Jadden menghentikan mobilnya begitu mereka tiba di depan apartemen Nara. Lima menit berlalu, namun Nara tak kunjung beranjak dari tempat duduknya dan turun dari mobil. Nampaknya Nara seperti tengah melamun hingga tak menyadari kalau mobilnya sudah berhenti dari tadi.
"Udah nyampe nih Ra."
Nara tersentak begitu mendengar suara Jadden. Sepanjang perjalanan tadi, memang mereka habiskan dalam diam. Tak ada satupun dari mereka yang berniat memulai percakapan.
"Oh i.. iyaa." Jawab Nara terbata.
Dengan gerakan cepat, Jadden beranjak dari tempat duduknya dan turun dari mobil. Kemudian ia mengitari depan mobilnya dan berhenti tepat disamping Nara, serta membukakan pintu.
"Thanks Jadd." Ucap Nara sambil mencoba tersenyum manis.
Seketika Jadden merasa seperti terhipnotis saat melihat senyuman Nara. Senyum itu, senyum yang sangat dia rindukan, dan mungkin senyumnya itulah yang membuatnya jatuh cinta kepada Nara.
"Gue masuk dulu ya Jadd."
Perkataan Nara membuyarkan lamunannya. Dengan gerak refleks Jadden segera meraih tangan Nara dan membawa Nara kepelukannya.
"Jangan hanya karena gue udah ngungkapin perasaan gue, trus lo bakalan berubah dan ngejauhin gue. Gue nggak mau itu terjadi Ra. Tetap jadi sahabat gue ya!" Bisik Jadden lembut pada Nara.
Nara segera membalas pelukan Jadden dengan hangat, pelukan seorang sahabat.
"Gue nggak bakalan ngelakuin itu Jadd. Lo dan yang lainnya berarti banget buat gue, dan gue nggak mau kehilangan kalian. Bisa ketemu lagi seperti ini, gue ngerasa bahagia banget." Ucap Nara dengan tulus.
"Gue hanya takut aja lo jadi ngejauhin gue, Ra. Nggak tau kenapa semenjak gue ngungkapin semuanya, gue jadi berpikir yang nggak-nggak." Kata Jadden semakin mengeratkan pelukannya.
"Gue nggak mungkin kayak gitu Jadd. Gue sayang ma lo, sebagai sahabat, nggak mungkin gue ngejauhin lo hanya gara-gara masalah kayak gini." Tegas Nara.
"Gue lega ngedengernya Ra. Jujur aja selama pertemuan tadi perasaan gue nggak tenang banget, cuma gue berusaha menutupinya. Gue nggak mau karena mood gue yang lagi jelek, trus acaranya jadi rusak." Kata Jadden seraya melepaskan pelukannya.
"Janji ya Ra, lo nggak bakalan berubah!" Jadden mengajukan jari kelingkingnya kearah Nara. Sambil tersenyum Nara segera mengaitkan jari kelingkingnya dan jari kelingkingnya Jadden sebagai tanda janji mereka.
"Lo udah mau langsung pulang atau kita ngobrol-ngobrol bentar dulu di taman?" Tawar Nara.
"Boleh, kayaknya gue masih pengen ngobrol banyak nih."
Kemudian keduanya segera berjalan beriringan ke taman dekat gedung Apartemen Nara.
"Kenapa lo akhirnya memilih jadi photographer, Jadd?" Tanya Nara penasaran, saat mereka duduk disalah satu bangku taman.
"Itu semua gara-gara lo, Ra." Ujar Jadden seraya tersenyum.
"Kok gue?" Nara melongo tak percaya.
"Iya saat gue liat lo mandi hujan, saat itu gue pengen banget bisa ngabadiin momen itu, setiap kali hujan turun nggak tau kenapa hati gue selalu tergerak buat mengabadikannya. Akhirnya gue minta nyokap gue buat beliin gue kamera. Awalnya sih gue cuma mengabadikan momen-momen pas saat hujan turun aja. Tapi lama kelamaan, objek gue menjadi lebih luas lagi. Akhirnya jadi hobi gue gitu deh." Sesekali terlihat senyum terukir di wajah Jadden saat ia menjelaskannya.
Nara ikut tersenyum mendengarnya. Sebelumnya Nara memang mendengar dari Dita bahwa Jadden melanjutkan studinya di Paris di bidang photography. Ternyata Jadden memang benar-benar menekuni hobinya itu.
Jadden beberapa kali menggelar pameran untuk hasil karyanya. Sayangnya itu ia lakukan di Paris. Nama Jadden ternyata cukup diperhitungkan di bidang photography. Konon menurut pandangan orang-orang yang mengerti dalam bidang ini, hasil-hasil karya Jadden seperti bercerita dan tampak begitu tajam dan hidup.
Jadden sering berpetualang demi mendapatkan objek terbaik untuk setiap karya-karyanya. Lihat saja kulitnya yang sekarang tampak kecokelatan. Jadden rela berpanas-panasan, kehujanan dan basah. Entah sudah berapa Negara yang ia jelajahi untuk bisa mendapatkan objek foto yang sesuai dengan keinginannya.
Jadden selalu merasa seperti berada di dimensi lain setiap kali ia tengah berkonsentrasi dalam mengabadikan setiap momen dalam sebuah foto. Jadden bisa melupakan segalanya dan hanya terfokus pada objek gambarnya. Betapa ia begitu mencintai dunia photography.
Nara begitu terkagum-kagum mendengar semua cerita Jadden tentang photography. Nara begitu terhanyut mendengarnya. Jadden terlihat begitu semangat menceritakan setiap kisah dan pengalamannya.
Setelah mendengar kisah Jadden, Nara baru menyadari satu hal, bahwa ternyata semua sahabat-sahabatnya telah menjadi orang-orang yang sukses dan berhasil.
"Udah malem nih Ra. Tenyata gue crewet banget ya, ngobrol sampe lupa waktu." Ucap Jadden yang seakan baru tersadar saat melirik jam tangannya.
"Hahaa.. gue juga keasikan ngedengernya. Abis seru banget sih Jadd." Kata Nara.
"Seneng bisa ngobrol lepas kayak gini lagi." Kata Jadden kemudian.
Nara mengangguk senang dan menyetujuinya.
"Yaudah deh, Ra. Gue balik ya. Lo masuk gih. Gue bakalan pergi kalo lo dah masuk." Pinta Jadden.
Setelah memeluk Jadden sebentar dan mengucapkan kata-kata perpisahan, Nara segera melangkah masuk ke gedung apartemennya.
Jadden memperhatikan punggung Nara yang berjalan menjauhinya. Jadden tau dengan pasti, bagaimana perasaan Nara terhadapnya sekarang ini. Nara hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat. Namun hal itu tak lantas membuat Jadden sakit hati. Jadden mencoba berbesar hati untuk menerimanya. Baginya dengan tetap bersahabat seperti ini saja, ia sudah sangat-sangat bersyukur. Bukankah cinta tak bisa di paksakan?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
When It Rains
Fiction générale[COMPLETED] Karena aroma hujan, nuansa langit gelap dan dinginnya udara yang lembab mampu membuat Nara betah berlama-lama memandangi hujan. Hujan.... Selalu ada kenangan yang tercipta di antara riuhnya suara hujan. Ketika hujan, Nara tertawa dan ba...