Part 11: A Disaster Begin

120 9 15
                                    

Manusia dan vampire sudah cukup lama hidup berdampingan di satu wilayah yang sama. Berbaur, saling berkomunikasi, dan saling berinteraksi, tanpa manusia ketahui bahwa eksistensi yang seharusnya bersembunyi di balik bayangan juga ada yang berdiri dengan usaha keras di bawah sinar mentari. Tersenyum hangat seperti manusia, menyentuh lembut dengan penuh kasih seperti manusia, dan tulus mengulurkan tangan untuk saling menolong seperti manusia. Hanya saja manusia terlalu takut setiap kali jati diri seorang vampire terungkap. Hingga membuat vampire yang memiliki kekuatan lebih dibuat memilih untuk selalu mundur tak menampakkan diri.

Tetapi aku tahu, setidaknya ada satu manusia yang tidak akan langsung mengangkat geram telunjuknya setiap kali aku memperlihatkan jati diriku yang sebenarnya. Sifat naifnya membuatku selalu dan selalu mencari keberadaannya. Hanya untuk merasakan kenyamanan bersandar di bahunya yang hangat.

Dari sejak pertemuan pertama kami di gereja ratusan tahun lalu, aku tidak pernah bertemu manusia sehangat dirinya.

"Semua makhluk terlahir baik. Baik dan buruk semuanya seimbang di mata tuhan. Manusia dikatakan makhluk yang mendekati sempurna tapi masih belum bisa membuat ukuran pasti batasan antara mana yang baik dan mana yang buruk. Manusia diberkahi mata, telinga, hidung, mulut, tangan, dan kaki yang sama, tapi setiap manusia tidak memiliki isi pemikiran yang sama. Maka dari itu, hukum diciptakan untuk memisahkannya. Padahal, bila baik dan buruk di mata tuhan itu seimbang, seimbang berarti sama berat, sama berarti tidak ada yang berbeda, kalau begitu apa baik dan buruk itu? Kenapa manusia memberi jembatan yang memisahkan antara yang baik dan buruk? Bukankah dikatakan semua makhluk sejak lahir itu adalah baik? Kenapa keburukan lah yang harus disandingkan dengan kebaikan?"

Pernah suatu hari kau mengajakku berbincang di barisan terdepan kursi di depan altar selepas misa pagi.

Waktu itu aku belum memberitahunya soal jati diriku. Aku mengaku sebagai sosok tanpa tujuan yang tersesat dan tak memiliki atap untuk berlindung. Hanya nama yang kupunya, bahkan aku sudah tak lagi memikirkan bagaimana harus hidup. Kau yang menemukanku tergeletak di depan pintu gereja dengan pakaian kotor penuh darah tanpa banyak bertanya langsung membawaku masuk. Padahal ketika itu, berita tentang vampire sedang merebak membabi buta hingga aku terpaksa terpisah dari kakakku karena rumah kami dihancurkan oleh manusia-manusia yang ketakutan.

"Ego dan rasa tak percaya. Selama ada itu manusia akan selalu memandang apakah sesuatu itu baik atau buruk. Kebaikan hanya ungkapan fana supaya orang-orang bisa hidup dengan damai," jawabku tak bersemangat sambil menatap jauh saat malam para manusia itu mencoba membunuhku dengan melempar-lempar senjata besi dan berkali-kali mencoba menusuk tubuhku dengan bilah pisau mereka.

Aku mendengar suara hembusan pelan lalu merasakan aura iba yang kau pancarkan di sampingku. "Aku menjadi pastor karena percaya semua hal di dunia ini adalah putaran kebaikan yang akan selalu menghangatkan semua makhluk yang hidup di atas tanah bumi ini. Aku ingin yakin bahwa keburukan hanyalah sebuah momen ketika manusia tersesat tak memiliki arah di jalan yang gelap. Dan aku juga yakin, segelap apapun jalan yang manusia pilih, tuhan akan selalu ada untuk memberikan penerangan."

Baik dan buruk.... di mata para manusia aku adalah sosok buruk yang harus mereka musnahkan karena aku menyebabkan ketakutan dan memiliki ego seram yang tak bisa dihentikan oleh mereka. Kalau kau bilang keburukan adalah sebuah momen, apa aku juga termasuk momen keburukan yang diciptakan oleh bumi dan tuhan? Apa tujuan aku ada saat ini?

"Hei, pastor. Bagaimana kalau sebenarnya di antara kebaikan yang sudah ada sejak lahir, salah satunya harus menerima sial menjadi satu-satunya yang terlahir buruk?" tanyaku dengan menatapnya dingin.

Sepasang bola mata cemerlang berwarna biru teduh memandangku sejenak. Ada kilat sedikit kaget, namun selebihnya adalah pandangan polos penuh keingintahuan tinggi yang terarah padaku. Mata yang tidak menyudutkanku. Malah sebaliknya mata itu memberikan uluran tangan yang terbuka lebar dengan sebuah senyuman hangat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MellifluousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang