Delapan

498 42 11
                                    

A/N: mampus lu, Ri, mau dilabrak ciecie
btw, helaw! kangen nggak? pastinya engak, dong! heheh
mohon maaf sebesar-besarnya soal apdetan yang super selow ini!
cekidot!

::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: :::

Rius turun dari motornya dan menaruh helmnya di atas spion motor. Kemudian, Rius berbalik dan terkejut. Ada Rios dan Yoel sedang menatapnya dengan pandangan misterius.

Posisinya saat ini tidak terelakkan juga, karena dihimpit oleh motor miliknya dan motor milik siswa lain. Apalagi, di belakang Rios dan Yoel, terdapat motor besar milik Rios yang berwarna biru, seakan-akan memang berniat untuk menghalangi niat Rius untuk memasuki sekolah.

Rius mulai bertanya-tanya di dalam hati, ada apa gerangan hingga Rios dan Yoel yang tingkatan kelas sosial dan berstandar elite ada di daerah sekolahannya?

"Rios? Ngapain lo disini?" tanya Rius senang, sekaligus heran.

Rios menatap Rius dengan tatapan datar, tidak berusaha menunjukkan perasaannya yang sebenarnya. Disampingnya, Yoel menatap Rius dengan berbagai ekspresi. Mulanya ekspresi lega, kemudian marah, kemudian depresi, dan terakhir kecewa.

"Yoel? Rios? Hallo? Pada kenapa, sih?"

Rios membisiki Yoel sesuatu yang membuat Yoel mengangkat bahu dan berbalik hendak pergi menuju ke arah mobil pribadi Yoel terparkir. Yoel sudah beranjak terlebih dahulu, tanpa berpamitan kepada Rius sama sekali. Namun, Rius tidak mengindahkan perbuatan Yoel karena Yoel yang Ia kenal memang adalah Yoel yang angkuh, namun anggun. Rius juga tidak merasakan hal aneh apapun. Sedangkan, Rios masih berdiri di posisinya. Hanya Rios yang membuat Rius merasa terpojok dan terancam. Rius mengangkat satu alis melihat cara Rios memandangnya dengan tatapan menilai.

"Gue masih tahu diri, Ri, untuk nggak nonjok lo tepat di wajah saat ini."

Rius tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Refleks, Rius berusaha mengartikan kalimat Rios dengan cepat. Berusaha mencari makna tersembunyi dari kalimat Rios tersebut.

"Gue mungkin nggak ada hak. Tapi, kedatangan gue ke sini untuk dua permintaan dari sahabat lo, Gilang." ucap Rios dengan wajah tidak bersahabat.

Rius menaikkan kedua alis tinggi mendengar nama sahabat sejatinya, Gilang, disebut.

"Kenapa mesti lewat lo? Kenapa nggak Gilang ngomong sendiri ke gue? 'Toh gue masih satu kelas sama dia." ucap Rius membantah.

"Hm. Gilang lagi sakit. Dan satu hal pertama, dia lagi muak ngliat wajah lo, jadi jangan jenguk dia." Ada jeda terselip diantara kalimat tegas Rios,"dan hal kedua, jauhin Gita."

Nama Gita membuat senyum licik Rius terungkap untuk sekilas, namun kemudian menatap Rios tidak percaya, dan senyumannya pun pudar.

"Kenapa gue harus jauhin dia? Gue nggak akan mungkin bisa jauhin dia, karena Dirra juga sahabatnya dia." bantahan Rius membuat panah telak bagi Rios.

Hal itu membuat Rios sedikit geram, karena rencana Gilang bisa dibilang tidak terlalu mulus.

Anying, Gilangnya bolos lagi. Udah, deh. Mati kutu, gue-Aha!

"Lo yakin Gita masih nganggep Dirra sahabat? Gue, sih, nggak yakin. Setelah apa yang Dirra lakuin ke Gita, lo masih berpikir bisa nargettin Gita dengan mulus?" tanya Rios dengan nada mematikan, disertai senyum miring.

Membuat wajah seolah melecehkan dan merendahkan Rius. Namun, bukan Rius namanya kalau tidak pantang menyerah sebelum yang Ia mau, Ia dapatkan. Namun, Ia juga sedikit bingung. Ada permasalahan apa antara Gita dengan Dirra? Serumit itukah permasalahannya? Mengapa Dirra yang disalahkan dalam hal ini?

"Oh, udah kalah ngebacot. Udah ya, cotti, gue duluan aja. Ntar telat." ucap Rios dengan wajah meremehkannya yang tidak terelakkan, kemudian menaiki motor besarnya yang berwarna biru tua.

Sebelum benar-benar melaju pergi, Rius masih bisa mendengar nada mematikan Rios dari dalam helm tebal milik Rios.

"Lo nggak ada niat untuk sayang sama Gita, jadi jauhin dia. Hidup dia jauh dari normal sejak insiden diantara Dirra dan dia. Semuanya karena lo."

::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: :::

Anaya menatap pergelangan tangan Gita yang penuh dengan memar dan luka bekas goresan. Anaya menutup mulutnya dengan wajah terkejut sekaligus sedih. Tidak ada wajah iba yang tercetak di sana. Hal itu membuat Gita cukup senang, karena Gita tidak mau dikasihani.

"Sejak kapan lo mulai ... kayak gini?" tanya Anaya dengan suara bergetar hebat.

Sekujur tubuhnya lemas bagaikan jelly, dan saat ini bukan solusi yang bagus untuk membuka pintu toilet. Gita hanya tersenyum menenangkan.

"Udah lama, sih. Mungkin sejak gue masih SMP kelas 3, itupun awalnya cuma iseng. Bukan mau gue juga, sih. Hal ini juga jarang. Baru-baru ini aja gue mulai lagi." jelas Gita cukup panjang untuk semua penjelasan memar dan goresan yang dibuatnya.

Anaya pun tidak dapat menahan dirinya lagi. Ia berjongkok di bawah dan menangis, berusaha menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya. Gita yang melihat hal itu pun menjadi sedih. Gita ikut berjongkok dan mengusap lembut pundak Gita.

"Nay, udah nggak apa-apa."

Namun, sepertinya Gita salah langkah. Karena bukannya berhenti, Anaya makin menangis tidak terkendali. Anaya memukul-mukul tangannya sendiri, membuat Gita kewalahan menghentikannya.

"Nay, udah!"

Hingga tiga kali Gita memerintahkannya untuk berhenti memukul, namun Anaya tidak berhenti. Sampai untuk ke enam kalinya, dan Anaya baru mau berhenti. Pukulan Anaya membuat kulit-kulit pergelangan tangannya menjadi merah, bahkan ada yang hampir membiru. Gita tidak tahan melihatnya, dan hampir menangis. Kemudian, Ia memeluk Anaya.

"Gita, gue kayak gini, karena gue sahabat lo. Lo mungkin nggak anggep ini apa-apa. Tapi, kalo lo sakit, gue juga harus ikut sakit. Dan perbuatan lo ini udah cukup nyakitin hati gue. Lo tau? Kalo lo butuh teman cerita, gue pasti selalu siap, Git. Jangan anggep gue orang lain. I'll just be me. Kalo kayak gini, gue malah akan nyalahin diri sendiri dan-" sebelum selesai berbicara, Gita sudah kembali memeluknya. Kali ini, lebih erat.

"Iya, Nay. Lain kali nggak akan gue ulangi. Ya?"

::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: ::: :::

Dirra menggandeng lengan Rius dengan mesra.

"Nanti, kamu latian?" tanya Dirra dengan suara dibuat-buat seperti anak kecil yang imut nan polos, serta lugu; hal itu membuat Rius tidak tega dan tidak berdaya terhadap Dirra.

"Aku nggak latihan hari ini. Tapi ada satu hal yang aku harus omongin sama kamu. Pulang sekolah, aku tunggu di halaman belakang sekolah." ucap Rius dengan datar, tanpa ada nada sayang apapun, tidak seperti biasanya.

Dirra mengernyit bingung. Ada apa dengan Rius? Kenapa wajahnya terlihat tidak puas dan gusar?

"Kamu kenapa?" tanya Dirra, yang tanpa sadar melepas nada dibuat-buatnya.

Rius hanya mengangkat bahu dengan wajah gusar.

"Kamu kalo ada apa-apa, bisa cerita, 'kan? 'Kan ada aku." ucap Dirra lagi, tidak terlalu memperhatikan jawaban dari pertanyaannya.

Rius hanya mengangguk dengan wajah masih belum puas. Dirra menghela napas lelah.

"Ini udah satu bulan, dan baru sekali ini aku ngliat kamu sefrustasi ini. Kenapa, sih? Aku salah apa sama kamu, Ri?"

Rius menatap Dirra datar.

"Nggak apa-apa. Aku jelasin kalo kamu nurut untuk ketemuan nanti pulang sekolah. Okey?" Kali ini, Rius terlihat tidak terkendali dan perkataannya kali ini pun tidak dapat dibantah.

Maka, Dirra memutuskan untuk mengangguk.

SagitaRiusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang