Rasa 13

6 0 1
                                    

My Lady, Mini

Kopiku hambar seketika setelah mendengar pertanyaan dari Mini, istriku. "Bang, kenapa sih, laki-laki itu kok bisa ya, mengkhianati istri yang sudah berbelas tahun mendampingi?" Nasi putih dari rice cooker berpindah ke piring berwarna oranye.

"Pak Radit, maksudmu?" kuterima piring dari Mini. Nasi yang masih berasap mengembalikan selera makanku.

"Hampir semua laki-laki begitu, kan?"

"Termasuk aku?" kulirik Mini sebentar. Tatapannya kuartikan sebagai penafikan, tetapi berpeluang. Mungkin dalam hati ia berkata, 'Tidak, sih. Tapi ada potensi.'

"Kasihan ya, Bu Nur." Aku diam saja.

Istriku, dan sebagian ibu-ibu di komplek ini sepertinya ikut merasakan penderitaan Bu Nur istri Pak Radit. Bagaimana tidak, sosok lelaki bijaksana yang sangat mapan dan dihormati kalangan bapak-bapak di perumahan ini, tertangkap razia Satpol PP di sebuah hotel bersama seorang ..., entahlah itu pelacur atau hanya sekadar teman. Aku juga takut berprasangka.

Yang jelas, semenjak kejadian itu, rasa hormatku agak luntur terhadap Pak Radit. Tapi rasa itu menguap begitu saja. Karena dua minggu semenjak kejadian itu, Pak Radit tak pernah tampak batang hidungnya. Ya sudahlah, toh semua manusia punya dosa masing-masing, 'kan? Begitulah otak lelakiku menilai peristiwa ini.

Namun tidak bagi istriku. Diskusi ini berlanjut sampai aku pulang kerja.

"Kalau aku Bu Nur, pasti sudah minta cerai, Bang," ujarnya tiba-tiba sambil menyerahkan segelas air jahe yang biasa kuminum sambil istirahat menonton televisi.

"Mungkin dia masih cinta," balasku.

"Cinta bagaimana? Sudah dikhianati, kok masih cinta." Mini melanjutkan kegalauannya, seolah memang ia yang mengalami pengkhianatan itu.

Dari ceritanya, Bu Nur tidak mengajukan cerai. Alasannya klise, anak-anak sudah besar. Bahkan anak sulungnya akan menikah di akhir tahun ini. Aku memang lebih banyak bergumam kecil untuk merespon letupan-letupan emosi wanita di depanku ini.

Lalu satu momen ia menarik napas panjang dan terdiam.

"Abang gak akan selingkuh, 'kan?" tatapan matanya seolah bisa menebas batang leherku.

"Ti-tidak lah, mana mungkin aku ...,"

"Walaupun kita belum punya anak?" potongnya cepat.

"I-Iya, Sayang," jawabku tak kalah cepat. Barulah kurasa urat wajah dan lehernya agak mengendur tanda kelegaan.

"Ooiya, tadi aku lihat-lihat toko online langganan, ada barang yang diskonnya besar, Bang. Jadi aku beli." Air jahe yang pedas manis ini berubah rasanya. Aku tak habis pikir, setelah tadi Mini mengintimidasiku secara terang-terangan, kini dengan santainya ia cerita tentang diskon. Iya, diskon!

Perempuan itu memang unik. Menikah lima belas tahun ternyata belum cukup bagiku untuk memahami makhluk Tuhan yang satu ini.

Tontonan kurang mutu di televisi sudah tak bisa kucerna dengan baik. Rasa-rasanya sudah tercampur antara dialog si aktor dengan monolog istriku. Akhirnya, mau tak mau, televisi itu kumatikan lalu aku beranjak ke kamar.

"Abang mau kemana?"

"Tidur, lah. Abang letih."

"Aku baru beli baju tidur baru, lho."

"Terus?"

"Abang ini! Jangan cuma 'terus' begitu!" bibir dan alis Mini mengerut. Aku bingung. Apa yang salah dengan kata 'terus'?

"Lho, jadi harus bilang apa?"

"Apa lah, yang lain!"

"Abang tak tahu harus bilang apa, Sayang," bujukku menghindari bom yang bisa kapan saja meledak.

13 Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang