All in My Head

411 21 5
                                    

Ketegangan di area ini membuat beberapa dari kami memeluk tubuh. Haru juga menyelimuti semua yang berada di sini. Paul yang sedari tadi menggosok-gosok punggung Liam, Niall dan Louis yang wajahnya memerah, Zayn yang sudah berkali-kali menengadah menghadap awan, Perrie dan Eleanor yang satu sama lain menangis di bahu dan mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri, sedangkan Liam.... Ia yang paling miris. Ia terlihat frustasi. Matanya memerah, kantung mata yang sudah tidak bisa disembunyikan lagi, ditambah rambut acak-acakan yang membuatnya terlihat lebih gila dari biasanya.

"Real or not real?". Bisikku pada diri sendiri.

"IT'S EVEN REAL KIRRA!!! CAN'T YOU SEE? STOP BEING STUPID!!!!". Liam membentakku.

Chelsea yang sedang memelukku, mengeratkan pegangannya pada bajuku. Aku kaget melihat respon Liam. Maksudku, ya aku memang bodoh. Setidaknya aku merasa bodoh semenjak racun itu memasuki tubuhku. Mengubahku menjadi orang yang lebih sering berhalusinasi, semuanya terasa palsu, tidak nyata, ilusi, delusi, atau apalah kata lainnya. Bukan salah penjagaan yang kurang ketat. Tapi salah sang 'pemberi racun' kenapa ia begitu cerdas sehingga memiliki kesempatan dalam kesempitan.

"Aku tahu kau kehilangan Danielle, tapi bukan berarti kau bisa memarahi Kira! Bukan dia pembunuhnya!". Harry berbisik keras pada Liam.

"Harry!". Simon dan Niall menatap Harry keras.

Bunyi sirine yang datang dari arah timur membuatku semakin tidak bisa membendung air mata. Danielle. Kenapa seorang Danielle yang kau ambil? Ia membawa semua pengaruh positif pada hidup Liam dan beberapa dari kami. Aku mengenalnya sudah lama. Kami sempat bertemu di salah satu konser dan berkenalan.

"Zayn, bisakah aku pergi?". Getaran hebat dari tenggorokanku sudah tak sanggup kubendung.

"Silahkan, aku tahu ini sulit Kira". Ia memelukku erat.

"Thanks Zayn".

Aku merapatkan jacket kulitku dan memasang kacamata hitamku. Meninggalkan area pemakaman memang tidak sopan. Tapi, lebih baik aku pergi daripada harus melihat kenyataan yang aku bahkan tak tahu itu nyata atau tidak.

Kakiku melangkah menjauh dari kerumunan, menuju ke lapangan parkir yang tidak jauh dan mengendarai sepeda motor rasanya lebih asyik daripada harus menitihkan air mata dan menerima fakta bahwa Danielle sudah direnggut.

"Kira!!!".

Aku memberhentikan langkahku dan menoleh ke sumber suara. Aghh!!

"Aku ikut denganmu". Katanya mencoba menyamai langkahku.

"Harry, aku sedang tidak ingin bercanda!".

"Kau perlu membuka kacamata-mu dan melihat wajahku sekarang! Apa ada raut bercanda di sana?". Katanya polos.

"Apa sih maumu? Aku ingin pergi sendiri Harry!!!".

Aku mulai men-starter sepeda motorku dan membawanya lari. Namun kubatalkan melihat Harry masih berdiri dengan tampang kusut dan bodohnya di depanku. Aku mengisyaratkannya untuk naik dan memakai helm yang kuberikan.

Dengan kecepatan ugal-ugalan yang membuat Harry mencengkeram jacketku aku melewati lautan manusia di depanku. Otakku masih menimbang ke mana aku pergi. Dan sekarang aku yakin ke mana aku pergi.

Sepedaku beradu dengan jalanan yang mulai macet. Dengan lihai dan beberapa makian keji yang menghujamiku akhirnya aku sampai di basecamp One Direction.

"Ini tujuanmu saat sedih?". Harry turun dan melepas helm-nya.

Tanpa sepatah katapun aku berlari ke kamarku dan mencari beberapa barang yang kusimpan dalam lemari. Jacket dan map yang tersisa dari kebakaran kantorku kumasukkan dalam tas dan aku menggendongnya turun menuju sepeda yang kuparkir sembarangan. Harry masih mengikutiku di belakang. Ikut atau tidak, aku tidak mempedulikannya sekarang.

DaydreamerWhere stories live. Discover now