Rasa 1

141 5 3
                                    


BUNTUNG

Ketika akhirnya Kaji hamil, Pono senang alang kepalang. Sepuluh tahun ia menekuk wajah karena malu di hadapan kawan-kawannya. Kejantanannya dipertanyakan. Lantaran belum punya keturunan. Akhirnya bulan ini, ya, semoga bulan ini. Oleh bidan kampung, jabang bayi di dalam perut Kaji diperkirakan akan keluar bulan ini.

Saban hari Pono menilik kalender yang sudah berada pada akhir bulan. Kata bidan bisa di awal bulan, tengah bulan, atau akhir bulan. Pono gelisah. Masalahnya satu bulan itu jumlahnya tiga puluh satu hari.

"Sabar, Mas. Kalau sudah waktunya, pasti lahir. Sudah ada suratannya," Kaji menepuk bahu Pono yang tersenyum kecil. Ia merasa bahagia bisa membahagiakan suaminya.

Delapan bulan ini adalah masa yang sangat indah bagi Kaji. Tak ada lagi celetukan perempuan gabuk. Karena sekarang ia berbadan dua.

Mulai dari hamil muda, semua pantangan dikerjakan. Semua upacara selamatan digelar. Demi memohon keselamatan jabang bayi dan ibunya.

Semenjak dinyatakan positif hamil oleh bidan, Pono langsung menghentikan hobi mancingnya. Takut anaknya sumbing. Kaji selalu menertawakan tingkah aneh Pono.

"Ah, tahayul itu, Mas."

Namun Pono tetap menjaga semua pantangan. Kaji hanya bisa geleng-geleng kepala saja.

*

Rumah dua sejoli itu berformat kotak. Layaknya rumah-rumah jaman dulu di kampung-kampung. Halaman yang di tengah rumah sangat serba guna karena lumayan lebar. Tempat jemuran, kandang ayam, kandang bebek, tempat menumbuk padi, tanaman-tanaman obat, kumpul semua di situ.

"Mas, anak ayam kita banyak yang netas, sepertinya kandangnya perlu diluaskan lagi," Kaji menyebar dedak. Ayam dan bebek saling berebut.

"Rejekinya jabang bayi itu, Dek," Pono memaku triplek pada landasan kayu. Ia tengah membuat sebuah lemari, untuk si jabang bayi, "sudah selesai, Dek, tinggal pasang cermin," Pono yang memang tukang kayu tersenyum puas melihat hasil karyanya. Rasa-rasanya inilah dia karyanya yang paling bagus.

"Apa tidak terlalu besar, Mas?" Kaji berdiri di depan lemari kayu berukir Jepara itu. Ia perhatikan lemari itu lebih tinggi dua jengkal daripada badannya sendiri. Pono merangkul bahu Kaji. Lihatlah, bahkan lebar mereka berdua masih bisa dikalahkan oleh lebar lemari itu.

"Tidaklah, kalau bagus 'kan bisa awet, sampai anak kita dewasa," Kaji mengangguk walaupun dalam hatinya tidak setuju, "nanti kalau cerminnya sudah dipasang, kamu bisa ngaca dari kaki sampai kepala," Pono mencubit hidung Kaji. Dielusnya perut istrinya yang membuncit. Merasakan gerakan-gerakan kecil membuatnya girang.

"Aku sudah tak sabar, Mas."

"Harusnya aku yang tak sabar," Pono membereskan peralatan tukangnya. "Dek, bengle-nya jangan lupa dipasang, guntingnya juga."

"Emoh ah, tahayul."

"Jangan begitu, Dek, ini anak pertama kita, mesti kita jaga," Tangan Kaji digenggam suaminya, "jangan bandel," Pono menggandeng Kaji masuk ke dalam rumah.

*

Esok siangnya, sebuah pick-up parkir di halaman depan rumah. Beberapa orang laki-laki menurunkan sebuah cermin besar, sangat besar. Betul kata Pono, kalau istrinya bercermin, pasti seluruh tubuhnya terpantul sempurna di situ.

"Di mana, Pak?"

"Di dalam, halaman dalam, sandarkan di pintu dapur."

Pono menyalami sopir dengan selembar uang berwarna biru. Kaji hanya memerhatikan dari balik jendela.

*

Ayam-ayam riang. Tak mendung, tak terang menjerang. Menjelang petang mereka berarak girang. Pulang.

Bebek-bebek laju di depan. Anak-anaknya mengekor di belakang. Juga senang membawa perut yang kenyang. Pulang.

Kaji mengangkat jemuran. Pono sibuk menyiapkan sarangan cermin pada pintu lemari. Cermin gagah itu bersandar di pintu dapur. Membuat Kaji agak senewen, pastinya ia akan terlambat masak.

"Cepat, Mas, sudah sore."

"Sabar, sedikit lagi," Pono mengamplas sedikit kayu lemari agar lebih halus. "Bengle-mu dipasang, ndak? Guntingnya? Ingat, lho, pesan Mbok."

Kaji diam saja. Tak ada gunanya berdebat lagi. Ia memilih melipat kain jemurannya tadi pada bangku panjang. Lalu masuk ke dalam rumah membawa lipatan kain.

Pono tengah di kamar mandi ketika mendengar suara sesuatu yang pecah berhambur. Tergesa ia menuju cermin gagah tadi. Terlambat, yang ada tinggal remah-remah dalam serpihan. Cermin gagah itu pecah beribu.

Sekeping yang masih bersandar di pintu dapur tengah dihadapi oleh seekor ayam jago yang mengembangkan sayapnya. Dikiranya bayangan pada cermin adalah musuhnya. Sekeping cermin itu diseruduknya, dipatuki.

Geram hati Pono. Dikejarnya ayam itu. Pono berhasil menangkap ayam tersangka si pemecah cermin. Sayapnya ditenteng. Kalap. Pono mengambil parang.

"Mas! Mas! Eling, Mas!" Kaji keluar dalam keadaan panik.

Satu tebasan, dua sayap ayam berpisah dari tubuhnya. Menggelepar, darah berhambur pada tanah halaman tengah itu.

"Sial! Sebentar lagi anak kita lahir, dan lemarinya belum selesai! Haduh! Itu cermin mahal!" Pono marah luar biasa. Lupa kalau itu hanya cermin biasa. Lupa kalau itu hanya ayam biasa. Lupa kalau Kaji tengah berbadan dua. Lupa.

Ayam itu berputar-putar dalam keadaan rebah. Andai ia bisa bicara pastilah ia sudah menjerit mengaduh. Kasihan sekali. Kaji yang iba pada ayam langsung menyambar parang dan menyembelih ayam itu tepat di lehernya. Menyudahi derita.

"Dek, kamu lagi hamil, mana boleh nyembelih?" Pono tercenung. Kaji diam memandang suaminya. Masuk ke rumah. Menangis.

*

Kaji berkeringat hebat. Mengerang dan mengaduh. Tiga hari ia tahankan sakit semenjak kejadian cermin pecah itu. Bidan yakin, hari ini bayi yang ditunggu itu akan lahir.

Pono setia menunggu Kaji. Menggenggam tangannya. Mengusap keringatnya. Kembar darah, kata bidan. Sakitnya memang luar biasa.

"Minum tebu, ya?" tanya bidan.

"Ndak, Bu," Kaji mencoba mengingat kapan ia minum tebu. Ia yakin tak pernah.

Darah sudah membasahi tempat tidur. Mau dibawa ke rumah sakit sudah tak sempat. Ini sudah pembukaan sembilan.

"Ayo, yang kuat," bidan mengarahkan Kaji. Sekali mengedan, tampaklah ubun-ubun bayi itu. Kaji mengatur napasnya lagi. Menunggu tanda dari jabang bayi.

"Ayo, Dek, kamu harus kuat. Mas di sini, Dek," Pono mengusap air mata istrinya dengan lembut. Kaji mengerang lagi.

"Ayo, ngedannya jangan bersuara biar kuat," instruksi bidan lagi.

Kaji meredam suaranya. Memusatkan kekuatan pada perutnya. ia mengedan sekuat tenaga. Kepala bayi itu sudah keluar, bidan memutar untuk mengeluarkan bahu. Ia tersentak.

Tanpa diperintah lagi, Kaji menarik napas panjang lalu mengedan, sempurnalah bayi itu berada di dunia. Namun tanpa tangis.

Mata bidan membelalak. Diangkatnya bayi yang membiru itu. Bayi yang diam itu tak punya tangan. Buntung!

"Mas ..."

"Gusti Allah," Pono memucat.

Bayi itu sudah pergi bersama ayam.

***

13 Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang