Rasa 9

20 0 2
                                    

SENANDUNG

Menurut pengakuannya, namanya Senandung. Umurnya kala itu sekitar 22 tahun. Cantik, sangat. Kulitnya bersih. Rambutnya sepinggang berwarna keemasan, ikal di bagian ujungnya. Parfum aroma bunganya membius. Tubuhnya indah. Cukup dahsyat untuk membuat lelaki dewasa yang kurang imannya merogoh kantong dalam-dalam, demi menikmati tubuhnya.

Iya, Senandung seorang pelacur. Aku mengenalnya ketika SMA dulu. Ini bukan seperti yang kalian pikirkan. Tidak! Waktu itu aku penelitian untuk pelajaran Sosiologi. Mungkin sekitar tahun 2008.

Tadi sore ketika menemani pacarku belanja di sebuah pusat perbelanjaan, aku melihatnya lagi. Setelah enam tahun berlalu.

Ia berdiri di sana. Di bagian pakaian dalam. Ia berubah. Tubuhnya lebih sintal. Warna rambutnya coklat coca cola. Dan pakaiannya, menegaskan kalau ia memang seorang pelacur, jauh lebih seronok dari yang kukenal dulu.

Kudekati ia, detak jantungku mulai kencang. Kutepuk pundaknya dari belakang.

"Mbak," ia menoleh, lalu mengembangkan senyumnya yang indah.

"Eeh, Dit, apa kabar?? Sama siapa?" Mbak Senandung terlihat sangat senang. Ia masih ingat padaku. Aku agak kikuk ketika ia hendak memelukku. walaupun tak jadi, tapi parfumnya menerjang syaraf-syaraf di seluruh badanku. Oh, Tuhan. Parfum ini, betul-betul membuatku mabuk.

"Sama pacar," jawabku. Aku celingukan mencari pacarku, ia hilang entah kemana. Mungkin keasyikan belanja.

Kami ngobrol sebentar, lalu bertukar pin Bbm.

Pertemuan kami sore itu berhasil membuatku tak bisa tidur.

*

Senandung bukan wanita biasa. Di usianya yang kala itu 22 tahun, ia sudah menjadi lulusan universitas negeri ternama dengan jurusan yang ia pilih lumayan prestisius. Kuliah yang dibiayainya sendiri. Iya, dengan melacur.

Setelah lulus ia malah menekuni profesi kotornya itu.

"Yang penting ilmunya berguna, kan, Dit?" tutup Mbak Senandung. Iya juga pikirku. Kalau aku nanti fokus mendalami Sosiologi, kira-kira untuk apa ya. Walau pada akhirnya aku kuliah jurusan Ekonomi setelah lulus SMA.

"Kamu harus fokus, Dit. Do the best you can, baru kamu akan merasakan yang namanya kerja dengan hati."

Kata-kata Mbak Senandung dulu itu, masih terngiang di benakku sampai saat ini.

Betapa menjadi pelacur pun, butuh yang namanya profesionalisme.

Entah mengapa kala itu aku banyak mengambil pelajaran dari perkenalanku dengan Mbak Senandung. Walaupun ia hanya seorang ... begitulah.

Justru darinya aku paham tentang konsekuensi, kredibilitas, integritas.

"Mbak, gak mau menikah, Dit," jawabnya ketika kutanya apakah ada kemungkinan baginya untuk menikah. "Orang mengenal Mbak sebagai pelacur, ya sudah, pelacur saja."

*

Aku sudah putus dari pacarku, jadi tak apa kan, kalau aku janjian dengan Mbak Senandung. Aku masih ingat ini hari ulang tahunnya. Rencananya mau kutraktir makan di sini, sebuah restoran steak yang baru buka di ujung jalan.

Lima menit saja aku menunggunya. Ia datang dengan baju agak formal, blazer dan celana panjang. Tak ada kerah terbuka, tak ada rok mini dan baju ketat. Agak aneh bagiku.

"Agak beda keliatannya, Mbak," tanyaku penasaran.

Mbak Senandung mengikat rambutnya yang tergerai.

"Iya, tadi wawancara," aku tak percaya pada apa yang kudengar.

"Wawancara apa, Mbak?"

"Aduh, lucu ceritanya, Dit," kami memesan makanan dan minuman.

13 Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang