Di mata sang pastor, Marie adalah gadis biasa yang hanya kehilangan jalan hidup. Berdiri di ujung jurang yang di bawahnya hanya ada hamparan ombak besar dan bebatuan tajam, dengan tatapan kosong dan tubuh yang tanpa beban, kapan pun gadis itu pasti akan melompat. Tanpa ada keraguan, tanpa ada keinginan untuk menoleh kebelakang, yang ada harapannya untuk mengakhiri beratnya perjalanan hidup.
Marie hanya gadis rapuh yang butuh seseorang untuk menepuk punggungnya.
Memasang gambaran pada seseorang adalah langkah awal untuk mengenalinya. Berubah atau tidak, itu tergantung luasnya pengamatan. Namun saat ini, entah karena dorongan keegoisan, sang pastor hanya ingin menatap Marie sebagai gadis biasa.
Lihatlah. Dari altar gereja, sang pastor berdiri memunggungi kaca berelief sang bunda maria, menatap Marie yang tengah membacakan buku untuk anak-anak yang datang kemari di bangku nomor dua dari belakang.
Lihatlah. Wajah damai itu. Senyum lembut pada ekspresinya yang sama sekali tak memancarkan satu kebohongan. Gerakan tubuhnya yang natural tanpa di buat-buat. Dia hanya gadis biasa.
Namun menyimpan sebuah misteri.
Dan sang pastor masih melihat Marie sebagai gadis biasa, yang senyumnya seindah hamparan bunga matahari di belakang bukit gereja.
@@
Aku membuka mata. Wangi darah memenuhi rongga hidungku, namun pandanganku masih kabur.
"Aw!" Desahku saat kurasakan lenganku di tusuk jarum suntik.
Kelopak mataku terasa berat lagi.
"Wah wah. Sudah bangun, ya." Suara tawa seseorang tertangkap olehku dari jarak yang sangat dekat. "Maaf, ya. Aku minta beberapa tetes darahmu. Sebagai gantinya aku sudah menyiapkan makanan khusus. Masih segar karena baru di ambil." Ucapnya.
Aku diam. Mencerna apa yang terjadi dengan lambat karena masih setengah tersadar.
"Apa. . . .yang terjadi. . . . " bisikku dengan sekuat tenaga.
"Ada kekacauan." Jawab orang itu. "Dan kau tak perlu ikut campur. Kau kartu AS kita, jadi lebih baik beristirahatlah dan lindungi kekasihmu yang akhirnya kau temukan itu. Walau sebenarnya aku yang menemukannya lebih dulu." Ia tertawa garing sambil mengusap hidung.
Aku melempar wajah. Mataku menangkap bulan yang masih bersinar di langit malam, namun sinarnya semakin redup menyinari gelapnya ruanganku. Tanpa sadar tanganku tergapai, seolah tak ingin cahaya itu pergi. Namun, bahkan jariku tak mampu menggapainya.
Satu-satunya cahaya yang dapat kugapai. . . . .
"Karamatsu. . . . ."
Setelah mengatakan namanya, aku jatuh dalam tidur karena kekurangan darah.
@@
Ting tong
Suara bel di sore hari yang tak biasa membuatku was was. Aku beranjak dari tempat dudukku dan mendekati pintu perlahan. Kuintip sosok di luar melalui lubang kecil di pintu. Mataku terbelak saat melihat wajah yang sangat kuinginkan.
KLEK
Secepatnya kubuka pintu. Senyum dari satu-satunya cahaya bagiku terpancar di wajahnya.
"Selamat sore, Ichimatsu-san. Oh, syukurlah kau baik-baik saja." Sapa Karamatsu.
Aku mengerjap dan gerakanku kaku karena bingung -dan juga senang bukan main. "Ada apa kemari?" Tanyaku.
"Mengunjungimu. Tadi aku dari gedung editorial untuk membahas kelanjutan novel dan Choromatsu-san bilang kau sudah empat hari tidak datang ke kantor, jadi aku datang kemari untuk melihat keadaanmu." Jelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mellifluous
FanfictionAku hanya seorang vampire yang sedang jatuh cinta. Seratus tahun atau lima ratus, bahkan seribu tahun pun aku akan terus menunggu perjumpaan kita yang selanjutnya. Hanya untuk melihat wajahmu. Hanya untuk mendengar suaramu. Aku selalu merindukanmu. ...