Chapter 14

938 96 9
                                    

Malam itu Nara berjalan lesu memasuki rumahnya. Saat melewat ruang keluarga, langkah Nara terhenti. Nampak Papa dan Mamanya telah menanti kedatangannya.

"Ainara, Papa sama Mama mau ngomong." Suara Papanya terdengar serak.

Nara menatap wajah Papa dan Mamanya bergantian. Mata Mamanya terlihat sembab, nampak sesekali Mama menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Sementara wajah papanya terlihat sedih dan menahan tangis.

Nara diam mematung di tempatnya berdiri. Tatapannya Nanar. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, membuat pandangannya mengabur.

Mama langsung menghampiri dan memeluknya dengan erat. Kemudian tangis Mama pun pecah.

"Maafin Mama sama Papa." Ucap Mama pilu.

Nara menggit bibirnya yang bergetar, menahan air matanya untuk tidak tumpah. Mati-matian ia berusaha menahan tangisnya. Ingin rasanya ia menutup kedua telinganya agar tak mendengar perkataan kedua orang tuanya selanjutnya.

Hal yang selama ini Nara takutkan, akhirnya terjadi juga. Kedua orang tuanya akhirnya sepakat untuk bercerai, ya bercerai. Momok yang begitu menakutkan bagi Nara. Nara seakan kehilangan pijakan. Tak ada lagi tempat baginya untuk berpegangan. Semuanya begitu menyakitkan. Kenapa ia harus mengalami ini? Kenapa? Tak adakah jalan lain bagi kedua orang tuanya selain bercerai? Tak bisakah mereka untuk tak egois dan lebih mengutamakan dirinya, anak semata wayang mereka?

"Ini demi kebaikan kita semua." Putus Papanya sambil menghapus air mata yang akhirnya tumpah juga.

Kebaikan yang seperti apa? Apa papa pikir Nara akan baik-baik saja dengan semua ini? Nara menginginkan keluarga yang utuh. Tak bisakah kalian untuk lebih berusaha saling memahami? Please tolong pertimbangkan lagi keputusan ini. Kumohon lakukan ini demi Nara. Jerit Hati Nara.

Nara tak kuasa mengucapkan semua kata-katanya itu. Bagaimana mungkin Nara bisa mengucapkannya bila untuk bernafas saja ia merasa sesak dan begitu sakit.

Seperti ada ribuan beban yang menghimpitnya. Ingin rasanya Nara kembali menjadi anak kecil, yang tak mengerti apa-apa, yang tak peduli dengan masalah orang tuanya hingga ia tak harus merasakan rasa sakit ini.

Hati ini begitu sakit, Ma.. Pa... Nara benci bila harus merasakan ini. Nara tak kuat menghadapinya. Tak tahukah kalian kalau yang paling merasakan sakit dan pedihnya itu adalah Nara. Iya Nara, putri kalian. Yang seharusnya bersama-sama kalian lindungi, bukannya untuk kalian sakiti dengan cara seperti ini. Batin Nara pilu.

Lagi-lagi Nara tak mampu untuk mengungkapkan segala kekecewaannya. Nara hanya bisa berusaha berdiri tegar, menahan air matanya untuk tidak tumpah dan memperlihatkan kepada kedua orang tuanya bahwa ia baik-baik saja. Ironis memang.

Nara memang masih terlalu kecil untuk bisa memahami masalah kedua orang tuanya. Nara memang tak bisa ikut membantu kedua orang tuanya untuk sama-sama mencari jalan keluar lain untuk masalah ini. Tapi apakah harus jalan ini satu-satunya yang bisa mereka ambil? Nara merasa menjadi pihak yang dikorbankan.

Sebelumnya memang sempat terlintas di benaknya bahwa pada akhirnya Nara akan mengalami ini, perceraian kedua orang tuanya. Membayangkannya pun, begitu sakit terasa. Apalagi sekarang saat Nara harus benar-benar menghadapinya. Sakit.

"Mama sama Papa udah nggak punya jalan lain, Mama harap Nara mau mengerti." Ucap Mama disela-sela tangisnya.

Nara hanya diam membisu. Tak satu katapun yang terlontar dari bibirnya yang mungil.

"Maafkan keegoisan Papa sama Mama ya sayang." Ungkap Papa sedih.

"Suatu saat nanti, Nara pasti bisa ngerti, kenapa Papa sama Mama bisa memilih jalan ini." Kata Papanya kemudian.

Kapan Pa? Harus berapa lama Nara menanti saat itu datang? Saat dimana Nara benar-benar bisa memahami dan menerima semua ini. Nara menahan dirinya untuk tidak melontarkan kalimat itu.

"Semua terserah Mama sama Papa." Suara Nara tercekat saat mengatakannya.

Mama lebih mengeratkan pelukannya dan menangis tersedu-sedu dipelukan Nara. Nafas Nara semakin terasa sesak. Pelan Nara mengusap-usap rambut Mamanya mencoba menenangkan Mamanya. Tak tega ia melihat keadaan Mamanya yang tampak begitu rapuh dan menderita.

"Papa sama Mama ngasih kebebasan ke Nara nantinya mau ikut siapa."

"Lusa Mama balik ke Jepang, Mama nggak maksain Nara untuk mutusinnya sekarang. Nara bisa nyusul Mama, kalau seandainya Nara lebih milih tinggal bersama Mama." Kata Mamanya seraya perlahan melepas pelukannya.

Nara menarik nafas berat begitu mendengarnya. Akhirnya akan seperti ini jadinya. Orang tuanya kali ini akan benar-benar tinggal terpisah untuk selamanya. Selama ini Nara memang terbiasa dengan keadaan dimana Papa dan Mamanya tinggal terpisah. Tapi Nara masih bisa melalui semua itu karena Nara masih memiliki sebuah harapan. Harapan dimana Mamanya balik lagi dan tinggal bersama-sama kembali. Tapi kali ini? Harapan itu tak ada lagi.

Akhirnya benteng pertahanan Nara pun hancur. Seketika air matanya mengucur deras di wajahnya. Perlahan di tatapnya bergantian wajah kedua orang yang ia cintai itu.

"Ma.. Pa.. ini semua hanya mimpi kan? Ini nggak nyata kan? Nara lagi bermimpi kan?" Nara menangis sesegukan.

Sontak Papa dan Mamanya berhamburan memeluknya, dan ketiganya larut dalam kesedihan yang dalam.

***

===============================
Tinggal beberapa chapter lagi cerita ini bakalan tamat. Gimana tanggapan kalian sejauh ini guys?

Makasih buat kalian yang tetap setia menanti kelanjutan kisah ini.

Sankyuuu^^

When It RainsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang