Rasa 10

36 1 1
                                    

CATATAN DI BAWAH BANTAL

*

"Tindak pidana, pembunuhan," Ustadz Sabir membaca sebuah blanko berwarna biru muda yang diberikan oleh seorang ayah yang mendaftarkan anaknya. Mataku memandang lelaki kurus hitam itu dari sudut mata. Pembunuhan? Napasku tercekat.

"Saya tidak mau menutupi, Ustadz. Memang beginilah saya, seorang pembunuh. Maka itu saya daftarkan Anjas ke sini. Saya tidak ingin dia seperti saya," Bapak tua itu menahan isak.

Ustadz Sabir memandangku. Aku pura-pura tak dengar percakapan mereka. Kulanjutkan membersihkan kaca sambil bersiul kecil.

"Ndut," Ustadz Sabir menempelkan telunjuknya pada bibir. Siulanku otomatis terhenti.

"Anjasnya mana, Pak?"

"Di luar, Ustadz," Bapak itu memanggil anak yang namanya Anjas. Kuperhatikan dari jendela yang sedang kubersihkan, si Anjas itu sedang duduk di teras kantor sambil membenamkan wajah pada lengannya. Bahunya bergoyang-goyang. Ia menangis. "Anjas, sini, Nak," anak laki-laki yang juga kurus hitam itu menuruti. Ia mengusap air matanya berkali-kali.

Sampai di dalam kantor ia menangis lagi, "Anjas gak mau di sini! Anjas mau sama Bapak!"

Bapaknya memeluk Anjas erat. Bapak dan anak itu menangis. Belum pernah kulihat seorang ayah memeluk anaknya sedemikian erat. Sedang dulu ayahku juga tak seperti itu. Pilu sekali melihatnya. Aku teringat ketika baru masuk ma'had  dulu. Tangisku jauh lebih seru dari si Anjas itu.

"Anjas, kamu harapan Bapak satu-satunya. Dan Bapak tidak mau gagal lagi. Bapak mau kamu raih cita-citamu. Ini untuk kebaikan kita bersama," mereka berpelukan lama, "Anjas gak mau seperti Bapak, kan?" anak lelaki itu sibuk menghapus air matanya.

Ustadz Sabir mulai membujuk Anjas. Dan, sepertiku juga empat tahun lalu, Anjas akhirnya luluh. Bapaknya pamit diri. Ustadz Sabir mengantar sampai ke gerbang. Anjas memandangi bapaknya dari balik jendela. Sambil terisak ia menelungkupkan wajah di antara pahanya. Kucolek bahunya dan menjulurkan sebuah coklat yang selalu berada di saku bajuku. Anjas memandangiku dengan malu-malu. Cairan di wajahnya bercampur-aduk. Awalnya ia tak mau, tapi kupaksa. Lalu diraihnya coklat itu. Ia terdiam, menggigit sedikit, mengelap ingus, menggigit banyak, lalu habis.

"Kata orang, coklat bisa bikin senang, lho," aku duduk di sebelahnya, "kalau kamu mau, aku masih ada simpanan coklat di lemari," Anjas memandangiku. "Ah ya! Aku Rolop, semua penghuni ma'had ini memanggilku, Gendut," kusodorkan tangan untuk menjabat tangannya. Perlu beberapa detik untuk meyakinkan Anjas untuk mau menjabat tanganku, "dan kamu adalah Anjas, ya kan?" Anjas masih diam saja.

"Wah, sudah kenalan ya, tolong antar Anjas ke asrama ya, Ndut, sekamar sama kamu, tuh," Ustadz Sabir sudah berdiri di pintu. Aku mengangguk dan menyeret sebuah koper hitam besar. Hari itu, aku punya sahabat baru.

*

Kuakui, aku memang gendut tapi tetap saja dipanggil 'Ndut' itu sangat menyakitkan. Satu-satunya orang yang kuikhlaskan memanggil 'Ndut' hanya Ustadz Sabir. Ditambah lagi tahun ini aku tidak naik ke kelas XI, bertambahlah bahan olokan bagi para pem-bully itu.

Kukira, deritaku inilah yang paling mengenaskan, ternyata tidak. Menurutku, Anjas jauh lebih mengenaskan. Kenyataan bahwa bapaknya adalah mantan narapidana membuatnya jadi bahan olokan baru di kelas. Beberapa teman yang mengenalnya sering berkata, "Kenapa bapakmu dipenjara?" jelas sekali bagiku itu bukan kalimat tanya untuk dijawab. Kulirik Anjas yang duduk di sampingku. Ia hanya menatap buku kosong dengan tatapan yang juga kosong. Segera saja kualihkan perhatian Anjas dengan memberinya sebuah tebak-tebakan yang ditanggapinya dengan tidak bersemangat.

13 Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang