4 - A Stupid Second Struck

9.5K 1K 17
                                    

Aku mempercepat langkahku dalam hati berharap bisa menyusul Kak Vino sebelum kehilangan jejaknya. Mungkin akan lebih cepat kalau saja aku berani meneriakkan nama Kak Vino. Namun memikirkannya saja membuat aku salah tingkah.

Langkah Kak Vino cepat-cepat. Ia sepertinya sedang tergesa-gesa menuju sebuah tempat.

Layaknya keajaiban dunia, halaman sekolah siang ini jauh dari kata ramai. Kini kondisinya bahkan hampir tidak berpenghuni. Hanya ada beberapa siswa yang duduk di meja panjang dengan gaya tidak peduli. Sebenarnya ada keajaiban apa yang bisa membuat siswa-siswi sekolah ini rela membagi jam istirahat untuk datang ke sini dan lebih memilih berdesak-desakan di depan sana?

Kak Vino bergerak semakin jauh. Sesekali ia melihat ke kiri dan ke kanan seolah memastikan tidak ada yang tengah mengamatinya. Apa sebenarnya ia tidak mau ada orang tahu kemana ia akan pergi sekarang? Aku sudah tertinggal cukup jauh di belakangnya dan sampai aku melihat ia masuk ke dalam ruangan yang dulu sempat digunakan sebagai perpustakaan. Setahu kami ruangan itu sudah lama tidak terpakai dan terkunci tapi melihat Kak Vino berhasil masuk ke dalam tanpa kendala, artinya memang ada sesuatu yang ingin dilakukannya di sana.

Mendadak jantungku mulai berdebar-debar. Aku tidak membayangkan seorang Kak Vino memiliki sebuah rahasia. Maksudku, rahasia apa yang dimiliki oleh seorang Kak Vino? Apa dia merokok? Tapi rasanya tidak mungkin Ka Vino yang biasanya ditugasi melakukan razia ujung-ujungnya merokok juga?

Rasa penasaran membuat aku terus melangkahkan kaki mendekat ke ruangan tua itu. Ada celah yang cukup lebar pada pintu yang memungkinkan aku untuk masuk.

Ruangan itu gelap. Sumber pencahayaan hanya berasal dari lubang antar jendela yang tertutup. Saat bergerak maju, suara pintu sedikit terlalu bising dan membuatku khawatir kalau Kak Vino akan menyadari keberadaanku. Namun kesunyian yang menyambutku membuat aku kembali bernapas lega.

"Kita tidak mungkin terus sembunyi-sembunyi seperti ini terus,"

Suara cewek yang kudengar berhasil membuatku menghentikan langkah. Tunggu. Jadi ada orang lain di ruangan ini selain Kak Vino?

"Kalau sampai ketahuan yang lain resikonya terlalu besar," kali ini suara Kak Vino yang terdengar.

"Mau sampai kapan kita begini terus?" sahut cewek itu terdengar semakin pasrah.

"Kamu tenang aja. Nanti aku cari jalan keluarnya," suara Kak Vino terdengar menenangkan.

Tubuhku mendadak lemas. Daripada jatuh pingsan karena semakin patah hati mendengarkan obrolan mesra Kak Vino dan cewek itu, aku memutuskan untuk pergi diam-diam. Kamu? Aku? Jika kata "aku" dan "kamu" sudah dipakai maka pupus sudah harapanku tentang Kak Vino. Sudah pasti Kak Vino punya hubungan khusus dengan cewek yang wajahnya masih tidak terlihat olehku.

Ah.... ternyata aku telah salah target. Jadi selama ini ternyata Kak Vino sudah punya seseorang di sisinya... Bagaikan pungguk merindukan rembulan. Aku, bahkan seantero sekolah, tidak ada yang menyangka bahwa sang rembulan sudah menemukan pemiliknya.

Aku kembali ke pelataran sekolah dan kerumunan yang menyambutku masih sama ramainya. Rasa sedih yang semula melanda tergantikan dengan rasa penasaran yang membuat aku segera bergerak cepat mulai mencari celah agar bisa masuk ke dalam kumpulan orang-orang.

Ternyata tidak semudah yang kuduga. Semua orang berhimpit-himpitan tanpa celah. Beberapa juga berusaha melakukan aksi mendorong dan berusaha memecahkan kesatuan.

Aku berhasil sampai di depan kelas dengan kursi panjang yang sudah dipanjati belasan siswa. Gugun, siswa dari kelasku, turun dari kursi panjang sambil menghapus butiran keringat di dahinya. Kesempatan itu segera kumanfaatkan untuk naik ke atas kursi panjang. Berebut pijakan dengan siswa lainnya.

Aku berhasil! Tubuhku terangkat dan aku bisa melihat ke dalam kelas sekarang. Suasana di dalam kelas tidak kalah mencengangkan. Di antara puluhan siswa berseragam putih abu-abu, ada sejumlah orang berpakaian hitam dengan peralatan seperti kamera, lampu sorot, dan microphone yang digerakan menggunakan tongkat panjang di tengah ruangan.

Lampu sorot itu mengarah pada seseorang yang keberadaannya masih tertutup dengan puluhan kepala siswa-siswa di sekitarannya.

Aku hanya perlu bergeser sedikit saja sampai bisa melihat wajah di balik rambut hitam salah satu siswi yang dikuncir kuda.

Sedikit lagi dan sedikit lagi. Aku sepertinya mengenal sosok itu dan saat wajah yang menjadi sorotan utama berbalik dan menatap ke jendela tempat aku berada, aku tidak mempercayai penglihatanku sendiri.

KENT????!!!! Kent Adrian?

Sosok itu yang terlihat menjadi sorotan utama sejumlah alat syuting dan puluhan siswa di kelas. Saat kukira aku sedang bermimpi buruk, jatuh karena kehilangan pijakan menyadarkanku kalau kenyataan itu jauh lebih menyakitkan dari mimpi di siang bolong.

Sial. Sial. Sial.

Tidak heran seantero sekolah ini heboh setengah mati siang ini. Ternyata si artis kacangan itu yang menjadi alasan utamanya! Seharusnya aku tidak usah merepotkan diriku untuk hal bodoh semacam ini. Bahkan saat aku terjatuh seperti ini, mereka masih saja berebut tempat berpijak untuk memandangi si artis kacangan satu itu? Ini benar-benar mimpi buruk.

Bagian lututku memerah dan mulai mengeluarkan darah karena kulit yang tersayat dan robek. Sial. Mengapa semua hal buruk ini harus terjadi kepadaku! Buru-buru aku segera menuju ruang UKS yang terletak bersebelahan dengan ruangan guru.

Malang rasanya tidak akan segera berujung. Seharusnya aku tahu saat kantin saja sekosong itu tadi apalagi ruangan UKS seperti ini. Tidak ada seorang pun di sini. Bisa dipastikan siswa yang piket tidak akan repot-repot mengingat jadwal praktek mereka saat kedatangan artis papan atas macam Kent. Sebenarnya apa sih yang dilakukan artis kacangan itu di sekolahku? Ia hanya membuat seisi sekolah ini menjadi kacau.

Aku kembali ke kelas setelah berhasil menemukan obat merah dan mengoleskan seadanya di lututku. Setidaknya 10 menit setelah bel masuk berbunyi, ruangan kelas tempat aku berada mulai kembali terisi. Lika dan Juli buru-buru duduk di samping dan belakangku sambil sibuk dengan ponsel di tangan mereka.

"Dapet gue fotonya! Gue dapet yang bagusan, Jul!" ujar Lika sambil histeris memandangi ponselnya.

"Ah! Serius lu! Mau dong. Kirimin ke gue!"

"Ih serius... serius... ini keliatan matanya, Jul!"

"OMG!!!! Kent!!!! Kita bener-bener kejatuhan duren runtuh, Lik!"

"Ana! Liat nih! Usaha setengah mati gue bisa dapet foto Kent dari sisi ini,"

Lika sudah menyodorkan ponselnya ke arahku dan yang kulihat hanya foto Kent setengah wajah karena sisanya dipenuhi oleh kepala hitam siswa di depan Lika.

"Ganteng, kan? Lu harusnya ikut kita tadi! Tinggal 3 meter lagi lagi kita bisa nyentuh lengan baju Kent, Na!" ujar Juli sambil melompat-lompat kegirangan layaknya seorang anak yang baru saja diberi balon.

"Amit-amit! Gara-gara tuh artis kacangan, liat nih lutut gue jadi korban!" seruku kesal.

Juli dan Lika langsung saja memandangi luka yang sudah diolesi obat merah pada lututku. Mereka tampak khawatir sejenak sebelum akhirnya saling memandangi satu sama lain.

"Yaampun. Ternyata lu ikutan manjat kursi di depan kelas tadi sampai jauh? Jangan kesel gitu, Na gara- gara nggak dapet foto Kent. Nanti kita kirim ke group. Ya kan, Jul?" tanya Lika sambil menyikut Juli.

Juli ikut mangut-mangut berusaha tampak prihatin. Aku sudah tahu akan begini akhirnya. Apapun yang kukatakan mereka tidak akan pernah mengerti betapa kesalnya aku dengan kenyataan bahwa Kent berada di sini dan membuat semuanya kacau. Lika dan Juli pasti akan terus histeris sampai setidaknya seminggu ke depan. 

Ini akan menjadi mimpi terburukku sepanjang minggu ini.

-bersambung-

typo?

Cinder-Ana On Duty! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang