Tararaaaaam Part 8 :D
Selamat Membaca :D
* * *
Raka
Aku meninggalkan semua berkas yang berserakan di mejaku. Aku memutar kursiku dan mengamati gedung-gedung pencakar langit yang menjadi pemandangan luar ruang kerjaku. Aku tidak bisa konsentrasi bekerja hari ini. Aku terus memikirkan istri mungilku, aku merindukannya. Padahal ini baru jam 11, kami baru berpisah selama 3 jam. Tapi aku sudah sangat-sangat merindukannya sekarang. Aku ingin bertemu dengannya, aku ingin menyentuh tubuhnya, aku ingin mencium bibirnya yang mungil dan melumatnya habis, aku ingin.. Aaah! Hentikan pikiran mesummu Raka! Batinku dalam hati. Untuk beberapa bulan ke depan kami memang belum boleh melakukan hal macam-macam. Ya, aku ingin Caca dan anak kami sehat selama masa kehamilan ini. Mungkin aku bisa pulang ke rumah sekarang, bertemu dengannya lalu mengelus perutnya dan mengobrol dengan anak kami? Itu tidak apa-apa kan? Aku cepat-cepat mengambil kunci mobil yang ada di atas mejaku tapi kedatangan perempuan itu menghentikan langkahku. Gina, sekretarisku menyusulnya dari belakang.
"Maaf Pak Raka. Ibu ini memaksa masuk, saya sudah mencoba untuk menahan dan melarangnya Pak. Tapi Ibu ini tetap memaksa masuk." Aku terus menatap dingin ke arah perempuan ini.
"Ya, Terima kasih Gina." Lalu Gina mengangguk dan menutup pintu ruang kerjaku. Meninggalkan kami berdua di ruang kerjaku yang luas. Aku kembali duduk dikursiku dan memutarnya ke arah jendela besar yang memisahkan aku dengan gedung-gedung pencakar yang ada di luar. Aku terus memikirkan istri mungilku.
Sudah 45 menit kami berdua hanya diam. Aku tidak berniat membuka pembicaraan dengannya. Aku sedari tadi hanya diam memikirkan istriku.
"Raka.." Aku mendengar Suara Sarah di dekat telingaku. Aku langsung memutar kursiku dan menatapnya dingin.
"Siapa yang suruh lo maju kesini? Duduk disana. Gue gak mau deket-deket sama lo." Sarah mengerjap kaget lalu dia kembali mundur, lalu duduk dihadapanku. Sarah terus menunduk, tidak lama setelah itu dia mendongak menatapku. Air mata sudah menghiasi kelopak matanya, tapi aku tidak perduli.
"Raka aku cinta sama kamu." Aku diam, tidak menjawab apa-apa.
"Raka, aku tahu kamu nikahin Caca cuma sebagai pelarian aja kan? Aku tahu kok kamu marah kan sama aku gara-gara kejadian waktu itu, iya kan? Dan aku juga tahu kamu cintanya sama aku kan Raka? Caca itu ngga pantes buat kamu, dia itu cewek murahan!"
Plakkk
Aku menampar pipi Sarah. Sarah memegangi pipinya yang memerah, air mata sudah sukses meluncur dari pipinya. Aku mencengkram dagunya dengan kesal.
"Lo bilang apa tadi Sarah? Caca ngga pantes buat gue? Emang lo pikir, lo pantes buat gue Sarah! Caca itu beribu-ribu kali lebih baik daripada lo! Dan tadi lo bilang Caca cewek murahan? Lo ngaca Sarah! Yang cewek murahan itu lo! Dasar cewek murahan, rendahan lo! Dan Caca bukan pelarian gue, gue tulus cinta sama Caca. Satu lagi, kalo lo berani ngejelek-jelekin istri gue lagi, gue ngga akan segan-segan untuk potong lidah lo Sarah!" Aku menatap Sarah dingin. Aku sudah muak dengan perempuan ini. Wajahnya saja yang terlihat lugu, tapi mulut dan hatinya benar-benar picik! Aku melepaskan tanganku dari dagunya dengan kasar. Aku kembali duduk di kursiku. Dia menyeringai dan mendekatkan wajahnya pada wajahku, dia lalu duduk di pangkuanku.
"Liat aja Raka, aku bakal bikin Caca lebih menderita daripada apa yang aku rasain sekarang. Dan anak? Kalian ngga akan pernah dapetin anak itu. Aku cinta sama kamu Sayang, aku ngga akan nyakitin kamu. Tapi, kalau untuk dapetin kamu aku harus bunuh perempuan sialan itu, aku bakal bunuh dia." Jantungku serasa berhenti berdetak mendegar kata-kata Sarah. Selama mengenal Sarah baru kali ini aku melihat keseriusan di matanya. Apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan? Aku harap Sarah tidak serius dengan kata-katanya, tapi melihat sorot matanya tadi aku yakin dia serius. Dia akan mencelakakan Caca dan anak kami?! Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Aku tiba-tiba terkesiap saat menyadari ada sesuatu yang basah menempel di bibirku. Sarah sedang menciumku dan dia memainkan lidahnya, berusaha membuka mulutku. Tangannya sedang membuka kancing kemejaku yang terakhir. Saat aku akan mendorong tubuhnya menjauh tiba-tiba ada sebuah teriakan yang membuat Sarah melonjak melepaskan ciumannya
"Raka!! Liat.." Suara itu, Rea. Aku menoleh ke arah sumber suara, dan aku lagi-lagi merasa jantungku berhenti berdetak saat melihat Caca yang saat itu sedang memandangiku dan Sarah. Dia sudah berlinang air mata. Aku cepat-cepat mendorong tubuh Sarah dan bangkit dari kursiku sambil berusaha mengancingkan kembali kemejaku. Tidak, tidak.. Aku tidak mau lagi melihat air mata itu, aku tidak mau melihat istriku menangis
"Sayang, sayang aku bisa jelasin ini." Kataku frustasi, aku berusaha menggapai Caca. Tapi dia menggeleng dan langsung pergi dari hadapanku. Saat aku mau berlari mengejarnya Sarah menahan tanganku dan mencengkramnya dengan kuat. Aku melotot ke arahnya, aku tidak main-main kalau makhluk yang ada di hadapan aku sekarang adalah seorang pria aku pasti sudah membunuhnya sekarang! Rea juga ngga mau kalah, dia menghampiriku dan dia mengatupkan bibirnya kuat-kuat menahan amarah.
"Kamu mau kemana sih Sayang? Jangan tinggalin aku." Kata Sarah dengan suaranya yang dibuat-buat manis. Aku menepis tangannya tapi dia langsung menggenggam lagi tanganku. Rea menampar keras pipi Sarah yang tadi sudah aku tampar. Dia lalu menatap aku dan Sarah bergantian. Rea lalu menjambak rambut Sarah sampai dia menjerit kesakitan.
"Kalian berdua tuh brengsek, gila!! Sarah, gue ngga akan biarin lo ganggu Caca. Gue ngga akan biarin lo nyakitin Caca. Lo belum tau aja berhadapan sama siapa jalang! Jangan pernah berani-berani lagi muncul dan ganggu keluarga gue." Rea masih menjambak rambut Sarah dan menatapku dingin,
"Dan lo kak! Kalo sampai terjadi sesuatu sama Caca, gue bersumpah gue bakal benci sama lo seumur hidup gue kak. Gue gak akan maafin lo! Kejar Caca sekarang Kak! Biar gue yang beresin si jalang ini!" Aku langsung berlari meninggalkan mereka berdua dan memutarkan pandanganku ke seluruh sudut gedung ini. Aku tidak peduli lagi dengan pandangan bingung semua karyawanku, yang aku pedulikan sekarang adalah aku harus menemukan Caca dan aku harus menjelaskan semuanya pada Caca.
Aku berlari menuju lift, dan benar saja Caca ada di sana. Dengan sangat gusar dan tidak sabar dia memijit-mijit tombol turun. Aku berlari mengejarnya
"Caca, Caca tunggu!" Caca pergi menjauhiku, aku tahu dia berusaha lari dan saat itu juga aku langsung mengenggam tangannya erat
"Caca jangan lari-lari! Caca berhenti tunggu!" Caca meronta-ronta berusaha melepaskan genggamanku. Aku langsung mendekapnya, memeluknya erat berusaha menenangkannya dalam pelukanku. Tapi hal itu tidak berhasil.
"Sayang aku bisa jelasin semuanya. Ini ngga seperti yang kamu lihat, kamu salah paham." Aku bisa merasakan Caca menggeleng dan menangkupkan kedua tangannya di telinganya. Aku mengerang frustasi, benci pada keadaan ini.
"Lepasin aku! Aku gak mau denger apa-apa, lepas Raka lepas!"
"Engga! Aku gak akan pernah lepasin kamu, dengerin dulu penjelasan aku Yang." Aku berteriak frustasi pada Caca. Aku benar-benar frustasi dan bingung. Bagaimana caranya agar aku bisa meyakinkan istriku sendiri? Bagaimana caranya agar istriku mau mendengar penjelasanku?
"Engga, aku gak mau Raka aku gak mau dengerin apa-apa. Tolong lepasin aku. Aku gak mau, tolong lepasin aku. Lepasin aku!! Kamu ngga malu apa sama pegawai-pegawai kamu hah?!" Caca terus meronta-ronta sambil terisak. Aku mempererat pelukanku. Aku tidak mau membiarkan istriku pergi meninggalkanku. Tiba-tiba aku merasakan badan Caca yang melemas, dia ambruk dalam pelukanku. Dengan sigap aku mempererat pelukanku pada Caca dan langsung menggendongnya menuju ruanganku. Yang ketiga kalinya dalam hari ini aku merasakan jantungku berhenti berdetak. Caca meringis kesakitan sambil memegangi perutnya. Aku makin panik melihat tingkah Caca. Tidak tidak, aku tidak mau sesuatu yang buruk menimpa istri dan anakku! Ketika sampai di ruanganku aku langsung menidurkan Caca di sofa dan membawa segelas air putih yang ada di meja kerjaku.
"Perutnya sakit Sayang? Ini minum dulu." Aku menyodorkan gelas yang ada di tangan kananku. Caca menggeleng menolaknya. Aku lalu menaruh gelas itu di dekat kaki sofa.
"Aku mau pulang. Aku capek." Aku mengangguk
"Ayo, ayo kita pulang sekarang Sayang." Caca kembali menggeleng, bulir-bulir air mata jatuh dari matanya. Aku ingin sekali menghapus air matanya saat itu, tapi rasanya keberanianku meluap entah kemana.
"Bukan kita, aku. Aku mau pulang. Aku bisa pulang sendiri. Ngga, aku pulang sama Rea. Rea pasti ada di bawah." Caca bangun lalu dia duduk sebentar, Caca lalu bangkit. Aku menahan tangannya tapi dengan cepat dia menepis tanganku.
"Please biarin aku pulang sendiri Raka." Caca memaksakan seulas senyum di bibirnya yang mungil.
"Jangan lupa nanti malem kita makan malam di rumah Ayah-Ibu." Aku mengamati punggung kecil Caca sampai menghilang dari pandanganku. Aku lalu berjongkok dan mengacak-acak rambutku. Bagaimana ini? Aku sudah membuat istri mungilku menangis lagi. Suami macam apa aku ini?
Aku mendengar suara pintu diketuk. Aku mempersilahkan orang itu masuk, dan ternyata dia adalah Gina.
"Ada apa Gina?" Tanyaku dengan agak ketus. Suasana hatiku sekarang sedang sangat buruk. Gina langsung membungkuk meminta maaf dan berbicara
"Maaf Pak, saya hanya ingin mengingatkan bahwa 30 menit lagi Bapak akan ada meeting dengan client kita dari London." Gina lalu memandangku dengan takut-takut, dia lalu melanjutkan ucapannya, "Maaf lagi Pak sebelumnya, Bapak mau saya siapkan baju ganti?" Aku memandangi kemejaku. Kusut. Aku sangat berantakan sekali sekarang.
"Ya, tolong siapkan kemeja ganti saya Gina. Terima kasih." Gina lalu mengangguk dan mengucapkan permisi. Aku harus meluruskan semua ini. Semakin lama aku dan Caca seperti ini aku yakin aku akan semakin frustasi nanti.
* * *
Raka
Meeting tadi membuahkan hasil yang sangat baik. Tapi perasaanku tetap kalut, tidak ada sedikitpun rasa senang menghiasi pikiranku. Yang ada , dari tadi aku terus memikirikan Caca. Entahlah, semenjak Caca pulang tadi perasaanku jadi tidak enak. Semoga ini bukan pertanda buruk. Aku merogoh sakuku dan mengambil handphoneku dari sana. Aku kaget melihat 20 panggilan tak terjawab dari Rea. Aku langsung menelpon Rea saat itu juga.
"Halo Rea, Rea ada apa? Sorry tadi gue lagi meeting. Kenapa Re?" Nada suaraku berubah menjadi sangat cemas, aku bisa merasakan nafasku tidak beraturan saat itu. Dadaku tiba-tiba terasa sesak, seperti ada beban besar yang menghimpit dadaku.
"Kak, Caca masuk Rumah Sakit." tiga kali Caca, kamu membuat jantungku serasa berhenti berdetak tiga kali dalam hari ini. Tapi setelah itu aku malah merasa jantungku berdetak tidak karuan. Aku takut.
"Kenapa? Dimana? Rumah Sakit mana?" Suaraku bergetar saat itu, dan aku rasa Rea bisa mendengarnya dengan sangat jelas.
"Tenang Kak, tenang. Caca sekarang udah baik-baik aja. Tadi dia muntah-muntah, dan dia pingsan. Caca maksa minta pulang sama dokternya, sebenernya dokternya minta Caca buat nginep sampe malem soalnya dia harus di infus."
"Rawat aja Re, rawat sampe malem nanti. Asalkan Caca baik-baik aja." Dadaku masih terasa sesak, aku sangat ingin bertemu Caca saat ini.
"Caca ngga mau Kak. Kita ngga bisa maksa."
"Dimana? Dimana kalian sekarang? Gue kesana sekarang juga." Aku sudah bersiap dan mengambil kunciku. Tapi Rea berteriak dari ujung sana membuatku menjauhkan handphone yang ada di tanganku dari telingaku.
"Jangan Kak, lebih baik lo tunggu aja di rumah. Lo dateng kesini malah bakal bikin semua jadi ruwet lagi Kak. Gue pesen satu aja Kak, tolong jagain Caca. Gue udah anggep Caca sebagai kakak kandung gue sendiri. Kalo sampe terjadi sesuatu sama dia dan ponakan gue, gue bener-bener bakal benci sama lo selamanya Kak. Gue gak akan maafin lo. Dan jangan bahas masalah Rumah Sakit ini. Caca ngga tau kalo gue ngadu sama lo." Aku terdiam, ya.. anak kami. Bagaimana keadaan anakku?
"Re, anak gue baik-baik aja kan? Caca juga baik-baik aja kan Re?" Aku bisa mendengar Rea terkekeh pelan disana
"Lo itu emang suami posesif ya Kak. Over protective banget sih. Tenang aja, Caca sama anak kalian sehat-sehat aja. Itu tuh lo tau kan berita Kate Middleton waktu itu Kak? Dokter bilang ya Caca itu macam gitu Kak, mualnya mual yang maha dahsyat. Tapi kata dokter jangan khawatir, justru itu menunjukan bahwa anak kalian itu kuat dan sehat Kak." Aku tersenyum mendengar kata-kata Rea. Perasaan lega langsung menyelimuti hatiku saat itu. Anak kami sehat, dan Caca juga sehat. Itu adalah sebuah anugerah yang sangat luar biasa.
* * *
Caca
Aku sendiri bingung dengan perasaanku saat ini. Aku marah dan kecewa pada Raka. Sangat marah! Tentu saja aku berhak marah, suamiku berciuman dengan mantan kekasihnya di dalam ruang kerjanya! Tapi di sisi lain aku juga merasa sedih, sedih karena aku ingat bahwa Sarah sepertinya lebih mengenal suamiku sendiri daripada aku, dan aku sepertinya tidak pantas menjadi istri Raka. Dan di tambah lagi aku juga bingung, apa yang harus aku lakukan sekarang? Harus bagaimana sikap aku pada Raka sekarang? Menjauhinya? Kenapa harus menjauhinya? Aku merasa aku tidak berhak melakukan itu. Bahkan, marah padanya pun aku tidak berhak. Selama ini aku menyakitinya, dan Sarah tidak pernah melakukan hal itu. Aku tidak berhak marah padanya.
Atau apa seharusnya aku bersikap seperti biasa padanya? Seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu? Tidak, aku tidak bisa melakukan hal itu. Bagaimanapun juga sebagian kecil hatiku merasa marah dan kecewa padanya. Hey, dia sudah beristri. Kenapa dia harus mencium mantan pacarnya di kantornya sendiri? Ini bukan mencium pipi layaknya teman lama, mereka saling menautkan bibir mereka bersama. Sekarang aku bingung sekali harus bagaimana kalau bertemu Raka. Tiba-tiba, aku merasakan ada sesuatu yang hangat menyentuh dahiku. Aku mendongakan kepalaku da melihat Raka sudah berdiri di depanku dan terkekeh pelan melihatku.
"Alisnya sampe nyatu gitu Yang. Lagi mikirin apa sih?" Dia duduk di sampingku. Aku kembali menunduk. Bingung harus berbuat apa. Setidaknya aku tahu Raka akan bahagia bersama Sarah. Toh dulu waktu kuliah dia pernah cerita bahwa dia serius dengan Sarah. Mungkin Raka sudah memaafkan perbuatan Sarah.
"Cuma kamu satu-satunya yang ada di hati aku Ca, yang bikin aku bahagia itu kamu, bukan Sarah. Dan aku serius sama kamu." Aku mendongak dan mengernyit menatap Raka. Gimana bisa? Aku ngga bicara kan? Aku cuma ngomong di dalem hati kan? Kenapa jawabannya?
"Oh, dan satu lagi Yang. Aku serius cuma sama kamu aja."
Hah? Tapi kan? Kamu bohong sama aku. Kamu pasti masih cinta kan sama Sarah. Buktinya tadi kamu ciuman sama Sarah! Dan kamu ngga nolak! Batinku dalam hati. Raka kembali tersenyum lembut padaku.
"Kamu udah siap denger penjelasan aku Yang? Aku ngga bohong sama kamu. Aku cuma cinta sama kamu, cuma kamu yang ada di hati aku Yang." Aku kembali mengernyit. Tidak percaya dengan apa yang Raka jawab. Gimana mungkin dia bisa jawab semuanya dengan tepat?
"Aku ngga bicara kan? Kenapa kamu bisa?" Aku mengacungkan telunjukku ke muka Raka. Raka mengambilnya dan menciumnya dengan lembut.
"Mulut kamu emang ngga bicara Yang, tapi aku bisa tahu semuanya dari mata kamu. Hey, kamu pikir aku siapa? Aku ini suami kamu loh! Aku tau semuanya." Aku mengerjap bingung, aku ngga tau harus gimana sekarang.
"Tapi, tapi.. Tadi kalian berdua ciuman. Raka kamu ciuman sama Sarah. Dan kamu ngga nolak, kamu malah diem aja. Aku sekarang bingung banget harus kaya gimana sama kamu. Aku marah dan kecewa sama kamu Raka, tapi aku ngga berhak untuk kaya gitu. Selama ini aku nyakitin kamu, aku bikin kamu menderita. Tapi apa aku harus bersikap biasa aja? Aku ngga bisa ngelakuin itu Raka, aku marah sama kamu, aku kecewa sama kamu. Aku sedih Raka. Kamu sama Sarah emang ditakdirkan untuk sama-sama, bukan aku yang seharusnya jadi istri kamu. Sarah.." Aku dibungkam oleh bibir Raka yang hangat. Air mataku tiba-tiba pecah saat itu juga. Raka terus melumat bibirku dengan lembut. Seolah-olah dari sana aku merasakan bahwa Raka mencurahkan seluruh perasaannya dalam ciuman itu. Seluruh cintanya padaku. Raka melepas ciumannya dan mengusap air mataku
"Kamu bisa merasakannya Sayang? cinta aku buat kamu. Seutuhnya buat kamu. Ngga ada satupun perempuan yang mengisi hati aku selain kamu. Aku cinta banget sama kamu Carissa Kalandra Aulia. Kamu mau kan percaya lagi sama aku? Aku bener-bener cinta sama kamu." Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku. Aku senang sekali sekarang.
Aku memeluk Raka erat. Aku tidak peduli lagi dengan hal lain. Aku tidak peduli dengan perasaan Raka pada Sarah, juga tidak peduli dengan Sarah yang mungkin akan terus mengusik kehidupan rumah tangga kami. Yang aku tahu pasti adalah, aku sangat mencintai laki-laki yang sekarang ini ada di depanku.
* * *
Aaaaaakhirnya part 8 tamat hehe :D
Terima kasih banyak untuk temen-temen yang udah mau meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini :')
Terima kasih banyaaak juga untuk temen-temen yang udah vote, komen, dan masukin cerita My Husband and Minyak Telon ke reading listnya aaaaa terima kasih banyaaak :'D
Semoga tidak ada lagi yang mengganggu rumah tangga Raka dan Caca ya :3
Next Chapter menyambut kedatangan baby N :3
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband and Minyak Telon (TAMAT)
Historia CortaCerita tentang Raka yang ngga suka minyak telon dan istrinya Carissa yang suka banget minyak telon .__. Apakah perbedaan kecil ini bisa membuat mereka berpisah?