Dia benar-benar gadis idaman semua lelaki, aku sering merasa bahwa ini hanyalah sebuah mimpi indah yang tak pernah terwujud. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Itu yang aku rasakan, setidaknya dia bisa membaca gerak-gerikku, kuharap dia tahu maksudku yang sebenarnya. Dia, Resty, menatapku dari samping, kami duduk di hamparan rumput hijau yang sedikit basah karena embun, dibawah pohon rindang teduh dan di tepi sungai yang damai. Aku hanya bisa memandang matanya, senyumnya yang manis. Disaat damai seperti ini, kuharap dia mengatakan sesuatu padaku, tapi kami hanya saling memandang. Ketika aku mendekati wajahnya dan berharap dia tidak menolak ciumanku, terdengar suara gaduh, teriakan seseorang yang sangat familiar di telingaku. Gelap. Aku membuka mataku, rupanya aku bermimpi lagi.
Suara ketukan pintu brutal, “BANGUUUN, WOI ! Dasar pemalas, sampai kapan kalian terus seperti ini?” suara ketukan pintu kembali terdengar brutal, “Ayo, bangun! Kalian sudah janji padaku untuk mengantar sampai bandara, ayolah, ini sudah hampir siang, nanti aku ketinggalan pesawat!” suara brutal kembali menggema
Aku mengerjap, menyadarkan diri mengumpulkan tenagaku. Aku melihat sekelilingku, lantai berserakan kulit kacang dan beberapa bungkusanya, baju dan celana jeans tergantung asal di kursi meja belajar yang bukunya berhamburan kemana-mana. Dimana ini? Ini bukan seperti habitatku. Aku mengerjap lagi untuk meyakinkan bahwa aku tidak sedang mimpi, benar, ini nyata, aku berada di hutan rimba milik Coffee. Aaaarrggghh! Aku bahkan baru ingat, kejadian kemarin malam membuatku semakin merasa sial. Ini ketiga kalinya aku tidur di hutan rimba.
“Mas, vespa-nya udah selesai” tukang tambal ban itu tersenyum ramah padaku
Tanpa basa-basi lagi aku langsung membayarnya, “Ini mas, ambil aja kembaliannya, Thanks ya” lalu aku segera menaiki kun-kun
“Tapi, Brown, kembaliannya lumayan buat beli soda kaleng satu?” protes Coffee, aku tidak peduli, malam ini sudah membuatku merasa gagal, “Bang, Pepsi satu yang dingin ya.”
“Ok, mas.” tukang tambal ban itu mengambilnya lalu kembali lagi, “Ini mas, ini buat mas Bule, tapi kembaliannya masih lebih.”
Aku mengambil Pepsi yang diberikan tukang tambal itu, “gak apa-apa, anggap aja itu rejeki lebih buat abang.” aku tersenyum untuk meyakinkannya lalu tukang itu pergi, tiba-tiba ponselku berdering, Mba Wia, “Apa lagi, Mba?”
“Noooolldddiiii !” teriak dari seberang, aku menjauhkan ponselku lalu mendengarkannya lagi, “kartu kredit kakak gak bisa di pakai, masa? Terus, kakak mesti gimana ini? Kopernya berat, kakak gak punya rupiah buat naik taksi, terus kakak mau tinggal dimana? nanti kalau kakak kenapa---”
Aku buru-buru memotong perkataannya sebelum dia semakin melantur kemana-mana, “STOP! Okay, sekarang maunya mba Wia gimana? Noldi harus ngapain?” aku heran dengan kelakuan kakakku yang masih saja kekanakan, bahkan pacarnya saja mungkin sudah bosan dengan sikapnya, manja. Tak heran kedua orangtuaku selalu menuruti keinginannya.
“Jempuuuttt...” terdengar nada manja dari seberang, aku membayangkan bibirnya manyun sembari duduk diatas kopernya menungguku, menjemputnya didepan hotel itu.
Aku mendesah, Ya Tuhan, kenapa kau berikan aku kakak perempuan yang manja bukan adik, penyesalan yang sia-sia pikirku. “Kalau Noldi jemput mba, trus Reza mau di kemanain?”
Tiba-tiba Coffee memegang pundakku dan itu membuatku terlonjak kaget menolehnya, “Udah, jemput aja dulu kakak loe, gue naik kereta aja. Ntar kalo udah kelar, jemput gue di stasiun kota, Ok?” aku mengangguk, masalah selesai. “Yaudah, gue cabut Bro, inget, jemput gue di stasiun kota, STASIUN, awas kalo nunggu gue di Kota Tua, gue gak ada ponsel!”
“I knooowww, Hush hush hush!” aku mengibaskan tanganku untuk mengusirnya, lalu kembali pada mba Wia sebelum orang ini mengamuk didepan hotel karena ketidakpastian dariku, “Ok, Reza naik kereta, Noldi jemput mba Wia, tolong diam disana dan jangan turuti hasrat keluyuran hanya karena ingin mengikuti pria tampan atau apapun itu, kalau sampai tersesat Noldi--”
KAMU SEDANG MEMBACA
== BROWN ! ==
General FictionCopyright to FriestSatria, 2013 Dilarang mengopy, menjual, atau mengubah, sebagian atau seluruh isi dari cerita ini tanpa seizin Penulis. Jika para Pembaca menemukan hal yang sama, maka telah terjadi campur tangan pihak ketiga tanpa sepengetahuan Pe...