Real or Not Real?

435 20 7
  • Dedicated to Vieke Nabilah
                                    

"Hey... Sudah beraktingnya?". Aku mencoba dengan tenang mengatur nafasku.

Ia mengangkat kepalanya dari kasur tempatku tertidur. Mata hijau-nya mencari cari mataku. Aku mengalihkan pandanganku pada jendela dengan pemandangan London di kanaku. Tangannya kuhentakkan membuatnya melepas tanganku. Aku tahu berlebihan, tapi aku belum bisa memaafkannya.

"Kiraa... I'm just... Plea...".

"Get out Harry! Get out!". Potongku.

"Kira, just please listen me! Just listen....".

"Aku tak butuh omong kosongmu. Keluarlah please!!! Itu akan sangat berarti bagiku untuk tidak melihat wajahmu dalam jagka yang lama". Kataku halus.

Ia menegang ditempatnya. Kakinya menghentakkan sepatu boots-nya ke lantai. Jaket kulit yang menutupi tubuhnya seketika membuatnya berkeringat. Aku masih memandang pemandangan luar. Aku belum berani menatap matanya.

"Harry, aku membencimu! Aku membencimu melebihi aku membenci pembunuh kedua orang tuaku!!!". Bentakku. Aku tahu ini bohong. Oh ya ampun.

Ia masih berdiri di tempatnya. Mungkin menungguku mengucapkan kalimat yang lebih kasar dari itu. Tapi aku tahu, aku hanya bisa menjangkaunya sampai situ. Aku tidak bisa mengatakan hal yang lebih keji lagi.

"Kira.. I just try to love you". Gumamnya.

Syarafku yang menegang membuat sedikit nyeri di bagian kaki. Aku meringis dan mencoba menahan sakit di kakiku. Mataku menyapu gedung gedung yang menjulang tinggi. Otakku mulai menyerap kata kata Harry tadi. Ini pasti hanya mimpi seperti yang lalu. Seperti kejadian itu akan di mulai.

Hening yang menyelimuti ruangan ini membuatku mual dan ingin memuntahkan apa yang terakhir kumakan. Ini sudah seperti mimpi tanpa suara. Aku hanya bisa mendengar suara kecil dan langkah yang mendekat. Dan selanjutnya hilang pemandangan gedung itu. Begitu juga dengan Harry.

Kakiku menginjak tanah keras yang bagiku sudah sangat kering. Dengan sebuah rumah di depanku aku menatapnya miris. Rumah itu sudah tak berbentuk. Tinggal pintu dan beberapa jendela bekas terbakar. Aku memutar tubuhku melihat sekeliling dan mendapati rumah yang jauh lebih bagus dari rumah di depanku. Kakiku lebih memilih berjalan ke arah rumah bercat pastel itu.

Semakin dekat aku mendengar tawa renyah yang jelas kukenal. Aku masih tidak tahu ini nyata atau bukan.

Semakin mendekat suara itu semakin jelas. Mataku berputar ke arah pintu di depannya. Gerbang yang terbuka ditambah taman yang penuh dengan balon, makanan, dan party stuff lainnya dengan warna pastel yang senada.

Aku semakin mendekat ke arah gerombolan di depanku. Mencoba mencari tahu ada apa sebenarnya. Aku melihat lima orang laki-laki dengan tiga anak kecil. Dua laki-laki dan satu perempuan. Jelas aku tahu siapa mereka.

"Dadday, Darcy mau mulai sekarang". Kata anak-mungkin sekitar lima tahun-perempuan.

"Iya Daddy Harry, aku sudah laparrr!!". Protes laki-laki di sebelah anak perempuan.

"Tapi kita harus tunggu Mom Kira!! Iya kan Daddy Harry???". Sahut anak laki-laki berkalung kamera di lehernya. Tunggu? Kira?.

"Sabarlah sebentar Darcy, mom akan pulang sebentar lagi. Benar loh kata Sam. Kita tunggu Mom Kira yaaa". Kata seseorang di belakang Darcy tadi.

Tiba-tiba kepalaku berputar seakan semuanya juga ikut berputar. Aku memijat keningku dengan perlahan. Melangkah sedikit menjauh dari kerumunan itu sampai satu suara yang membuatku berbalik badan.

"Harry, kau telfon saja Kira. Ini sudah jam pulangnya". MOM!!!!

Aku berdiri di sana masih tak percaya. Mom keluar dengan sebuah piring di tangannya. Disusul dengan Dad di belakangnya. Ketiga anak kecil dan lima laki-laki itu mencoba menenangkan beberapa orang yang sedang berdiri menunggu.

DaydreamerWhere stories live. Discover now