Our Misery (Part 2)

403 25 13
                                    

Sore ini aku terbangun di dekat London Eyes. Dengan secangkir kopi dan sepiring Donat aku menikmati pemandangan yang terbentang luas di hadapanku. Kurasa, kasus belakangan ini membuatku lupa pada Jennie, keindahan London, dan keamanan. Badanku remuk tak karuan. Walaupun bukan hanya fisik. Kantung mata dan beberapa luka sudah biasa bagiku. Hanya satu yang belum terbiasa, tidak mendengar dan melihat Harry.

Mataku melirik ke arah jam. Dengan cepat aku mengambil jacket dari closet dan mematikan televisi ini. Nanti malam, aku sudah harus check out dari sini. Aku tidak ingin berlama-lama di tempat ini. Lagipula, nanti akan meninggalkan 'jejak kaki' yang mudah ditebak.

Seperti janjiku kemarin, aku akan menemui pemilik Pawn Shop tersebut saat sore hari.

Aku memacu sepeda ini ke arah Pawn Shop kemarin dengan kecepatan penuh. Entah mengapa, serasa aku ini haus akan informasi tersebut. Kenyataannya memang iya. Aku ingin kasus ini kelar.

Aku memarkirkan sepedaku persis di depan Pawn Shop ini. Aku melihat sebuah Lamborghini. Dengan siaga aku mengambil Revolver di saku kananku. Dengan pelan aku menarik hammernya dan mengarahkan Revolver-ku ke pintu masuk. Karena refleks, aku menarik pelatuk yang membuat kaca salah satu lemari di Pawn Shop tersebut pecah. Refleks ini terjadi karena seseorang yang berdiri di samping pintu masuk. Sialan.

"Harry, what are you doing here?!!!". Bentakku kasar. Bagaimana tidak, bisa saja peluruku mengenai kepalanya.

"Hey, who's there?". Seorang dengan suara serak meneriaki kami dari dalam. Kurasa itu suara pemilik Pawn Shop ini.

Kakiku berjalan meninggalkan Harry dengan kesal. Ia membuntutiku tepat di belakang. Kurasa, emosiku mulai naik sekarang. Dan entahlah.

"Sorry sir, aku memecahkan kacamu gara-gara si gila ini. Aku akan menggantinya". Aku berdiri di hadapannya.

"Tidak, itu tidak apa apa. Kalian bisa berjalan melalui lorong kecil itu dan berjalan lurus sampai menemukan dua pintu yang berwarna coklat dan Biru. Kalian buka yang Biru. Aku akan menutup Pawn Shop ini". Katanya tersenyum ke arah kami.

Dengan cepat aku mengangguk dan melangkahkan kakiku ke arah pintu kecil yang terbuka yang letaknya tersembunyi di balik lemari. Lorong ini sedikit gelap, sehingga membuat Harry seringkali menginjak celanaku. Ia menggenggam jaketku dengan erat. Karena cukup panjang, aku sampai mual di buatnya. Lorong ini lebarnya hanya untuk satu orang, sedikit engap walaupun harum wewangian. Tak lama setelah itu, aku menemukan sebuah lentera kecil yang digantung. Di ujung lorong inilah aku menemukan dua pintu.

"Are you sure?". Tanya Harry pelan di telingaku.

"We face it". Kataku.

Aku menarik hammerku dan merentangkan tanganku ke depan. Tangan kananku meraih gagang pintu dan membukanya perlahan. Perlahan, pintu ini menampakkan sebuah rumah tua dengan beberapa anak yang berlarian. Dengan cepat aku menurunkan Revolver-ku dan menyimpannya di dalam saku kanan. Aku melangkahkan kaki dengan perlahan melalui pintu ini-diikuti Harry.

Semua orang memandang kami tersenyum. Aku tidak tahu ini karena Harry atau aku. Yang jelas, mereka menerima keberadaan kami.

"Kira? Kira Styles?".

Seorang perempuan tua dengan sehelai kain ditangannya menghampiriku sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk bingung. Detik itu pula ia mendekatkan tubuhnya ke arahku. Aku tidak tahu siapa dia. Aku bahkan tidak mengenalnya.

Walau begitu, aku berusaha membalas pelukannya yang kuat. Terasa, ia menitihkan air mata di pundakku. Aku memeluknya sampai ia berkata "Kau seperti ibumu".

Aku tercengang. Apakah ia pernah melihat Ibu?

"Kau cantik. Mata, hidung, mulut, semua itu warisan Nona Styles". Katanya. "Dan laki-laki ini?". Ia bertanya melihat ke arah Harry.

DaydreamerWhere stories live. Discover now