satu novelist yang di ampu perusahaanku. Kalau jujur, karena dia lah aku memilih perusahaan itu. Kehidupan pribadinya sangat tertutup dan informasi tentangnya sangat sedikit beredar. Fansnya cukup banyak saat aku memeriksa di forum internet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mellifluous
FanfictionAku hanya seorang vampire yang sedang jatuh cinta. Seratus tahun atau lima ratus, bahkan seribu tahun pun aku akan terus menunggu perjumpaan kita yang selanjutnya. Hanya untuk melihat wajahmu. Hanya untuk mendengar suaramu. Aku selalu merindukanmu. ...