Rasa 4

48 4 1
                                    


PUISI BERENERGI

(Salah satu cerpen yang dibukukan pada event lomba #TheScript2 yang diadakan oleh Nulisbuku.com)

*

Kamu benci Senin? Tiga perempat manusia benci Senin. Tapi aku berada di seperempat sisanya. Mungkin terdengar aneh, aku, Raden, justru benci hari Minggu -dan hari libur-. Oh, maafkan aku Tuhan, sesungguhnya semua hari-Mu baik. Satu-satunya alasan adalah karena pasti aku tidak bisa menatap wajah bidadari hatiku, Maya.

Maka ketika Senin tiba, akulah manusia dengan senyum yang tak henti memompa endorphin, hormon kebahagiaan. Seragam putih-abu rapi, topi ada, dasi apik, sepatu bersih, PR Matematika sudah selesai. Menatap gerbang sekolah seperti menatap gerbang surga.

"Raden!" bahuku ditepuk. Cepat rambat udara pagi itu menghantarkan serangkaian getaran nada indah dari pita suara seorang gadis yang paling ingin kujumpai di sekolah ini, Maya. Bahkan sebelum mataku menangkap pantulan cahaya dari wajah Maya, aku tahu itu dia.

"Eh, Maya, pr matematikanya udah selesai?" tanyaku basa basi.

"Belum, mana pernah aku ngerjain pr matematika..haha.." tawa Maya renyah sekali. "kalau pr Bahasa Indonesia, baru deh kukerjain. Kamu kan tahu, aku gak suka Matematika," aku hanya tersenyum pilu.

Bagaimana mungkin aku jatuh cinta pada gadis yang bertolak belakang denganku. Aku gila sains, Maya teradiksi sastra. Aku suka musik klasik –dan keroncong-, Maya suka techno music. Aku tergolong kalem, tidak populer, teman sedikit. Tapi Maya? Dia sangat populer, terutama karena puisinya yang bisa membuat siapa saja bergidik hanya dengan membacanya saja. Sering juara antar sekolah. Temannya banyak sekali. Bahkan sampai sekolah tetangga mengenalnya. Ia gadis yang sangat ramah. Dan ia juga cantik. Oops..apakah tadi aku bilang, aku jatuh cinta padanya? Rahasiakan dulu ini.

"Raden, ajari aku, aku belum paham," ujarnya setengah berbisik. Wajah Maya agak ketat. Guru Fisika menerangkan Hukum Thermodinamika. Aku hanya mengangguk. Kami duduk sebangku. Satu hal yang juga sangat kusyukuri.

"Bagian mana yang belum paham?" tanyaku.

"Semua," jawab Maya putus asa. Aku menahan tawa. Maya mencubit tanganku. Sekarang aku menahan sakit. "nanti aku ke rumahmu, ya," ujarnya. Aku tersentak.

"Ngapain?" tanyaku berbisik.

"Belajar," jawab Maya. Wajahku panas. Bisa kurasakan darahku yang merah berubah jadi biru. Membeku. Aku refleks mengangguk.

***

Kuingat dulu itu, pertama kali masuk SMA. Jarang ada siswa yang sevisi dan semisi denganku dalam hal sains. Mereka menganggap sains itu 'horror'. Itu kata yang paling tepat. Tapi tidak buatku. Sains itu hati, sains itu alam, sains itu sastra, sains itu semesta. Lalu kutambahkan definisi sains ketika aku melihat sesosok gadis dengan senyum berlesung pipi, sains itu cinta. Dan tidak seperti remaja umumnya, aku memilih untuk mencintainya dalam diam. Diam yang sangat sunyi dan rahasia. Bahkan sel darah putihku yang senantiasa patroli dari satu pembuluh ke pembuluh lain tidak bisa mendeteksi cintaku pada Maya. Hingga saat ini. Kelas XI. Kami tetap bertegur sapa, saling bercanda, saling usil, saling bertukar lagu. Sekali dulu kami nonton bioskop, walaupun rombongan. Tapi paling tidak ia duduk di sampingku.

Entah bagaimana harus kunyatakan cinta ini padanya. Apakah harus pakai kaset seperti film 'Suckseed'? atau teka-teki seperti Shinichi, atau main gitar seperti Arai? Atau..

***

Ini mimpi. Kutampar pipiku. Sakit. Oh, ini nyata. Maya, gadis yang biasanya hanya hidup di alam imajinasiku, gadis virtualku, sekarang ia duduk di kursi meja belajarku. Nyata, sambil memandangi buku-buku yang kuyakin ia tak paham.

13 Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang