Suatu malam Marie tak ada di kamar. Sang pastor mengetahui itu ketika mengunjungi kamarnya tengah malam untuk sekadar mengecek.
Gadis itu pergi tanpa meninggalkan jejak dibelakangnya, Namun saat matahari terbit dia ada menyapa sang pastor dengan senyum lembutnya di depan altar.
Sang pastor hanya terpaku. Mendadak tenggorokannya terasa kering dan pikirannya berputar tak menentu.
Kemana Marie tadi malam? Apa yang ia lakukan? Kapan dia kembali? Kenapa dia pergi tiba-tiba tanpa memberitahunya?
Semua pertanyaan itu hanya mengawang di dalam pikiran sang pastor tanpa bisa ia katakan melalui bibirnya yang selalu mengatakan bahwa Marie adalah gadia baik.
"Pastor, aku tadi malam terjaga di depan Altar sepanjang malam. Berdoa kepada tuhan, agar kegundahan hatiku bisa ditenangkan." Ucap Marie saat sedang makan siang.
Pastor mengerjap. Bahkan tanpa perlu bertanya, ia sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaan dalam pikirannya. "Apa yang membuatmu gundah, Marie?" Tanyanya tenang.
"Manusia, pastor. Aku mengkhawatirkan mereka. Karena, manusia itu makhluk lemah yang angkuh pada tuhan tapi terus melakukan kejahatan. Ketika mereka dihadapkan pada kematian, mereka baru menjerit bahwa tuhan itu ada." Jawabnya sambil mengeratkan jemarinya yang saling bertautan.
Marie ibarat bunga matahari yang mekar sempurna di gereja ini, demikian kata-kata itu membesit di hati pastor.
"Marie, kau tahu kenapa kita memiliki rasa sakit?"
Gadis itu mengangkat kepala dan menggeleng. "Tidak, pastor. Tapi rasa sakit itu sangat menyiksa. Aku tak suka merasakan sakit."
"Saat sakit kau merasa lemah, kan? Ketika kau menjadi sangat lemah saat itu, apa yang kau pikirkan pertama kali?"
"Yang kupikirkan pertama kali. . . ." Bola mata Marie seolah melihat sesuatu yang sangat jauh. Ia membuka lembaran masa lalunya kebelakang.
Sang pastor memperhatikan baik-baik perubahan setiap gerak dari raut gadis tersebut. Terutama matanya. Kalau diperhatikan seolah kosong, namun pikirannya bergerak dengan cepat. Bagai lautan yang sangat luas dan kau terapung mengadah langit, tanpa waspada berapa dalam lautan itu atau hewan ganas apa saja yang saat itu tengah mengincarmu. Bisa dibilang, ada hal kompleks yang tak bisa dijawab langsung oleh Marie. Gadis itu menatap pastor seraya mengulas senyum polos.
"Tentu saja yang akan kupikirkan pertama kali adalah tuhan. Karena keberadaan tuhan ada tak hanya saat kita lemah. Hanya saja saat kita kuat, kita sering lupa padanya." Jawabnya dengan wajah berseri.
Kemanakah lautan luas yang tadi ada didalam matanya dan seketika langsung berubah menjadi padang bunga musim semi itu?
Sesaat sang pastor meragukan kata-kata dalam hatinya. Mungkinkah Marie bukan bunga matahari?
"Ya, kau benar, Marie. Dan tugas kita adalah membimbing agar mereka terus mengingat tuhan." Pastor bersikap netral. Ia mengulas senyum, mengapresiasi jawaban Marie.
Gadis itu tampak senang. Hari ini dia melakukan tugasnya dengan lebih semangat. Dengan senyumnya, ia mengundang banyak kebahagiaan di wajah masyarakat yang tinggal di sekitar gereja dan tiba-tiba saja mereka melangkah masuk hanya untuk sekedar bersyukur di depan altar.
Pastor merasa senang ada banyak jamaah yang datang. Tapi ia tak melepaskan pandangannya dari Marie. Sisi hatinya yang ingin terus percaya mulai merasakan suatu keganjalan.
Hal itu diperkuat ketika Marie kembali menghilang dua hari kemudian dan sang pastor tak menemukannya di depan Altar. Kemanakah sebenanarnya gadis itu? Apa ada yang ia sembunyikan dari sang pastor?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mellifluous
FanfictionAku hanya seorang vampire yang sedang jatuh cinta. Seratus tahun atau lima ratus, bahkan seribu tahun pun aku akan terus menunggu perjumpaan kita yang selanjutnya. Hanya untuk melihat wajahmu. Hanya untuk mendengar suaramu. Aku selalu merindukanmu. ...