Another Misery

350 32 6
                                    

Jariku bermain dengan handphone di tanganku. Mungkin, sudah lima belas menit yang lalu aku mencari sinyal di dekat sini. Aku mengetuk-ngetukkan jariku ke layar handphone, tapi tak ada hasilnya. Aku masih belum menemukan sinyal sama sekali. Mungkin ini karmaku karena mengalihkan panggilan dari Harry. Dan juga karena aku berada di sebuah hutan terpencil, di dekat Holmes Chapel. Ah, sebuah kebodohan, menggunakan handphone di tengah hutan.

Aku meninggalkan Harry di hotel tadi pagi. Rencana itu memang kusengaja. Aku saja, bersiap pada pukul tiga pagi. Aku kemari naik tube. Aku mencoba secepat mungkin mendahului matahari. Apabila aku mengajak Harry, sudah jelas aku akan tiba di sini pukul empat sore nanti. Dan menjadikan perjalanan ini sebuah pariwisata kilat.

Sebenarnya bukan itu alasan utamanya.

Aku hanya takut membawa Harry kemari. Hal itu sama saja pergi ke kandang Sapi dengan membawa satu truck rumput. Sapi itu tidak akan langsung menelannya. Ia akan memamabiakkan rumput terlebih dahulu. Errgh, aku berlebihan sekarang.

Kakiku melanjutkan berjalan menuju ke depan. Kali ini aku tidak tahu kemana aku harus berjalan. Hanya saja, aku mengikuti instingku. Yang kuketahui tentang instingku adalah, nihil. Aku selalu gagal dalam ujian ini. Tidak seperti Chelsea. Dia berhasil menggunakan instingnya.

Gress… Gress…

Telingaku mendengar sesuatu yang bergesekan. Kurasa sebuah langkah kaki. Aku memasang kuda-kuda untuk berjaga. Tubuhku sudah siaga, dan tanganku menggenggam erat handphone. Aku melirik kanan kiri tapi aku tidak menemukan apa apa. Sambil terus berjalan aku masih waspada.

Greeess…. Gressss…

Kali ini lebih kasar dan agresif. Kurasa tidak hanya satu orang, tapi ada beberapa yang mengikuti. Tanganku sudah meraih Revolver yang berada di balik jaketku. Sengaja, aku tidak mengeluarkannya.

Aku berhenti berjalan. Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya, kali ini keringat membanjiri pelipisku. Sementara ini, aku menikmati suara gemrisik itu. Kakiku masih kaku, belum mampu bergerak.

Apa keputusanku meninggalkan Harry di hotel salah?

Tapi, mengingat ia tidak mengetahui apa apa tentang hutan, kurasa aku tidak salah.

“Siapapun kalian, kurasa kalian lebih baik keluar”. Tantangku.

Suara gemrisik itu berasal dari arah kanan belakang. Aku menarik Revolverku dari jaket, tapi tidak memutar tubuhku. Aku menarik hammer-nya perlahan. Kusiapkan handphone-ku di saku.

Aku memutar tubuhku dan menembak sebuah pohon di sebelah kananku. Seseorang tumbang dengan peluru di dahinya. Oh shit! Selanjutnya, hanya terdengar tembakan di mana mana.

Mereka berusaha menembakku dari segala arah. Namun dengan lihai aku berlari, sebisa mungkin menghindari mereka.

Dan baguslah, aku semakin tersesat di sebuah hutan sekarang—Oh, bukannya sudah dari tadi?. Aku berhenti melangkah, dan empat orang yang tersisa itu, perlahan mendekatiku. Aku masih tak bergeming di tempatku. Nafasku tersenggal dan tak beraturan, keringat semakin deras dari wajahku.

“Biasanya, hanya orang orang yang mengerikan saja yang mendatangi tempat seperti ini”. Kata yang paling besar, Aku semakin memundurkan langkahku.

“Iya, jarang jarang kita mendapat tamu yang cantik seperti kau”. Seorang dari belakang si besar menyahut.

Mataku memandang mereka secara bergantian, dari atas ke bawah. Penampilannya tidak seperti manusia yang terawat. Baju yang sudah banyak bercak darah, cambang yang—kurasa—tidak pernah dipotong, mata merah, dan wajah yang tirus, kurasa mereka orang jahat yang kelaparan.

DaydreamerWhere stories live. Discover now