"Nathan ... ugh!" Batin Erina.
Ia mendengus kesal melihat Nathan dengan santainya berbaring sambil memainkan ponsel. De Javu. Padahal Erina sudah semangat akan mengajari Nathan tentang rumus cinta yang diberitahu Pak Edwin, guru matematika mereka. Eh, si Nat-Nat malah tidak menghargainya.
"Nath! Lo niat nggak sih belajarnya? Kalau nggak gue pulang nih," ujar Erina akhirnya tidak sabar lagi menghadapi Nathan.
"Sok ngancem lo. Lo kan mentor gue." Jawab Nathan santai, ia tengah bersorak bahagia dalam hati mengerjai Erina.
Erina kembali mendengus kesal, entah untuk berapa kalinya. Ia tidak pernah bermimpi akan mendapat kesialan seperti ini. Menjadi mentor murid paling onar di sekolah. Barbar dan sok paling ditakuti.
Ponsel Erina menampilkan kotak kecil warna hijau dan putih, di dalamnya tertulis Rora Ketjeh dan sederet kalimat. Erina tersenyum misterius melirik Nathan yang masih sibuk dengan ponselnya, lalu ia membalas pesan tersebut.
Pintu kamar Nathan terbuka tiba-tiba, menghentikan akitivitas debat tak berbobot mereka. Veril, Kakak Nathan, masuk membawa nampan dengan empat gelas jus jambu biji merah juga sepiring camilan ringan.
"Hai, Nathan, Erina. Ini kakak bawa minuman dan camilan supaya tambah semangat belajarnya," Nathan tak mengindahkan ucapan Veril, sedang Erina tersenyum manis lalu menggumamkan terima kasih. Ia agak bingung mengapa sampai ada 4 gelas dibawa Kak Veril.
"Hai, semua!" Suara cempreng yang khas membahana dari depan pintu kamar. Dua wanita twenty-something yang office look, menarik tiga pasang mata langsung kearah mereka. Tiga ekspresi . Terkejut, senyum dan semringah.
Setelah perkenalan singkat, Erina menarik tangan salah seorang wanita berambut cokelat.
"Kak, Rora," Erina mendekatkan mulutnya ke telinga Rora dan berbisik, "Kakak kok bawa teman sih?"
"Ini bukan sembarang orang, dek," jawab Rora. "Kak Sarah mentor nomor 1 kalau urusannya sama anak bandel jenis Nathan." Lanjutnya.
Erina mengangguk sembari memperhatikan dua orang yang tengah saling menatap tajam.
"Yakin Kak?"
"He-eh,"
"Sumvah, Kak?
"He-eh,"
"Ciyus,"
"Mi avhaa? Lebay!"Kamu liat aja dulu. Mari kita nikmati pertunjukan mereka." Rora tersenyum penuh arti, sedang Erina memasang smirk iblisnya.
***
Nathan menahan kesal didatangi dua tamu tak di undang. Parahnya, salah satu dari mereka duduk di meja rendah tempat Nathan dan Erina belajar tadi. Sedang Erina bersama salah satunya lagi.
Nathan bisa saja marah dan mengusir mereka, toh kamar ini kan kamarnya sendiri, hak otonominya Nathan. Tidak ada yang boleh masuk ke daerahnya tanpa seizin sang empunya kamar, Nathan Pradipta Nugraha.
Tapi karena mereka berdua adalah teman Erina, mau tak mau ia terima. Nathan juga penasaran kenapa mereka datang kesini. Apa diundang Erina?
"Jadi, Nathan. Sudah sampai di mana tadi kamu belajar dengan Erina?" Tanya salah satu wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai Sarah.
"Bukan urusan lo!" Ucap Nathan ketus.
Pletak!
Dahi Nathan dihadiahi selenting. Ia mengaduh dan mengelus-elus bekas daratan jari telunjuk. Wanita itu yang baru Nathan kenal kurang dari setengah jam sudah berani menyelenting dahi Nathan. Untung saja jerawat-jerawatnya Nathan yang kebetulan sudah menetap beberapa hari ini hilang tanpa jejak. Kalau masih ada, alamat nyut-nyutan jerawatnya kena selenting.
"Sopan dikit jadi orang. Saya lebih tua dari kamu. Dan saya kini yang menggantikan Erina menjadi mentormu." Sarah menatap tajam Nathan, hilang sudah kelembutan dalam suaranya. Kalau tau bocah sejenis ini yang akan dia mentori, Sarah lebih memilih mengajar Diana. Anak magang di tempatnya bekerja lebih sopan walau suka kegenitan diam-diam memperhatikan rekan kerjanya.
"Mana boleh! Guru udah nunjuk dia buat jadi mentor gue. Jadi lo-aww!" Sarah menyelenting lagi dahi Nathan, kini dengan kekuatan ekstra.
"Hei, Nathan. Kualat kamu melawan sama BuMil." Rora berujar penuh penekanan pada kata 'kualat' dan 'BuMil'.
Nathan melirik Sarah, dia baru sadar tangan kiri Sarah sedari tadi mengelus perutnya yang membuncit.
Nathan mendengus sebal, dia yakin Sarah menggumamkan kata amit-amit. Takut anaknya jika besar senakal Nathan.
Erina tidak dapat melepas senyum bahagianya. Ini adalah kali keduanya ia diminta belajar di rumah Nathan, tidak ingin kejadian tempo lalu terulang kembali, ia mengajak tetangganya yang bernama Aurora untuk menggantikannya. Tidak disangka Rora membawa teman yang lebih cocok dijadikan mentor Nathan. Wanita galak yang sedang hamil jalan 5 bulan.
"Kak, kasihan Kak Sarah. Dia lagi hamil tapi marah dan kesal ngajari Nathan." Bisiknya tetap memperhatikan Nathan dan Sarah.
"Nggak apa-apa. Kak Sarah baik-baik saja. Hari ini Nathan harus dapat pelajarannya."Pakai kekuatan jari telunjuk dibantu jempolnya Kak Sarah yang terkenal di antara anak-anak magang dan hasilnya akan memalukan diri Nathan, karena merah di dahinya bakal lama hilangnya." Rora berujar puas, matanya berbinar bahagia di atas penderitaan Nathan. Anak cowok yang sudah mengerjai tetangga kesayangannya.
Erina mengangguk antusias mendengar penjelasan Rora. Senyum lebar tak lepas dari wajahnya. Rasa takutnya pada Nathan berkurang drastis.
"Huehahaha, rasain lo." celetuk Erina tidak ia sadari dapat didengar Nathan.
"Diam lo!" Balas Nathan sengit.
Pletak!
Nathan mengaduh, kembali fokus pada buku pelajarannya. Daripada kena slentingan pedas, ia memilih belajar mengikuti arahan mentor barunya.
"Gue mau jadi anak baik. Nggak bakal gue lawan ibu hamil. Pedes gila jidat gue." Batin Nathan. Ia melirik sedikit ke arah Erina dan mendapati cewek itu tertawa bahagia dengan temannya.
"Terkadang kekuatan jari telunjuk dan jempol itu dibutuhkan." Batin Erina, masih mengamati Nathan yang diajari Kak Sarah. "Aku padamu, Kak!" Lanjutnya lagi dalam hati, merasa bersyukur ada yang datang membantunya untuk menghadapi Nathan.
.
.
.
Af-f (x)-tion paperpaints-
Dibajak oleh acrizzely
The End.
KAMU SEDANG MEMBACA
1st April
Short StoryJumat, 1 April 2016. Lokasi Nusantara Pen Circle. Apa yang terjadi?