Part 9:

116 12 8
                                    

Sejak dulu, ada lubang hitam dengan pusaran deras yang mengalir ke dasar jurang gelap di dalam hatiku. Aku tidak pernah mengerti bentuk dari perasaan yang membuatku merasa sesak tak tertahankan ini setiap kali melihat tanganku kotor penuh bercak darah. Rasanya hampa dan sakit, tapi aku tak bisa lari dari takdirku sebagai seorang vampire.

Hingga suatu hari kudengar kau memanggilku dengan suara lembut dan tanpa ragu mengulurkan tangan itu pada sosok dingin sepertiku yang butuh sentuhan kasih dari seseorang.

@

"...matsu... Ichimatsu."

Aku tersadar dari lamunan dan menolehkan kepala. Di sampingku, Karamatsu menunjukkan raut khawatir. Tangannya terangkat dan menepuk lembut puncak kepalaku.

"Kau tidak apa-apa?" Tanyanya.

Blush. Wajahku merona. Kutepis pelan tangan itu. "Ka-kau sudah dengar, kan, tadi? Aku ini vampire, jadi seharusnya kau lebih waspada." Kataku agak panik seraya memalingkan muka.

Karamatsu berwajah polos. Ia menarik tangannya. "Aku mendengarkan, kok. Soal kau vampire darah murni yang berumur lebih dari lima ribu tahun, terus meski vampire, kau bisa mengecap rasa makanan manusia, dan juga soal keluargamu yang saat ini sedang ada konflik dengan vampire lain. Kan Ichimatsu yang memintaku untuk mempercayai apa pun yang kau katakan. Aku yakin Ichimatsu tidak berbohong, jadi aku percaya." Ucapnya dengan mengulas senyum hangat.

Wajahku merah padam melihat senyum itu. Jantung berdebar keras hingga terasa mau meledak, hanya dengan mendengar kata-katanya saja sudah membuatku hampir tak bisa mengendalikan diri. "Ka-kau juga ingat kan, tadi... di depan pintu masuk... a-aku me...me...." Kalimatku putus-putus saat mengingat lagi kejadian sebelum ini. Tubuhku terasa terbakar dan kepalaku seperti berputar-putar. Akibat dorongan impulsif yang sudah meluap-luap dalam diriku, aku sampai spontan menciumnya saat kelegaan menyebar dalam dada.

"Menciumku? Ah! Aku juga sempat kaget, sih, tadi." Karamatsu melanjutkan dengan gelagat santai.

Aku malah risih melihat reaksinya itu. Kulempar bantal sofa padanya dengan agak kesal. Bruk. "Ke-kenapa reaksimu santai gitu, sih?" Heranku.

Karamatsu menangkap bantal itu. "Tunggu, Ichimatsu. Bukan begitu...." Tangannya melayang.

Aku yang panik spontan langsung menghindar. Dengan cepat, tangan Karamatsu yang lain juga segera bergerak menangkapku. Dia datang mendekat, aku pun mundur sejauh mungkin, hingga kami jatuh di sofa dengan dia di atasku. Aku tak bisa kabur dan hanya meringkuk dalam kunciannya. Karamatsu menangkap tanganku lalu menempelkan telapak tanganku di dadanya.

Deg deg deg deg deg

Kurasakan debaran kencang jantung Karamatsu yang membuat darah dalam nadinya mengalir cepat. Aku bergetar. Mataku bersinar saat samar-samar memproyeksi letak-letak urat nadi merah di tubuh Karamatsu dan memicu munculnya taringku. Kerongkonganku mendadak sesak.

"Apa ini bisa disebut santai?" Tanya Karamatsu. Tangannya menggenggam erat tanganku seolah tak ingin melepaskan barang sedetik.

Aku terdiam. Wajahku panas. Sesaat aku bisa melihat kegugupan dalam kilat matanya.

Mengerjap sekali, tiba-tiba Karamatsu menatapku dengan ekspresi sumringah. "Ah, matamu berubah jadi merah, Ichimatsu! Gigi taringmu juga jadi tajam!" Serunya seraya mendekatkan wajah supaya bisa melihat dengan jelas.

Aku buru-buru memalingkan muka. "Jangan! Bahaya! Kau bisa berubah jadi vampire kalau aku menggigitmu." Aku yang panik berusaha lepas darinya.

Aura Karamatsu dalam sekejap berubah pekat. GRAB! Ia menangkap kedua tanganku dan mengunciku dengan kekuatan penuh. Aku sampai terkejut saat kurasakan tubuhku tak berdaya dalam genggamannya, bahkan mendorong  tubuhnya saja terasa sulit.  "Jangan kabur, Ichimatsu." Ucapnya dengan nada suara rendah mengancam yang membuatku bergidik ngeri.

MellifluousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang