RASA 6

43 1 0
                                    



RANO, BÖ'I ÖRÖIDO**

(Termasuk salah satu cerpen yang dibukukan dalam Antologi Cerpen 'Sampan Tak Bertuan' pada event Lomba Cipta Cerpen bertema 'Laut' yang diadakan oleh Vio Publisher)

*

Waktu itu umurku baru 18 tahun, baru saja kuliah di Medan dan langsung berhenti di semester kedua. Untuk merawat Mama. Sementara abangku, Bang Jek, yang bekerja mencari nafkah untuk kami.

Skizofrenia. Itu kata dokter. Tetap saja orang bilang mamaku gila. Tak rela aku mamaku dibilang gila. Ah, mungkin mereka hanya susah menyebutkan kata itu. Skizofrenia, sulit dilafalkan, sulit kuterima.

Mama harus tetap di rumah. Supaya tidak mengganggu tetangga. Supaya tidak keliling komplek telanjang bulat. Supaya tidak menjambak anak umur lima tahun lagi. Gara-gara kejadian terakhir itu, kami terpaksa pindah ke Nias Selatan, kampung halaman Mama.

Penyakit Mama terdeteksi tiga tahun lalu. Setahun setelah pernikahan Mama yang kedua dengan lelaki yang umurnya terpaut tujuh tahun lebih muda dari mamaku. Lelaki yang tak bisa membuat hati Mama tenang dan senantiasa gelisah dengan kebohongan-kebohongan baru yang diciptakan lelaki jahat itu setiap harinya. Aku dan Bang Jek sangat membencinya.

Mama tahu suami barunya selingkuh, bahkan di tahun pertama pernikahan mereka. Lalu Mama stress. Sampai akhirnya, ya sekarang ini. Mama suka bicara sendiri, dan aku (satu-satunya orang yang ada di sisinya) wajib 'nimbrung'. Kalau tidak Mama bisa mengamuk atau paling tidak, menangis.

Seperti dua hari lalu. Mama seolah-olah berdansa dengan seseorang. Senyum-senyum sambil ber-lalala. Berputar-putar di ruangan. Mama tampak senang.

"Mama dansa sama siapa?" tanyaku sambil menyiapkan sarapan untuk Mama.

"Sama Michael Jackson," jawabnya. Aku tertawa kecil. Entah dari mana Michael Jackson tiba-tiba hadir di pagi kami. Mama juga bukan penggemar penyanyi itu di kala sehat dulu.

"Michael Jackson sudah mati, Ma," timpalku. Mama langsung berhenti dan menghampiriku.

"Benarkah?" aku mengangguk. Mama menangis sejadi-jadinya. Ah, menyesal aku. Segera kuhibur Mama. Kupeluk sambil menghapus air matanya.

"Tapi sudah hidup lagi, kan tadi dansa sama Mama," kataku. "kita sarapan, ya, Ma. Michael Jackson sudah menunggu, Mama," Mama langsung senyum dan mau makan. Walaupun makannya berhamburan, sambil cengengesan, dan sambil bicara sendiri.

Dia selingkuh, dia selingkuh, aku ditinggalnya, sekarang aku gila, dia enak-enak sama gendak*nya di sana, kusumpahin mati, kusumpahin mati. Itu kata-kata yang sering Mama ucapkan. Atau berbicara dalam bahasa Nias. Lalu Mama akan tantrum, melempar semua piring. Hal ini terjadi setiap hari. Setiap makan.

*

Nias Selatan, secara umum, terkenal akan lautnya yang cantik, biru, jernih, belum banyak terjamah manusia. Ombaknya besar. Destinasi para surfer dunia. Sering juga diadakan kompetisi internasional. Gempa besar tahun 2004 membuat salah satu bagian pantai kontur daratan bawah lautnya naik ke permukaan. Sehingga terumbu karang berjejalan indah menjadi semacam pantai yang tergenang.

Di dekat laut inilah aku dan Mama tinggal. Seminggu sekali kubawa ke sini. Menikmati indahnya laut. Pantainya sepi, tak ada yang berjualan di sini. Jarang pula wisatawan lokal, karena Nias Selatan punya laut yang berombak raksasa sepanjang musim.

Seperti kali ini, kubiarkan Mama bermain air, mengganggu ikan-ikan kecil di antara terumbu karang yang sudah berubah warna, karena terkena matahari. Kuperhatikan Mama dari tempatku duduk dekat pohon kelapa. Mama tampak senang. Sesaat aku terkantuk, lalu tiba-tiba ponselku berbunyi. Bang Jek menelepon.

"Apa kabar, Dek?" Bang Jek terdengar bersemangat.

"Sehat, Bang," jawabku.

"Lagi dimana?"

"Main di pantai."

"Mama gimana?" kulepas pandangan sepanjang pantai. Jantungku seolah berhenti. Mama hilang! Ponsel kujatuhkan.

"Mamaa..! Mamaa..! Maaaa...!!" aku panik. Mama tak ada dimanapun. Lalu kulihat satu titik hampir ke tengah laut. Mama! Segera kukejar. Kurenangi laut sekuat tenaga. Air asinnya membuat mataku perih, hidungku sakit. Kupanggil Mama sekuat tenaga. Ia tak mendengar. Kulihat Mama tertawa. Walaupun air masih setinggi bahu, tapi ombak siap menggulung. Ketika kudapati, Mama langsung pingsan. Ah, ya, lebih baik Mama pingsan. Karena lebih mudah kubopong. Ini salahku. Tidak memperhatikan Mama. Aku berjanji itu adalah kali terakhir kubawa Mama melihat laut.

*

Pukul 01.45

Rano, maaf aku harus pulang, ke mana jalan pulang, semua biru, aku tersesat, Rano. Aku ikut kau, tidak bisakah aku ikut saja? Antarkan aku pulang, Rano.

Rano, nama Papa kandungku. Meleleh air mataku ketika Mama meracau dalam tidurnya. Sudah bisa kutebak. Mama berhalusinasi bertemu dengan Papa ketika di laut tadi. Iya, Papa hilang di laut. Beliau adalah seorang kapten kapal tongkang. Orang bilang Papa sudah mati. Aku hanya beranggapan Papa hilang, suatu hari mungkin kembali. Walau suatu hari itu, tak akan pernah terwujud. Mungkin saat ini Mama merasa sangat merindukan Papa.

Kurasa aku harus menebus obat yang terakhir diresepkan oleh dokter. Kondisi Mama akhir-akhir ini sangat merisaukan. Namun Bang Jek belum kirim uang, tapi kurasa kejadian kemarin akan memaksanya untuk mengirim. Kubelai rambut Mama, sedih rasanya melihat Yasmin Bawamenewi, wanita cantik yang dulu sukses, sekarang keriput bahkan sebelum usianya 50. Delusi dan halusinasi kerap mengganggu Mama. Lima hari belakangan malah lebih sering bicara sendiri.

Pukul 04.55

Mama menyeru nama Papa berulang-ulang. Rano, bö'i öröido..bö'i öröido.. **. Aku mulai cemas. Matanya terpejam, tapi mulutnya meracau, suhu badan Mama semakin tinggi. Bagaimana caraku memanggil dokter? Jauh sekali klinik kesehatan di sini. Tidak mungkin kutinggalkan Mama. Hanya kompresan air yang membantuku. Mama berangsur tenang selang satu jam.

Pukul 08.00 aku terbangun. Leherku tegang karena tidur sambil duduk. Pandanganku buram. Semalaman tak tidur membuat mataku marah besar. Ia menuntut haknya. Kulihat sekeliling. Selimut ungu tergeletak di lantai. Kasur Mama kosong. Serasa seluruh aliran darah berkumpul di mataku agar aku bisa melihat lebih jelas. Panik menghantam kepalaku. Jantungku berdebar mencari Mama. Tak ada suara apapun di rumah ini. Mama hilang!

Sesak dadaku melihat pintu tak lagi terkunci. Sebuah suara menyuruhku untuk ke laut. Laut! Laut Nias yang ganas, yang ombaknya setinggi bukit, yang arusnya menerkam buas, yang birunya menghipnotis siapapun untuk masuk ke dalamnya.

Aku berlari seperti orang kesetanan. Air mata menemaniku sepanjang jalan. Dan yang kutakutkan terjadi. Perih hatiku melihat jejak-jejak kaki di pasir pantai. Arahnya menuju laut. Dan tak ada satu titikpun di hamparan laut yang biru itu. Suara ombaknya sangat jelas bicara padaku.

Rosa,..! Mari sini, ikut Mama, ... Di sini ada Papa, mari sayang...

Lalu pasir-pasir mengadu. mamamu tadi ke sana. Sebuah bulu babi hitam menunjuk ke arah laut. Kepiting-kepiting kecil berkata, biarkan mamamu, Ia sudah tenang dengan cintanya.

Kupejamkan mata, berharap ini mimpi. Kututup telinga, ini halusinasi auditori. Lalu langit gelap. Yang kuingat terakhir, amis pasir menyambut badanku yang lunglai.

*

Empat tahun lalu, laut mengambil mamaku. Sampai sekarang aku tak sudi ke laut lagi. Laut telah menggoreskan karangnya di hatiku, goresan yang dalam. Tak kuat aku melihat birunya, tak tahan aku mencium bau khas sisa-sisa alga dan rumput laut.

Kenangan pahit itu menyisakan suara-suara di kepalaku.

***

* selingkuhan

** Rano, jangan tinggalkan aku..! -bhs. Nias

13 Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang