Fur Elise

208 26 9
                                    

Elisa tersentak ketika tiba-tiba pemuda itu menghilang dari hadapannya.

"Daffa ... ?" gumamnya pelan. "DAFFA?!"

Gadis itu mulai menatap liar ke sana kemari. Namun ia tak menemukan sosok yang dicarinya di mana pun. Elisa sedikit tersentak ketika mengingat satu kalimat yang pernah diucapkan pemuda itu. Satu kalimat ketika pertemuan pertama mereka.

Elisa melangkah cepat, berlari pada satu tempat yang menjadi satu-satunya tujuannya saat ini. Ia berlari di sepanjang koridor, tak lagi menghitung langkahnya yang semakin cepat dan semakin cepat. Hingga akhirnya ia berdiri di depan ruang musik dengan napas terengah.

Perlahan, ia menghampiri Grand Piano yang terletak di tengah ruangan, lalu duduk di hadapannya. Jemarinya menari di atas tuts hitam dan putih, memainkan bait nada yang telah dihapalnya di luar kepala.

Pikirnya terus tertuju pada sesuatu, menunggu dengan cemas sosok yang begitu diharapkannya untuk muncul.

"Judulnya Fur Elise. Mainkan lagu itu jika kau ingin memanggilku. Aku akan datang. Aku pasti datang. Mengerti?"

"Mana? Kenapa tidak datang?" gumamnya tanpa menghentikan permainannya. Air mata gadis itu jatuh tanpa bisa ia tahan.

"Kenapa kau tidak datang? Bukankah kau bilang kau pasti datang? Pembo--"

Bugh!

"Anjer!"

Suara bedebum terdengar dari belakang Elisa diiringi umpatan seorang lelaki. Perempuan itu lantas menengok ke belakang dengan air mata yang masih membekas di kedua pipinya. Melihat sosok yang terduduk di lantai di belakangnya, Elisa melotot kaget. "Kau siapa?" tanya Elisa.

Lelaki itu lantas berdiri sembari mengelus bokongnya dengan wajah kesakitan, lalu menoleh ke arah Elisa. "Lah, lo siapa?" tanya lelaki itu balik.

Elisa menunjuk wajahnya dengan wajah bertanya, melihat lelaki itu mengangguk dengan wajah malas, lantas Elisa tersenyum canggung. "Elisa."

Lelaki itu menaikkan satu alisnya, lalu melirik ke penjuru ruangan. "Gue Arju, dan jelasin kenapa gue bisa ada di sini sekarang," ucapnya tak terbantahkan.

Elisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali, lalu bangkit dan mendekati Arju. "Kau ada di Airlangga Art Academy, dan aku pun tidak tahu kenapa kau bisa ada di sini," jawabnya jujur.

Arju mengernyit bingung. "Apaan sih? Lo becanda pasti, nih. Airlangga Art Academy, kan, ada di Yogyakarta. Gue yakin, tadi gue masih di Jakarta dan bersekolah dengan tenang!"

Elisa melengos. "Kalau tidak percaya, ya sudah," katanya sembari mengusap bekas air matanya dan melangkah mendekati pintu ruang musik.

Sontak Arju berjalan dengan cepat dan menghadang perempuan itu. "Kasih tau gue dulu, gimana caranya kembali?" tanyanya kalut.

Elisa mengacak rambutnya frustasi. "Aku tidak tahu!" balasnya menyeru sembari membuka pintu ruang musik dan keluar dari ruangan tersebut dengan langkah cepat, meninggalkan Arju sendirian dengan pikiran kalutnya.

"Astaga, gimana caranya gue kembali," gumamnya sembari mengacak rambut hitam legamnya.

Selang beberapa menit kemudian, seberkas cahaya menyorot tempat asal terjatuhnya tadi. Arju segera mendekati cahaya tersebut dan mendongak untuk melihat dari mana asal cahayanya. Menakjubkan, yang Arju temukan adalah sebuah lubang yang hampa dan terlihat tak berbatas.

Kemudian pintu ruang musik terbuka, terlihat Elisa membawa dua kotak susu cokelat. Namun terlambat, saat perempuan itu sudah tiba di sana, Arju sudah melayang di sorotan cahaya tersebut.

Elisa melotot, sedang Arju merentangkan tangannya dengan wajah angkuh. "Elisa ... entahlah siapa nama lengkapmu. Aku sebagai Sang Tersesat, akan pergi selamanya dari hidupmu," ujar Arju yang membuat Elisa bingung.

Cahaya menerang seketika, menyilaukan mata Elisa. Tak lama kemudian, cahaya tersebut hilang diikuti hilangnya sosok Arju. Elisa menyipitkan matanya dengan wajah datar, lalu menggeleng tak paham. "Dia pikir dia Noblesse seperti Raizel?" gumam Elisa bertanya sembari berbalik dengan wajah frustasi.

Apa yang terjadi di hari itu membuat Elisa nyaris gila.

.

.

.

Fur Elise RedCherry98

Dibajak oleh zabilla

1st AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang