Sebelas

221 22 10
                                    

A/N: sorri ya kalo selama sagitarius update, sering ada kesalahan kata/ typo/ kesalahan-kesalahan manusia yang lain. karena, emang setelah nulis, ga di edit lagi. jujur, selama sagitarius di tulis, ga pernah di periksa lagi atau di preview lagi (tipe" author malas). dan kalaupun udh diedit setelah di publish juga ga mungkin, kan? kalian mesti remove library dulu, baru bisa lihat hasil setelah editannya. kan sedih :)
Jadi, mungkin klo story udh complete kali ya, baru di revisi lagi :)

so, cekidot!

::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: :::

Gita menggores lengannya, lagi-lagi dengan alat runcing kesayangannya. Kali ini, Gita menggoresnya lebih dalam dan membiarkan darahnya terus menetes. Hingga membanjiri celana pendek yang dipakainya.

Gita mengatur napas agar tidak terengah-engah. Akhir-akhir ini, Gita terlalu sulit sekadar untuk mengatur napas. Kadang, Gita sampai mual dan memukul-mukul dadanya agar kembali bernapas normal. Namun, Gita tidak peduli.

Yang penting, dengan cara yang menurutnya adil ini, Gita merasa telah membayar semua kesalahan-kesalahannya. Menurutnya, ini adalah salah satu cara terbaik supaya dapat merasa bebas.

"Gita?"

Gita langsung mengunci pintu kamarnya, kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan menutupnya tanpa suara. Kemudian, Ia menduduki kloset dan menghela napas panjang.

Tidak lama terdengar bunyi ketukan pintu tidak sabaran yang sangat panjang. Gita berusaha menahan suara tangisnya supaya tidak terdengar. Ia tidak ingin ada satu orang pun yang melihatnya dalam keadaan begini. Namun, ketukan pintu itu terdengar semakin kencang, disusul suara gebrakan di pintu dan teriakan kencang kakaknya.

"Gita, buka pintunya! Kamu jangan bercanda, Gita! Aku mohon!"

Gita semakin sesak menahan napasnya yang tidak teratur. Air matanya terus mengalir dan darah yang mengucur semakin banyak memenuhi lantai kamar mandi.

Gita memeluk lututnya dengan gemetar. Ia ketakutan dan panik. Suara-suara itu terdengar terulang terus-menerus, dan semakin lama semakin kencang.

Setelahnya, tidak ada suara apapun. Dan Gita menutup mata lega. Kemudian, Gita keluar dari kamar mandi dan terkejut.

Cesa sedang berlutut di depan tempat dimana Gita duduk tadi sambil menggores lengannya, sambil tangannya memegang cutter. Tatapannya kosong, seperti berisaha mencari jawaban dari semua pertanyaan di benaknya. Namun, tidak berhasil.

"G-gita? I-ini bukan darah, kan?"

Gita terdiam dan meneguk ludahnya dengan susah payah. Tidak berusaha memberitahu Cesa kalau Ia memang melakukannya.

"Gita! Jawab aku!"

Gita hanya terdiam dan menutup mata. Cesa menggeleng dengan berlinang air mata. Ia tidak ingin mendengar jawaban ini. Kemudian, Ia langsung mendekati adiknya dan menamparnya. Gita tetap bungkam.

Kemudian, tanpa kata-kata, Cesa meninggalkan Gita. Dan sudah pasti, Gita mengetahui hal itu. Cesa akan memberitahu orangtua mereka, apapun yang terjadi.

Gita memegang pipinya yang memerah bekas tamparan Cesa. Rasa sakit ini tidak sebanding dengan perasaan mereka yang Gita kecewakan. Gita tahu itu.

Dan, Gita sudah merencanakan semua ini.

::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: :::

Gita memegang satu kunci kecil dan membuka satu kamar diantara kamar-kamar yang sepi lainnya. Dan disinilah Gita sekarang.

SagitaRiusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang