Part 13

15.3K 652 10
                                    

Caca


Aku kaget sekali saat melihat pria yang kemarin muncul dihadapanku. Raka tiba-tiba datang, jujur aku senang sekali melihat Raka saat itu. otak dan perasaanku tidak bisa berbohong. Aku sangat merindukan pria itu. Keadaan Raka terlihat sangat buruk menurutku, dia terlihat sangat pucat, Raka bahkan membiarkan kumis dan janggut tipisnya tumbuh. Dia tidak pernah melakukannya sebelumnya. Raka termasuk tipe orang yang rapih dan perfeksionis. Dan yang lebih parah lagi dia semakin kurusan! Singkatnya keadaan Raka terlihat sangat berantakan dan menyedihkan. Apakah Sarah tidak pernah merawatnya selama ini?
Seseorang memegang bahuku dan saat itu juga aku kembali ke dunia nyata, Tania dan Sonya tersenyum dengan sangat sumringah.
"Kak ayo, kita kan mau ke Rumah Sakit. Waktunya Kakak USG kan."
"Aku mau ketemu dedek kaaak." Kata Tania dan Sonya bergantian merajuk seperti anak kecil sembari mengambil tasku. Aku mengangguk lalu bangun dan pergi bersama 2 bocah yang selama hampir sebulan ini selalu menghiburku.



* * *

Raka


Aku berjalan mondar-mandir dengan gusar di dalam kamar hotelku. Meeting baru selesai 10 menit yang lalu, dan aku langsung menyesali perbuatanku. Kenapa aku tidak mengejar Caca tadi? Kenapa aku malah melongo diam seperti orang bodoh? Wanita yang selama 1 bulan ini terus aku cari siang tadi ada di hadapanku. Dan nyatanya aku malah membiarkannya pergi untuk yang kedua kalinya, aku benar-benar bodoh. Dan bodohnya lagi seharusnya aku meminta nomor telpon Tania tadi. Aku tidak bisa menanyakan keadaan Caca kan kalau begini. Otakku benar-benar bekerja sangat lambat hari ini. Dan handphoneku berdering lagi, menandakan ada sebuah telpon yang masuk. Aku mengernyit melihat nomor ini, nomor baru. Mungkin ini Tania.
"Halo Assalamualaikum Kak Raka, ini Tania." Aku tersenyum dengan sumringah dan mengangguk-angguk.
"Waalaikumsalam, Tania lagi sama Caca ga?" Kataku langsung to the point, aku sangat merindukan wanitaku. Aku ingin bertemu lagi dengan Caca dan kembali menjelaskan semuanya, Caca harus tahu kebenarannya. Aku tidak sanggup berlama-lama jauh dari Caca.
"Iya Kak, Kaka Caca di rumah sakit."

DEG.

Jantungku langsung berdegup lebih kencang, kenapa Caca ada di rumah sakit?
"Rumah Sakit mana Tania? Saya kesana sekarang, Caca ngga apa-apa kan? Anak kami ngga apa-apa kan Tania? Kalian dimana sekarang?" Tanyaku dengan gusar. Dadaku terasa sangat sesak dan sakit, aku tidak mau terjadi apa-apa pada mereka.
"Eh anu kak itu.."
"Dimana Tania? Kalian dimana?" Aku menyela perkataan Tania. Aku sungguh takut mendapat berita ini, aku harus melihat keadaan Caca sekarang juga. Setelah Tania menyebutkan nama Rumah Sakitnya aku langsung keluar dari kamar dan menaiki mobilku, mengendarainya seperti orang kesetanan. Aku tidak memperdulikan keselamatanku sendiri saat itu, yang paling penting adalah Caca dan anakku baik-baik saja. Tidak sampai 20 menit aku sampai dan aku langsung masuk ke dalam Rumah Sakit. Dan saat itu aku langsung melihat sesosok wanita yang sedang tertawa bersama 2 temannya. Aku langsung memutar tubuh wanita itu dan memeluknya dengan erat, enggan melepaskannya.
"Raka lepas, kamu apa-apaan sih? Lepasin aku Raka." Seperti biasa aku tidak menggubris perintah Caca yang satu ini, malah aku semakin erat memeluknya.
"Kalian ngga apa-apa kan? Mana yang sakit Sayang? Kalian kenapa?" Tanyaku dengan nada khawatir yang tidak bisa aku sembunyikan. Aku bisa merasakan Caca yang masih meronta-ronta minta dilepaskan dari pelukanku.
"Kak Caca sama adek ga apa-apa kok Kak. Kak Caca hari ini mau USG." Kata Tania dengan nada sedikit takut, aku menolehkan kepalaku ke arah Tania. Dia terlihat ketakutan.
"Alhamdulillah, aku kira kalian kenapa-napa. Makasih Tania." Kataku sambil mengelus puncak kepala Caca dengan lembut dan menciumnya. Caca masih terus meronta-ronta minta dilepaskan, aku lalu mengendurkan pelukanku. Caca menautkan kedua alisnya, terlihat marah. Tapi di mataku Caca yang seperti itu justru terlihat sangat menggemaskan dan sangat lucu.
"Kenapa kamu bisa ada disini? Mau apa kamu kesini?" Kata Caca sambil berkacak pinggang, berusaha menampakkan amarahnya yang justru malah membuatku makin ingin mencium bibirnya! Oke, Raka hentikan pikiran mesummu. Ini bukan saat yang tepat. Mesum? Tunggu, aku tidak bermaksud mesum. Lagipula tidak apa-apa kan kalau aku mencium Caca, toh dia istriku, wanitaku. Baiklah, pikiranku sudah melantur terlalu jauh. Aku harus segera menghentikannya disini.
"Aku.. apa tadi Sayang?" Kataku sambil mengerjap-ngerjap. Sungguh, saat ini kepalaku terasa sangat sakit. Sepertinya gara-gara itu otakku kena imbasnya, dia bekerja menjadi sangat lambat hari ini.
"Kenapa kamu bisa ada disini? Mau apa kamu kesini?" Kata Caca mengulangi kata-katanya tadi. Aku balik mengernyit.
"Aku khawatir sama kalian. Aku kira terjadi sesuatu sama kalian. Kamu ngga tahu kan Sayang segimana khawatirnya aku saat denger kamu lagi di Rumah Sakit? Aku takut Caca."
"Kamu ngga usah khawatir tentang keadaan aku dan anak aku. Kamu cukup urusin kehidupan kamu aja. Aku berharap kamu bisa bahagia dengan kehidupan kamu. Dan tunggu, darimana kamu tahu aku lagi di Rumah Sakit?" Caca membalikkan tubuhnya membelakangiku, dia menatap dua temannya sambil memicingkan matanya, berusaha mencari 'orangnya'.
"Sonya atau Tania. Pasti diantara kalian ada yang ngasih tau keberadaan aku kan?" Kata Caca dengan nada curiga.
"Pasti Tania deh Kak. Itu ekspresinya aja jadi berubah kaya gitu. Hayoolooh Tania." Kata salah satu teman Caca-Sonya-sambil terkekeh melihat Tania yang terlihat ketakutan. Tania langsung memeluk Caca dan melafalkan perkataan maaf berulang-ulang. Caca cemberut dan mencubit pipi Tania dengan gemas.
"Jadi mau jadi mata-mata huh Tania?" Kata Caca sambil masih mencubit pipi Tania. Tania meringis-ringis sambil masih memeluk Caca dan menggumamkan kata maaf.
"Ibu Carissa Kalandra Aulia, silahkan masuk." Kata seorang perawat tidak jauh dari tempat kami, Caca melepaskan cubitannya di pipi Tania dan tersenyum lalu mengangguk pada perawat itu.
"Kakak mending masuk sama Kak Raka aja deh, kita tunggu disini aja." Kata Sonya dengan wajah coolnya. Aku tersenyum sangat lebar dan mengacungkan jempolku pada Sonya, dia benar-benar keren.
"Looh kok gitu, aku pengen liat dedek juga Sonyaa." Kata Tania sambil merajuk menarik-narik tangan Sonya, Sonya menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengusap-usap dahinya seolah tidak mengerti dengan jalan pikiran temannya yang satu itu.
"Tania, Kak Raka itu suaminya Kak Caca. Ayah dari dedek bayi, Kak Raka juga pasti kangen sama Kak Caca. Kita ga boleh ganggu mereka. They need their own time." Tania mengangguk-angguk dan mulutnya membentuk huruf O dengan sempurna.
"Tapi aku mau masuk sama kalian, siapa bilang aku mau masuk sama Raka? Katanya kalian mau ketemu adek bayi, ayo masuk temenin aku." Kata Caca menarik-narik tangan Sonya dan Tania.
"Ngga kak, kita tunggu disini aja. Tuh liat perawatnya udah ngeliatin Kakak terus." Kata Sonya lagi-lagi dengan bijaknya. Aku sangat-sangat berhutang budi pada Sonya, dan Tania juga tentunya.



* * *


Caca


Dan akhirnya aku berakhir di ruang pemeriksaan bersama Raka. Selama 20 menit tadi Raka terus cerewet menanyakan segala hal pada dr Cindy. Aku berusaha memerintahkan otakku untuk merasa marah dan tidak suka saat itu. Tapi hatiku berkata lain, aku sangat bahagia sekali saat itu. Aku senang karena hari ini aku bisa ditemani oleh Raka untuk USG seperti dulu. Aku terus mengingatkan otak dan hatiku bahwa ini adalah bonus yang aku dapatkan, kebahagiaan ini tidak akan selamanya aku rasakan, aku rasa. Jadi aku harus merasakannya dengan sebaik-baiknya. Dan sekarang kami berdua ada di dalam mobil. Ya, berdua. Raka mengantar Tania dan Sonya pulang duluan.
"Sayang, kamu mau temenin aku sebentar ga? Klien aku ulang tahun, kamu mau temenin aku kan?" Kata Raka menoleh ke arahku sebentar, laku kembali memperhatikan jalan yang ada di depannya.
"Kenapa ngga pergi sama Sarah aja?"
"Kenapa harus sama Sarah? Istri aku kan kamu Sayang." Kata Raka tanpa mengalihkan pandangannya kali ini. Dari nada bicaranya aku tahu Raka merasa kesal sekarang.
"Tapi yang kamu cintain kan Sarah. Kenapa harus aku?"
Raka tidak menjawab pertanyaanku. Oke, kalau sudah seperti ini sudah pasti Raka bete. Aku pun lebih memilih ikut diam, aku juga bingung harus bicara apa sekarang. Setidaknya aku sangat bahagia sekali hari ini, akhirnya rindu yang selama ini tidak terbendung bisa meluap dari hatiku. Aku bahagia sekali bisa melihat laki-laki yang sekarang ini ada di sampingku, laki-laki yang selama 1 bulan ini selalu aku rindukan di setiap harinya. Dan besok aku harus mengucapkan selamat tinggal pada mimpi indahku ini, aku harus melakukan semua aktivitasku seperti 1 bulan yang lalu, melakukan segala hal tanpa ada Raka di sampingku.



* * *


30 menit kemudian kami sampai di sebuah rumah yang terbilang megah. Raka melepas seatbelnya lalu mengambil sebuah kado-yang aku yakin isinya adalah buku yang tadi siang dia beli-dari kursi belakang lalu keluar duluan. Dia lalu membuka pintuku dan melepas seatbeltku. Raka menggenggam tanganku dengan erat tapi lembut. Seolah-olah Raka tidak ingin melepaskanku dan tidak ingin aku tinggalkan. Sebelum sampai disini Raka menyempatkan diri pergi ke sebuah butik dan memberikanku sebuah dress berwarna biru yang sangat cantik. Raka juga mengambil sebuah tuxedo hitam. Dan dalam balutan tuxedo hitam ini suamiku terlihat semakin tampan dan gagah. Aku sampai harus terus menunduk karena Raka, karena kalau tidak seperti itu jantungku ini berdetak lebih kencang dari biasanya. Aku tahu ini memalukan bukan? Aku terlihat seperti seorang remaja yang sangat terpesona pada pacarnya. Tapi inilah kenyataannya, aku tidak bisa mengontrol perasaanku. Dan karena sibuk dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba sekarang kami sudah ada di depan seorang pria paruh baya yang terlihat sangat ramah. Aku yakin beliau pasti adalah klien Raka yang hari ini berulang tahun. Raka mengulurkan tangannya sambil tersenyum, lalu mereka bersalaman.
"Selamat ulang tahun Pak Haikal. Semoga di tahun ini juga selalu diberi kebahagiaan dan kesehatan. Semoga bapak suka hadiah saya." Pak Haikal tertawa dan menepuk-nepuk bahu Raka sambil tertawa, dan menerima hadiah dari Raka. Mata Pak Haikal berkilat-kilat melihat hadiah Raka.
"Terima kasih banyak Pak Raka. Terima kasih juga sudah menyempatkan datang ke acara ini, saya sangat senang bapak bisa datang. Dan saya sangat suka sekali hadiah dari Pak Raka, terima kasih banyak." Kata Pak Haikal lembut, beliau lalu menoleh ke arahku. Senyumnya makin melebar.
"Dan wanita cantik ini pasti istri anda kan?" Raka tertawa lalu melingkarkan tangannya di pinggangku.
"Ya, wanita cantik ini istri saya Pak. Saya sangat beruntung bisa mendapatkan wanita ini Pak." Lalu mereka berdua kembali tertawa, sedangkan aku, aku hanya bisa menunduk malu. Wajahku pasti sukses memerah sekarang karena aku merasa pipiku panas sekarang.
"Dan sepertinya ada yang akan menjadi ayah sebentar lagi ya? Selamat Pak Raka. Sudah tahu jenis kelaminnya?" Raka tersenyum lalu mengusap-usap punggungku. Aku mendongak menatap Raka, dan ternyata saat itu Raka juga sedang menatapku, tersenyum dengan sangat lembut. Senyuman yang selalu aku suka, senyuman yang selalu aku rindukan. Dan aku beruntung sekali karena hari ini aku masih diberi kesempatan untuk bisa melihat lagi senyuman itu.
"Terima kasih Pak Haikal, saya minta doanya agar istri dan anak saya sehat terus. Perempuan pak, saya akan menjadi laki-laki paling tampan di rumah." Lagi, Raka dan Pak Haikal tertawa bersama, dan aku hanya bisa menunduk malu mendengar percakapan mereka.


* * *

Raka

Aku marah pada Caca saat ini. Kenapa? Tentu saja karena istri mungilku itu selalu mengungkit masalah Sarah terus dan terus. Seharusnya kan Caca tahu bahwa hanya Caca yang aku cintai, Caca adalah satu-satunya wanitaku! Tapi Caca terus bersikeras membawa Sarah dalam hubungan kami. Aku sendiri sekarang tidak bisa konsentrasi terhadap lingkungan sekitarku. Aku mengutuk semua bagian tubuhku sekarang terutama mata dan otakku. Tidak benar-benar mengutuk sih, tapi saat ini aku tidak bisa mengalihkan perhatianku dari Caca. Aku terus-terusan memikirkannya dan terus memandangnya. Bahkan meskipun saat ini Caca tepat berada di sampingku. Otak dan pikiranku sekarang hanya dipenuhi dengan Caca. Apalagi dengan dress yang saat ini dia kenakan-yang menampilkan dengan jelas perut buncit indah Caca-membuatku ingin membawanya pergi dari sini dan menghabiskan malam bersamanya seperti yang sering kami lakukan, hanya kami berdua di atas tempat tidur, tanpa sehelai benang pun. Oke, hentikan pikiran mesummu Raka. Tapi aku serius tentang tidak bisa mengontrol pikiranku sendiri, hanya Caca yang memenuhi pikiranku saat ini.
Setelah perbincanganku dengan Pak Haikal selesai, aku membawa Caca ke tempat hidangan disajikan. Aku masih mogok bicara pada Caca, aku ingin Caca bicara padaku duluan dan membujukku. Kekanakan bukan?
Aku terus memperhatikannya, tapi Caca tetap diam. Dia hanya mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Tidak memandangku sedikit pun. Kadang aku merasa Caca tidak adil, lagi-lagi sisi kekanak-kanakanku keluar. Aku selalu memandang Caca, memperhatikan Caca. Hanya Caca yang ada di mataku, selalu hanya Caca. Tapi Caca, sepertinya bukan aku yang ada di matanya. Dan aku kaget sekali saat itu karena Caca tiba-tiba memandangku dengan tajam. Tepat ke dalam manik mataku. Caca terlihat seperti menahan tangisannya. Caca lalu menarikku keluar dari kerumunan ini, dia menarikku sampai di taman belakang. Ketika kami sampai di tengah-tengah taman dia berhenti dan kembali memandangku lekat.
"Kamu salah, cuma kamu Raka yang ada di hati aku, cuma kamu yang ada di mata aku. Aku ngga bisa lepasin pandangan aku dari kamu, cuma kamu yang selalu aku pikirin. Ngga ada siapapun selain kamu." Butir-butir air mata dengan lancarnya mengalir dari mata indah Caca. Aku sendiri masih kaget mendengar kata-kata Caca, bagaimana mungkin Caca tahu apa yang aku pikirkan? Bagaimana bisa?
Aku mengusap pipinya dengan lembut dan mengangkat dagunya, mencium bibir merah dan lembutnya dengan lembut. Aku merindukan bibir mungil ini, aku merindukan Caca. Dan saat ciuman kami terasa makin kasar Caca segera menyudahi ciuman kami. Dia pergi meninggalkanku lebih dulu. Sedangkan aku, aku hanya bisa terdiam mencerna semua hal yang telah terjadi tadi. Bagaimna mungkin Caca bisa tahu apa yang aku pikirkan? Bagaimana bisa? Apa mungkin tadi aku menggumamkan pikiranku itu? Tapi aku rasa aku tidak mengeluarkan sedikit pun suara tadi. Dan hal ini membawaku dalam sebuah kesimpulan, bahwa Caca memang adalah wanitaku. Dia benar-benar wanitaku, satu-satunya.


* * *

Part 13 selesai hohoo ヽ(;▽;)ノ
Sekali lagi maaf temen-temen karena belum bisa bales komennya satu-satu, tapi saya selalu baca satu-satu komennya kok, dan itu sangaaaat berarti bagi sayaa terima kasih banyaaak teman-teman ♪('ε` ) :')
Dan maaf juga karena udah bikin bingung, cerita My Husband and Minyak Telon belum tamat. Saya sendiri masih belum tahu tamatnya kapan, karena yang bawa cerita ini Caca dan Raka, jadi saya belum tau ini tamatnya kapan maaf yaaak .__.
Dan maaf lagi ya kayaknya makin lama ceritanya makin melenceng dari judulnya ya, hohooo maafkan sayaaa tapi saya harap temen-temen menikmati cerita ini yaa semoga terhibur :')
Terima kasih untuk teman-teman yang sudah baca, vote, komen, dan masukin cerita My Husband ke reading listnya. Terima kasih banyaaak semuanya :D

My Husband and Minyak Telon (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang