Rasa 7

24 0 1
                                    



AYAHANDA INDONESIA

(Termasuk salah satu cerpen yang dibukukan dalam Antologi Cerpen 'Zamrud dalam Gelas' dengan tema 'Indonesiaku' bersama Rumah Kayu Grup)


Aku berdiri di depan pintu berwarna biru muda. Kulirik sesosok yang rupawan di sebelah kanan. Ia duduk sambil mengelus-elus sayapnya. Lalu ia juga melirikku. Kami bersitatap.

"Sudah, sana masuk," ujarnya santun. Betul rupanya malaikat itu sangat lembut.

Kutekan engsel pintu ke bawah. Pintu biru muda terbuka. Aroma wewangian menyambutku. Aku masuk ke dalam ruangan berwarna putih. Sunyi senyap. Di tengah ruangan ada meja panjang dengan empat buah kursi. Tiga sudah diisi. Yang kosong itu pasti untukku. Lalu ada sebuah cermin seukuran kertas HVS. Tak ada lagi barang lain.

Dingin menyergap telapak tanganku. Aku gugup. Tiga pasang mata menatapku. Aku berjalan pelan mendekati bangku kosong di sisi sebelah kanan. Dua sosok yang sangat kukenal duduk berseberangan agak jauh dari kami. Iya, kami. Aku dan dia. Dia yang akan kuajak wawancara, Ayahanda Indonesia.

"Duduk sini, Susi," dihembuskannya asap rokok. Kutarik kursi kayu, -mahoni sepertinya- kunyamankan diriku. Ah! Gugup sekali.

Buku catatan kubentang lebar-lebar. Kurapikan rambut yang sudah rapi, sebenarnya untuk mengusap telapak tangan yang basah keringat.

"Langsung saja, ya, Ayahanda," Lelaki gagah berusia 70 tahun itu mengangguk perlahan. Senyumnya hampir seperti Monalisa.

"Apa rasanya berulang tahun ke 70?" suaraku agak tersendat.

"Aku tak merasa sudah berusia 70, Susi. Karena sebenarnya usiaku lebih dari itu. Masih panjang perjalananku. Doakan saja aku abadi, Susi," asap rokok bergelung-gelung dengan aroma melati. Kutulis sesegera mungkin jawaban darinya.

"Apa rasanya melihat carut-marut perpolitikan sekarang ini, Ayahanda?" pena kuarahkan ke pertanyaan nomor dua.

"Bagaimana menurutmu melihat anak-anakmu berkelahi berebut sesuatu yang tak penting," lelaki gagah itu melirik ke dua orang yang duduk berseberangan, "lalu akur lagi, lalu saling jegal lagi? Ha? Bagaimana?" tanyanya balik.

"Mmm, saya juga tidak tahu, Ayahanda Indonesia, kami sebagai rakyat sangat kebingungan," jawabku.

"Akupun demikian, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa," ia menarik nafas panjang. Lalu terpejam sebentar. Sesapan terakhir rokoknya, dibuang dalam asbak. Dilepaskan lagi asap rokok aroma melati itu. Suka sekali aku menghirupnya.

Kuperhatikan dua orang yang tidak melakukan apa-apa selain saling tatap karena duduk berseberangan. Yang satu matanya agak sipit. Yang satu lagi memutar-putar cincinnya.

"Bagaimana menurut pandangan Ayahanda tentang generasi sekarang?"

Lelaki yang tampak seperti berusia 30-an itu berdiri lalu berjalan menuju cermin, menyisir rambutnya yang hitam dengan lima jari tangan kanannya. "Pertanyaanmu cobalah agak ringan sedikit, berat sekali itu," ia melihat bayangannya, lalu melirik ke arahku melalui cermin itu.

"Maafkan saya, Ayahanda, saya hanya risau. Memang sih, saya belum punya anak, tapi 'kan pasti suatu saat nanti, saya akan berumah tangga dan memunyai anak," tukasku.

"Ya, ya, itu juga yang kupikirkan, bagaimana kira-kira generasi yang akan merawatku nanti ketika angka 70 itu berubah menjadi 90 atau 100, ketika calon generasi itu dijejali pemikiran praktis pragmatis, sekuleris, liberalis, tontonan-tontonan najis, dan pola hidup yang hedonis. Bagaimana Susi? Bagian mana yang paling memuakkan bagimu?" tanyanya lagi.

13 Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang