Esper Song

122 13 0
                                    

 [Setelah mendengar semua ini, kuharap kalian tidak berdiam diri dan bisa memberikan hiburan yang menarik]

Layar menghitam; video berakhir. Kedua manik keabuan itu masih menatap nanar, mengerjap beberapa kali guna mengembalikannya ke dunia asal.

Konyol; Satu kata yang terbesit di benaknya. Headphone biru dongker ia lepaskan, meninggalkan surai hitam legamnya yang dikibaskan tak beraturan. Cangkir kopi ia letakkan di atas meja, tepat di samping laptop putih tipis yang terbuka di hadapannya.

Yuzuru telah dirundung terlalu banyak masalah dalam hidupnya. Menambahnya lagi bukanlah pilihan.

Bagaimanapun caranya, Yuzuru harus bisa lepas dari permainan konyol ini.

"YUUUUZUUUUUUUU!!!! BUKAA!"

Ah, sial.

Kening Yuzuru mengerut malas. 'Satu masalah lainnya, huh?' batinnya jenuh. Dengan enggan, pria yang kekurangan gairah hidup itupun terpaksa bangkit dari kursinya, menghampiri sang 'tamu' yang hari ini, lagi-lagi datang tanpa ia undang.

Sampai di hadapan pintu apartemen, entah bagaimana dapat ia rasakan sengatan kecil yang kian menusuk batinnya. Ugh, ayolah. Yuzuru tahu ia masih muda, bukan? Tidak mungkin kesehatannya terganggu sedini ini.

Meneguk ludah ragu, Yuzuru putar kunci yang baru saja ia masukkan itu perlahan.

Dan dalam satu hentakan, seorang bocah berseragam SMA dengan sigap menerjang masuk ke dalam, merebut kunci pintu dari Yuzuru, dan dengan gesit kembali menguncinya.

"Fuuh..."

"Ngapain kau ke sini lagi?"

"Huh? Ah, hai Yuz," bocah lelaki dengan rambut oranye terang sebahu itu dengan santai menyapa Yuzuru. Yap. Hanya Yuzu, tanpa imbuhan apapun lagi. Satu lagi. Bocah itu juga amat terbiasa untuk tak mengacuhkan pertanyaan orang lain.

Empat sudut siku-siku terbentuk di kening Yuzuru.

"Hei, hari ini kau masak apa?"

"Tunggu. Jangan mengabaikanku, oke?"

"Ahh, ya, ya. Terserah. Omong-omong sudut bibirku sepertinya berdarah, ya? Kau punya obat?"

"Hahh...," Yuzuru hanya menggaruk tengkuknya pasrah. Ia akui, ia lelah dengan segala perlakuan semaunya bocah itu. Namun bagaimanapun, ia tak bisa mengabaikannya.

"Tunggu. Biar aku yang obati lukamu, kau duduk saja di sofa sana," celetuk Yuzuru sembari berlalu ke arah dapur, mengambil kotak P3K. Lihat? Lagi-lagi ia yang disulitkan. Walau ia sudah terbiasa, namun bocah itu benar-benar tak ada gunanya. Yuzuru sampai heran sendiri mengapa bocah tengil itu masih ia pelihara hingga sekarang.

---------------------------

"A-aw! Sakiiit!"

"Tahan saja, cengeng."

Yuzuru mendengus lelah. Bocah ini, Riku, lagi-lagi mengacau di tempatnya. Datang dengan penuh luka, melarikan diri dari orang-orang yang mengejarnya ke apartemen Yuzuru. Riku bilang, pamannya wafat meninggalkan setumpuk hutang. Yuzuru benar-benar ogah untuk terlibat dengan masalah semacam ini, namun bagaimanapun, Riku telah melibatkannya. Mau tidak mau, Yuzuru lagi-lagi harus mengurus semua lukanya itu. Jika tidak, bocah ini tak akan pernah peduli pada lukanya sendiri, separah apapun itu.

"Ciih. Aku ini sedang luka, tahu! Kau seharusnya lebih lembut sedikit padaku!"

"Kalau luka pergi saja ke dokter sana. Jangan lagi datang ke apartemenku."

Riku hanya memiringkan bibirnya jengah. Jujur saja, ia masih bingung mengapa ia tak pernah bisa jujur pada Yuzuru. Ah, kalau dipikir-pikir, Yuzuru juga tak pernah jujur pada dirinya, bukan? Si kejam itu selalu mengeluh dan menyuruh Riku enyah setiap ia berkunjung, namun tak pernah sekalipun benar-benar menolak keberadaan Riku di dekatnya.

1st AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang