Rasa 8

24 0 1
                                    

GAGAL


Sebut saja namanya Iqbal. Satu-satunya lelaki yang memberikanku tiga buah buku sekaligus. 'Kamukan suka baca buku, ya,' buku-buku itu pindah ke tanganku. Gak pake kertas kado, gak pake pita warna warni. Mungkin karena Iqbal belum begitu paham bagaimana membuat pemberiannya itu menarik. Lah, dia masih kelas 6 SD. Yang jelas, dia tahu betul, kalau dia pemenang. Dia memenangkan hatiku gegara buku itu.

Iqbal itu dulu sobat karibku. Ia lelaki pekerja keras. Ke sekolah bawa jualan keripik pedas buatan ibunya. Aku selalu dapat gratis. Heran juga kenapa digratiskan sama dia. Eh, ga taunya, karena dia suka sama aku.

Singkat cerita kamipun jadian. Tapi aku merasa setengah terpaksa. Karena pada waktu itu, aku sudah punya (alah apa sih anak SD punya..) pacar.

Yah, drama dimulai. Iqbal mungkin tau kalau aku menjalani hubungan ini dengan terpaksa. Jadi dia melakukan segala cara untuk memenangkan lagi hatiku. Mulai dari selalu menggratiskan keripik pedas itu, dia kasih aku gambar salah satu karakter di Dragon Ball yang bagus banget, sampai rela nabung hasil jualannya untuk membelikan aku sebuah kalung yang bisa simpan foto di dalamnya. Demi menyenangkan aku. Kalung dari Iqbal kuterima, tapi gak pernah kupakai. Mmm, teknisnya kupakai kalau ke sekolah, supaya Iqbal senang. Kasihan juga, sih.

Tapi aku bukan wanita materialistis yang bisa dirayu dengan benda, materi. Mmm, ya barangkali buku adalah pengecualian. Semakin dia memberiku sesuatu, semakin aku pingin menjauh. Aku lebih memilih lelaki hitam manis tetanggaku yang usianya dua tahun lebih tua dari aku.

Sebut saja namanya Acan. Dia gak pernah kasih aku buku. Tapi selera music kami sama, selera mainan kami juga sama, sampai selera humor juga sama. Aku nyaman sama Acan.

Hal pertama yang kupelajari dari seorang lelaki adalah, lelaki akan punya nilai tambah kalau tulisan tangannya bagus, rapi. Apalagi kalau tulisan itu dipakai untuk nulis surat romantis atau puisi yang mendayu-dayu gitu.

Dan, tulisan Acan itu luar biasa rapi, luar biasa bagus untuk seorang lelaki. Iqbal? Ya ampun, acakadul. Inget kan, masa SD, kalau PR kita akan diperiksa sama teman kita? Nah, Iqbal akan meminta bukuku dan 'memaksaku' untuk periksa buku dia.

'Kamu periksa buku aku, ya. Sini, buku kamu aku yang periksa,' Jujur, tulisannya lebih mirip susunan donat daripada huruf-huruf, dan bikin aku mesti berkonsentrasi keras untuk baca tulisannya.

Sampai akhirnya, akhirnya. Aku merasa jahat sama Iqbal dan aku gak bisa memaksakan perasaan aku. Aku ingin mengakhiri hubungan yang dipaksakan ini.

"A-aku u-udah punya cowok, Bal. Ma-maaf ya," Aku tergagap dan tergugup. Iqbal menatap pohon cabe rawit di taman samping sekolah. Kala itu sudah jam pulang sekolah.

"Kenapa gak bilang?" suaranya pelan. Sekarang ia memandang ikan di kolam kecil yang meliuk-liuk.

"Aku takut kamu marah," dari dalam tas, kukeluarkan tiga buku yang dulu ia berikan. "Bukunya kukembalikan," Buku itu pindah tangan lagi.

"Kita tetap temenan, kan?" kini Iqbal berani menatapku. Aku senyum dan mengangguk. Tanpa pamit aku pulang. Di tengah jalan, kukeluarkan kalung itu (padahal kalungnya lucu lho) lalu kubuang. Kubuang jauh ke arah lapangan yang tak pernah digunakan karena sering tergenang air.

Walaupun statusnya 'kita tetap temenan', realitanya kami tak pernah bertegur sapa lagi sampai detik ini.

Dan yang menyakitkan, aku dan Acan akhirnya mesti pisah juga.

Kadang kita terjebak dalam misi menyamankan orang lain, tanpa peduli kenyamanan kita sendiri. Lucunya hal ini sudah kupelajari bahkan ketika SD! Dan hal ini sering terjadi di kemudian hari. Walau begitu, mungkin bisa lah bertahan sejenak. Menyenangkan orang lain kan perbuatan baik.

13 Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang