Rasa 11

5 0 0
                                    


KELINGKING SI BADUT

Saat kubuka mata, aku ada di ruangan yang sangat kukenal. Dingin AC bercampur aroma apel. Cat putih dengan lis keramik bunga mawar. Tetes demi tetes cairan infus mengalir ke dalam pembuluh darahku.

Ini kali kedua aku masuk rumah sakit dalam seminggu. Kepalaku rasanya nyut-nyutan. Haus pula. Tapi tak ada orang.

Kucoba-coba mengingat apa yang terjadi. Nihil. Yang kuingat terakhir adalah aku pingsan di dekat angkutan kota. Ah, kepalaku tambah sakit.

*

Gaun warna merah muda, dipadu sepatu berbulu-bulu dengan warna yang sama. Make-up di wajahku sedikit menor. Mahkota imitasi menghiasi rambutku yang digerai. Heh, lucu, kala itu umurku enam tahun, dan aku sudah tahu rasanya menjadi cantik ketika kupandangi bayangku pada cermin.

Hari itu aku ulang tahun. Di ruang tamu, sudah berjajar rapi berupa-rupa kado. Teman-teman yang tidak sepenuhnya kukenal juga sudah menunggu, mengelilingi meja yang di tengahnya sudah berdiri kue tiga tingkat yang didominasi warna merah muda.

Semua orang memandangiku ketika aku menuruni tangga. Semua. Termasuk badut itu. Yang berdiri paling pojok.

Rambutnya yang hijau, hidung merahnya yang sebesar tomat, baju anehnya yang memadukan garis vertikal dan polkadot. Masih sangat segar di ingatanku.

Sepanjang acara, badut itu memandangiku. Beberapa kali aku berfoto dengannya. Ia menyambutku dengan senang. Dan aku senang memandangi sepatunya yang besar dan berwarna ungu.

Itu ulang tahunku yang terakhir kali dirayakan.

*

Kami duduk di teras rumah ayahnya Mas Reza suatu sore, sebelum ibunya datang membawa nampan dengan dua gelas teh.

"Aku sayang kamu, Put," Mas Reza menggenggam tanganku. Aku hanya mengangguk. Menatap matanya yang besar dan coklat. Ada kesungguhan di situ.

"Aku masih coba bujuk Papa, Mas."

"Aku cuma ingin kamu tahu, aku serius. Kapanpun orang tuamu bilang iya, aku akan langsung datang melamar. Kapan pun, Put. Kapan pun. Walaupun harus menunggu lima kali musim penghujan. Tetap kutunggu," Mas Reza tersenyum.

Dan aku juga tak tahu kapan keluargaku akan berkata iya.

Sulit membujuk Papa yang seorang pemilik perusahaan besar, untuk menerima Mas Reza yang hanya seorang editor di sebuah majalah, sebagai menantunya. Tak level katanya.

Papa pun tidak siap berbesankan seorang seniman, yang kalau sudah kumat rematiknya, maka Mas Reza yang menggantikan. Badut pesta, sih, sebenarnya. Kalau kubilang seniman, sama saja, kan?

*

Satu sentuhan yang sangat kukenal mengusap keningku. Aku menggeliat dan menghirup wangi parfumnya.

"Maafkan aku, Put. Aku gak tau," aku menggeleng dan mencoba tersenyum.

"Tak apa, Mas," matanya menyorot tajam ke dalam mataku. Dan satu ciuman hangat kembali membuatku semangat.

Tiba-tiba Papa datang. Lengkap dengan keluarga besarku. Ah, kiamat! Dengan Mas Reza saja Papa alergi, ditambah lagi posisi kami yang tadi sedang asyik mentransfer energi lewat bibir.

"Jangan dekat-dekat, anak saya!" Papa langsung menghardik, "keluar!"

Mama, Kak Sofi dan suaminya, Bang Rasyid dan istrinya, keponakanku Hellen, Tante, Om, dan Eyang juga, semuanya terdiam. Memandangi kami, antara kasihan tetapi jijik.

13 Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang