Chapter 4: Misi (2)

110 10 0
                                    

Gadis berambut pirang kekuning - kuningan itu membolak - balikkan lembaran buku yang di pegangnya. Hanya membolak - balikkannya saja, tanpa ada niat ingin membacanya, sama sekali tidak ada. Mata hijaunya terfokus pada bukunya, namun tidak sejalan dengan pikirannya. Ia lebih fokus pada headset khusus yang dipakainya, headset yang penting untuk memantau misinya.

Ia masih diam, tak melakukan panggilan apapun kepada sahabat - sahabatnya. Justru, ia kini yang menanti panggilan itu. Berharap sahabat - sahabatnya mengatakan misi telah selesai. Terus menanti itu membosankan.

Atap sekolah yang berisi beberapa kursi taman kosong dan tanaman liar tak terawat pun kini jadi objek penglihatannya. Nancy mengedarkan pandangannya dengan bosan. Lalu mendengus kesal.

Tap .. Tap .. Tap ..

Nancy sedikit terganggu, waspada saja kalau ada orang yang mencurigai keberadaannya di rooftop. Ia pun menoleh ke arah sumber suara. Matanya menangkap seorang pria berjalan terhuyung - huyung dengan sejumlah luka di pelipis dan bibirnya. Pria itu nampak kesakitan. Mungkin luka akibat berkelahi, baju dan penampilan yang awut - awutan semakin menyakinkan kalau ia telah berkelahi.

Nancy iba? Tidak!

Dengan tanpa rasa kasihan, ia malah melanjutkan adegan sok pintarnya lagi dan lagi. Tanpa mempedulikan orang yang kesakitan itu. Ia kembali membuka buku yang ia pegang. Padahal melihat sampulnya saja ia sudah bosan bin eneg, ia tetap melanjutkan misi ini demi keamanan dirinya dan sahabat - sahabatnya itu.

Woshhh..

Angin tiba - tiba bertiup kencang, yang tadinya hanya semilir, sekarang berubah menjadi sangat kencang, walau tidak seperti badai. Rambut Nancy bukan bergoyang lagi, tapi sudah melambai - lambai tertiup angin. Angin itu menerbangkan rambutnya hingga berkibar layaknya bendera, membuat jepit hitam kecil yang diselipkan ditelinganya ikut terbang. Terbang terbawa hembusan angin, terbang menuju laki - laki itu. Tentu saja Nancy tak menyadarinya.

Laki - laki yang tampak sama cueknya dengan Nancy itu pun tak menyadari kehadiran Nancy di sana. Pikirannya kini hanya satu, ia ingin sendiri tanpa ada orang lain di sampingnya. Tanpa siapapun.

Angin masih bertiup kencang, rambut Nancy pun masih setia beterbangan. Nancy menikmati hembusan angin yang mengelus setiap inci kulitnya. Ia memejamkan matanya, suasana yang sempurna untuk sedikit bersantai. Melupakan misi itu dulu, dan membiarkan mereka melanjutkannya.

"Hei!", kata seseorang dengan tampang garangnya pada Nancy. Si empunya nama pun masih tenggelam dalam suasana pagi ini. Hingga tak sadar, ada yang menepuk bahunya.

"Hei, aku bicara padamu!", ulangnya lagi dengan nada sedikit meninggi.

Nancy terusik. Akhirnya ia putuskan untuk membuka matanya dan melihat lelaki itu berdiri di sampingnya. Nancy melihatnya tanpa selera alias muka datar sekali, dan ia pun memberikan respon dengan menggeser pantatnya di kursi taman, menjauhi lelaki itu.

"Bisa kau pergi, sekarang!?", tanya lelaki itu lagi.

"Apa kau tidak terbalik atau ... salah?", Nancy berkata dengan sinisnya, lalu melanjutkan, "Aku yang harusnya menyuruhmu pergi dari sini, karena aku yang duluan di sini!"

Lelaki itu tampak bersungut - sungut mendengar perkataan gadis keras kepala itu. Ia mendengus kesal, lalu menarik nafasnya kuat - kuat dan mengembuskannya dengan kencang, berusaha menahan sedikit amarahnya yang terguncang setelah kejadian tadi.

"Apa kau tidak tahu siap-"

"Tidak tahu, mengapa kalau aku tidak tahu, hah?", sambar Nancy, seperti langsung tahu kalau lelaki itu akan mengatakan siapa dirinya, dan ia tak suka dengan hal - hal seperti itu.

The N.B.D.XTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang