10 - Sumpit & Pendidikan Kewarganegaraan

6.8K 871 9
                                    

Kent yang sudah bekacak pinggang dengan menatap ponselnya dengan tidak sabaran adalah hal pertama yang menyambutku saat sampai di butik "K". Setelah menarik napas dalam-dalam, aku buru-buru berlari kecil ke arahnya.

"Sorry... sorry... tadi..."

Ucapanku terhenti saat Kent menatapku sejenak. Ia tampak sudah kelewat kesal karena yang ia lakukan hanya menatapku geram. Mendapati ia mendiamkanku lebih menyeramkan dari ocehannya. Kalau saja Kent ini adalah kucing, aku yakin ia tidak akan segan-segan mulai mencakar-cakar wajahku. Aku sepertinya sedang beruntung karena Kent tiba-tiba saja sudah kembali berjalan tanpa mengatakan apapun atau mungkin ia menyimpannya untuk nanti. 

Langkah kakinya yang panjang membuat aku tertinggal cukup jauh. Mungkin baginya yang sedang dilakukan adalah jalan cepat, namun untukku menyamakan langkahnya sama dengan lari maraton.

"Tungguin kenapa. Ini makan siang lu," seruku saat berhasil menyejajarkan langkah di samping Kent.

"Kita sudah terlambat."

"Kita? Kemana lagi?" tanyaku tanpa sadar menghentikan langkah.

Kita katanya. Ini sudah hampir pukul tiga sore dan penderitaanku masih belum berakhir? Kent sudah jauh meninggalkanku di depan. Mengesampingkan kekhawatiranku, aku segera berlari untuk menyusulnya. Aku membuat keputusan yang tepat dengan mengenakan sepatu olah ragaku hari ini.

Saat sampai di lobby, petugas valley sudah menyerahkan kunci mobil kepada Kent. Kent segera naik ke kursi pengemudi sementara aku mati-matian mempercepat langkah dan ikut mengambil tempat di sampingnya.

Aksi mengejar Kent berhasil membuat napasku kini tersenggal-senggal meski aku sudah berhasil duduk di kursi penumpang. Ini jauh lebih berat dari kegiatan lari di lapangan pada saat mata pelajaran olahraga. Mobil sudah kembali melaju. Saat melirik ke samping, Kent terlihat tenang meski kerutan di keningnya masih tampak jelas. Di tengah kesunyian yang menyelimuti kami, suara ponselku kembali terdengar.

Nama "Elsa" muncul di layar.

Asep lagi. Entah hal aneh apa yang akan dia minta kali ini. 

"Emang kebiasaan lu ya kalau ada panggilan masuk itu bukannya diangkat malah dipandangin?"

Pertanyaan Kent membuatku sadar kalau aku memang sudah terlalu lama memandangi layar ponsel. Jika boleh jujur, aku memang tidak punya niat untuk mengangkat telepon dari apapun yang berhubungan dengan dirinya. 

Aku melirik Kent kesal sambil mengeser tembol hijau ponsel dalam genggaman.

"Hallo."

"Kalian lagi dimana?"

"Hm....di jalan," jawabku singkat.

"Yaelah. Ia tahu. Lagi di jalan mana?" tanya Asep lagi terdengar kesal di ujung sana.

Aku melirik jalanan sejenak. Ini bukan daerah yang sering kukunjungi dan aku belum menemukan palang penunjuk arah.

"Kita lagi dimana?" tanyaku ke arah Kent.

"Siapa?"

"Bang Asep," jawabku.

Dengan cekatan Kent meraih ponsel dari genggamanku. Ia mengatakan kepada Asep untuk tenang karena ia akan sampai dalam waktu lima belas menit. Kemudian ponsel itu dikembalikan ke dalam genggamanku.

"Halo," sapaku untuk memeriksa sambung telepon.

"Kalian gimana sih. Lima belas menit lagi? Acara Kent akan live 12 menit lagi. Haduuuuuhhh... pusing pala Barbie."

Klik. Sambungan telepon itu terputus.

Dua belas menit lagi? Ini kacau. Tidak heran Kent mengemudikan mobilnya seperti orang kesetanan. Ada rasa bersalah yang menyelimutiku dalam sekejap. Jika saja aku tidak membuang-buang terlalu banyak waktu untuk mencari makanan dalam bungkusan di pangkuanku ini, mungkin Kent tidak perlu berkejaran dengan waktu seperti sekarang.

Cinder-Ana On Duty! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang