Sembilan

436 44 6
                                    

A/N: haha, giliran Dirra nih dilabrak, mampus lo, Dir. kemakan karma ga bakal suka, MAMAM TAH. *sebel mode on*
^mau sok ngomporin sebenernya

btw, sesuatuh banget yha bisa adpet cepat. ini berkat usaha :)
okei, langsung cekidot!

btw lagi, ini chapter pertama yang nggak di unpublish karena emang stuck nya disini, huray!

::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: :::

"Rius!" Dirra melambai riang saat Ia menemukan figur Rius yang sedang berjalan ke arahnya. Ini berarti, perjuangan Dirra menunggunya selama sekitar tiga puluh menit tidak sia-sia.

"Dirra, sorri. Nunggu lama?" tanya Rius tanpa embel-embel ucapan manis dari mulut, yang membuat Dirra mengernyit bingung.

"Nggak terlalu lama untuk kelas Bu Wiwik yang susah ditinggalkan." ucap Dirra dengan nada bergurau.

Rius hanya bisa berkata maaf berkali-kali, kali ini tanpa nada ceria atau nada manja seperti biasanya. Dirra mulai mengerti arah pembicaraan Rius. Mungkin, Rius akan membicarakan sesuatu yang penting dengannya. Dirra hanya bisa berharap, Rius ingin berbicara perihal Rius yang ingin melanjutkan hubungannya dengan Dirra ke tahap berikutnya. Yang pasti, Dirra saat ini tidak ingin disangkut pautkan dengan yang berhubungan tidak jauh saat ini, yaitu Gita.

Entah mengapa, hubungannya dengan Gita saat ini menjadi nyaris tidak saling mengenal satu sama lain, kalau saja tidak setiap hari saat berpapasan, Dirra dan Gita saling mengucapkan sapaan ringan. Hubungannya dengan Gita menjadi cukup jauh, seperti dibatasi oleh satu garis yang menghubungkan jembatan penyebrangan, yang membuat Dirra tidak bisa menyebranginya.

Dirra sadar, saat ini Ia telah salah menilai Rius dengan terus-menerus mengejek betapa playboynya Rius, betapa jeleknya Rius di matanya. Namun, nyatanya, kenyataan malah berbalik kepadanya. Karma telah menyerangnya secara brutal. Membuat Dirra harus memilih, Gita atau Rius. Dirra mungkin bisa menahan lapar selama 3 sampai diinfus di Rumah Sakit. Dirra mungkin bisa kabur dari rumah dan menghilang selama seminggu. Dirra mungkin bisa mengalahkan monster, sekalipun itu ada. Namun, Dirra tiba mungkin bisa terus-menerus berbohong kepada dirinya sendiri, bahwa dirinya tidak menyukai Rius sama sekali.

Tidak. Hanya wanita bodoh yang menganggap Rius jelek. Dirra yakini, dulu Ia adalah wanita bodoh yang dengan entengnya menjelek-jelekkan seorang Natharius Driga, ciptaan Tuhan yang sungguh indah dan menawan. Namun, satu kejadian dan semuanya bisa berubah. Itu karena Ia menyukai Rius. Ia bisa dengan mudahnya meninggalkan Gita begitu saja. Gita yang pertama kali menyukai Rius, namun pada akhirnya, Dirra yang mendapatkannya. Selalu begitu sejak mereka masih kecil.

Dirra selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, namun Gita yang selalu harus mengalah. Proses itu membentuk sebuah kebiasaan. Maka dari itu, Gita cenderung lebih tertutup dibanding Dirra yang blak-blakan dan terbuka. Dan Dirra bahkan belum sempat meminta maaf kepada Gita, karena cinta yang terlalu membuatnya buta. Bahkan, dengan mantan-mantannya terdahulu, Dirra tidak selemah ini.

"Dirra? Bisa kita mulai?" Pertanyaan itu serta merta membuat Dirra kembali ke kenyataan dimana Rius menunggunya berimajinasi. Dirra hanya mengumpat kecil dan meringis.

"Sorri, tadi melamun. Boleh, kok. Aku juga penasaran, apa yang mau kamu coba omongin di sini." ucap Dirra ingin tahu.

"Okei. Langsung aja ke inti. Kamu ada masalah apa sama Gita?"

Pertanyaan Rius, mau-tidak-mau membuat Dirra kembali pada titik permasalahannya. Gita.

::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: :::

Gita menutup jendela kamarnya dengan wajah gusar. Membuat kamarnya yang gelap semula terang, menjadi kembali gelap dari sebelumnya. Gita juga tidak berusaha menyalakan lampu. Gita memang sengaja mematikan lampu, sehingga tidak perlu ada orang rumah yang curiga dengan kamar Gita.

Pribadi Gita yang tertutup, tentu membuat kendala tersendiri kepada keluarganya. Walaupun Ia bisa dibilang bolot dan ramah kalau sidah jauh mengenal, belum tentu orang tersebut sudah jauh mengenal Gita. Dan sejauh ini, hanya Anaya yang berhasil menembus dinding tersebut. Hanya Anaya yang curiga dengan perilaku Gita yang terlalu over bolot dan ramah.

Aries—Ayah Gita, Virgo—Ibu Gita, seringkali dituding salah mendidik Gita karena membuat Gita menjadi pribadi yang tertutup dan tidak bisa terbuka. Hanya Gita. Bahkan, Cesa yang tipikalnya adalah kakaknya sendiri saja, lebih cenderung aktif dalam kegiatan apapun yang menurutnya masih normal untuk anak seumurannya.

Gita kadang merasa kagum pada dirinya sendiri yang pandai menyimpan masalah dan berusaha sekuat mungkin untuk tidak membocorkannya. Gita selalu mencoba membuat masalah itu hanya menjadi aib bagi dirinya, dan masalah itu hanya berdampak pada dirinya. Gita tidak terlalu suka melibatkan orang lain dalam masalahnya.

"Hhh..." erang Gita pelan—sangat pelan, saat alat tajam kecil itu menusuk tidak terlalu dalam ke permukaan kulit lengannya.

Darah menetes setitik-setitik dan membanjiri tisur sebanyak 10 lembar yang sudah ditumpuknya. Gita menarik napas dalam-dalam, berharap sakitnya cepat menghilang dan Ia bisa menyelesaikan goresannya yang terakhir.

Setelah beberapa menit, Gita kembali menggores alat runcing tersebut di pergelangan tangan yang satunya. Darah kembali merintik-rintik seakan sedang hujan gerimis.

Gita kembali menarik napas dalam-dalam, dan menempel-nempelkan tisu 10 lembar itu perlahan-lahan. Kemudian, Gita berusaha bangkit untuk membuka laci kecil di kamar mandi kamarnya yang berisi perban putih dan kapas serta obat merah. Walau Gita nakal, Gita masih berada pada akal sehat sehingga masih takut terinfeksi.

Selesai memberi kedua tangannya obat merah dan menutup lukanya dengan perban, Gita memasukkan kembali alat-alat tersebut dan menutup kembali lacinya. Tisu bekas darahnya Ia masukkan tempat sampah kecil, yang biasa Ia buang sendiri, sehingga tidak ada yang curiga. Alat runcingnya kembali Ia masukkan ke dalam kotak pensil dan kotak pensil itu Ia masukkan ke dalam laci meja belajar. Gita menghela napas lega.

"Akhirnya."

::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: :::

Rius memainkan gitar akustiknya asal dan menjatuhkan diri di atas kasur yang empuk. Dirinya menatap langit-langit kamar.

Kurang lebih, aku sama dia emang punya masalah.

Rius memainkan instrument dari lagu  Becak—lagu mudah dan tentu membuat hati senang. Mulanya, lagu itu Rius mainkan dengan pelan.

Gita suka sama seseorang dan anggep aja lah ya, nama orangnya itu N.

Rius terus memainkannya. Kali ini deegan nada yang agak sedikit kencang.

Mulanya, aku bilang si N ini, jelek lah, segala macem pokoknya.

Rius memainkannya mulai kencang sekali, seakan berambisi untuk membunuh gitar tersebut.

Tapi, pas aku deket, malah aku kayak kena karma gitu.

Kemudian, Rius memainkan gitarnya asal-asalan, seakan gitar tersebut sudah tidak dapat memberinya kekuatan dan semangat untuk memainkan lagu.

Orang itu kamu, Ri.

Rius berusaha menarik napas dalam-dalam, dan mengeluarkannya perlahan-lahan. Sebisa mungkin menetralkan degup jantungnya yang tidak beraturan. Rupanya, lagu Becak yang terdengar bahagia saja, tidak mampu membuat Rius luluh.

Tapi, aku belum sempet minta maaf ke dia soal sikap aku yang terlalu bodoh ini.

Rius menaruh gitar akustiknya ke tempatnya semula, dan tertawa hambar. Jadi, selama ini Gita menyukainya? Jadi, selama ini usahanya mendekati Dirra juga sia-sia? Jadi, selama ini dirinya salah ambil langkah?

Rius mengambil sebatang rokok dan korek api. Kemudian, Ia pergi ke balkon kamarnya untuk mencicipi rasa dari satu batang rokok tersebut. Satu hembusan dan Rius kembali tenang.

"Abang?"

SagitaRiusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang