Rasa 5

38 0 0
                                    


PINLANDIAH

(Termasuk salah satu cerpen yang dibukukan dalam Antologi Cerpen 'Tarian Hujan' pada Lomba Cipta Cerpen Nasional yang diselenggarakan oleh Rumah Kayu Grup)

*

"Pelan-pelan, Mak," desisku. Bantal kucengkram untuk menahan sakit.

"Kaunikmati saja, kaupuasi, delapan belas tahun kau kusisiri," suara Mak Oge memudar. "nanti kalau kau sudah punya anak, banyak, bersisirpun engkau tak akan sempat," Sisir mulai bergerak pelan.

"Padma, rupanya kau mau punya anak berapa?" tanya Mak Oge dengan logat Melayunya yang kental. Aku terdiam sebentar. Dua cukup pikirku.

"Dua, Mak, eh, tapi terserah Bang Juned, lah, Mak," jawabku. Tiba-tiba mulut Mak Oge membulat.

"Ah, itulah kesalahan perempuan kebanyakan!" aku tak menyangka jawabanku tak sekufu dengan Mak Oge. "tau kau ? Makmu inilah contoh nyata, kubiarkan lakiku bercakap, 'Oge, kite buat anak dua belas, biar kau enak hidup, banyak yang bantu pekerjaan rumah tangga' ...." mulut Mak Oge merot menyamping menirukan ucapan suaminya dulu itu.

"Siap tu? Pigi1 dia sama puan2 lain, dia kata karena awak3 tak pernah lagi bersisir. Padahal, aku tak sanggup lagi bersisir karena ngurus anaknya, itulah lelaki!" ditepuk-tepuk bantalku dengan sisir. Mak Oge bernafsu sekali.

"Jadi macam mana, Mak?" tanyaku.

"Kau harus tegas, Padma. Kalau memang mau dua, ya dua. Adapun dikasih lebih sama Allah, Alhamdulillah, pokoknya harus tegas!" tangan Mak Oge terkepal sejajar matanya.

"Pemerintah kita dan lelaki itu sama, Padma. Sama-sama harus ditegasin. Tau kau tak kejadian Mei '98? Ah, tak taunya kau itu, baru umur dua tahun kau itu!" aku terpana, kenapa lari ke pemerintah?

"Saat itu rakyat tegas! Makanya bisa lengser Tuan Presiden kala itu. Kau bayangkan itu, Padma!" aku mengangguk-angguk.

"Ah, Padma, mari Mak ikat rambutmu, dukun inai sudah datang," rambutku disanggul ke atas. Lalu Mak Oge berlalu digantikan Dukun Inai.

"Aih, ini calon pengantinnya? Cantiknya ... masih muda betul, berapa umurmu, Nak?" wanita paruh baya itu tersenyum menatapku. Geliginya merah, kebiasaan menyuntil.

"Delapan belas, Wak," Jawabku malu-malu. Si Uwak yang tak kukenal itu mulai membongkar peralatannya. Inai yang digunakan adalah yang asli dari daun inai yang ditumbuk dan dikeringkan, bukan yang instan. Si Uwak mulai mengukir inai di kakiku. Lincah tangannya, tak pakai pola lagi. Kemudian ke telapak tanganku.

"Bundamu tak ada, siapa yang ngawani4 kau?" timpalnya lagi.

"Mak Oge," jawabku. Si Uwak mengangguk. Di kampungku, ada kepercayaan untuk tidak membiarkan calon pengantin sendirian. Bisa diculik hantu, tapi yang paling mungkin terjadi adalah diculik mantan pacar. Maka Mak Oge yang bertugas menemaniku. Kulihat ia memandang dari pintu prosesi 'berinai' ini.

Setelah selesai, dukun inai langsung pulang. Mak Oge kembali menemaniku.

"Padma, kau betul-betul sudah siap menikah?" suara Mak Oge bergetar. Aku paham kondisinya. Dari bayi merah aku sudah diasuhnya, karena bundaku guru PNS di sebuah SD. Sampai sekarang. Aku sudah dianggapnya anak sendiri. Karena anak Mak Oge yang delapan itu, sudah lupa pulang dari rantau. Tak ada satupun yang menemani hari tuanya.

"Kau masih muda, Padma, tak ingin kah kau kuliah? Macam kawan-kawanmu itu, si Ulan, Dewi ...." aku menggeleng.

"Tentu ingin, Mak. Tapi nantilah, Padma cuma pingin jadi ibu yang baik. Mengasuh anak-anak dengan tangan Padma sendiri," jelasku.

13 Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang