Rasa 3

51 3 1
                                    

PATAH HATI DUA KALI

(Termasuk salah satu cerpen yang dibukukan pada lomba cerpen dengan tema 'Kasih Tak Sampai' yang diadakan oleh Nulisbuku.com)


Pagi ini kurasakan hal yang lain dari biasanya. Kata orang di negara sebelah sana déjà vu. Ini karena kertas berisi biodata seorang gadis. Suasana kantor seakan senantiasa sejuk damai -walaupun AC sering ngadat-, dengan karyawan yang rajin-rajin -padahal biasanya cuma internetan-, senyum riang sang sekretaris -yang biasanya judes-. Seakan-akan di perutku berkumpul kupu-kupu, capung, tawon, terbang kesana kemari. Suasana yang terakhir kurasakan hampir tujuh tahun yang lalu.

Namaku Bagus, Bagus Prasetyo. Manajer Sumber Daya Insani, jabatanku di kantor ini. Tugasku yang paling utama adalah menelisik kinerja para karyawan, memberi masukan bagi yang membutuhkan, menegur karyawan yang kurang disiplin, sekaligus mengevaluasi kinerja dalam rapat rutin seminggu sekali.

Hari ini tugasku memberi pengarahan langsung kepada karyawan baru itu. Profil lengkapnya sudah ada di tanganku. Nama dan foto yang ada di situlah, yang membuatku seakan berjalan melayang. Perlahan tapi pasti kulihat lagi wajahnya setelah tujuh tahun berlalu.

Itu dia. Senyumnya, benar dia. Tuhan, akhirnya Engkau pertemukan aku dengannya. Senyumnya melemparku ke kenangan tujuh tahun yang lalu. Pagar putih, mawar, keresek sapu lidi. Aku terlempar.

*

Sore itu, kukayuh sepeda lambat-lambat. Rumah Ajeng sudah dekat. Di pagar putih setinggi dada, aku berhenti. Kuatur nafas sebentar. Kulihat seorang gadis menyapu halaman. Dari balik pagar kupanggil ia.

"Dek, Ajengnya ada?" tanyaku. Gadis itu menoleh tapi diam. Lalu ia tersenyum, memanggil Ajeng, lalu menyapu lagi. Setelah buku catatan Ajeng pindah ke tanganku, kutanyakan sesuatu padanya.

"Jeng, itu adikmu?" tanyaku.

"Bukan, itu kakakku, kenapa, ayoo..?" goda Ajeng. Aku kaget. Kukira tadi adiknya. Dari wajahnya ia lebih cocok jadi adik Ajeng.

"Siapa namanya?" tanyaku lagi. Ajeng malah tertawa. Lalu ia teriak.

"Kak Miaa..ada yang nanyain, nih..!" kaget aku. Ah, Ajeng ini. Untung Kak Mia, yang tadi kupanggil Dek, hanya tersenyum, masih tetap dengan sapunya. Lalu aku pamit pulang.

Matahari sore itu jadi saksi. Sepanjang perjalanan, entah kenapa. Tak bisa kulepaskan senyum Kak Mia. Perjalanan pulang rasanya tak berkesudahan.

*

Jam Sembilan pagi kala itu. Pelajaran Kimia tadi tidak terlalu banyak nempel di kepalaku. Pelajaran Bahasa Indonesia nanti lebih aku sukai. Saat itu sudah hari ketujuh. Kondisiku hari itu sangat tidak nyaman. Keringat berlebih. Tangan dingin. Yang kuingat hanya dia. Dia, yang menawan semangatku.

Dari pertama kulihat dia seminggu yang lalu, aku tak berani berbuat apa-apa. Telpon kah, kirim surat kah, sms kah. Tak berani. Tapi satu yang kutahu –itupun aku tahu dari roman-roman picisan- aku jatuh cinta. Dan yang lebih mempesonanya lagi, aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Terdengar klasik memang. Tapi aku yakin. Itu cinta. Dan ini cinta pertamaku. Jangan tertawa ketika kubilang aku jatuh cinta baru sekarang, kelas 2 SMA. Dan malam ini aku bertekad untuk menelponnya.

*

"Halo,.." aku kenal suara cempreng ini.

"Jeng,.." jawabku.

"Eh, Bagus,..ada apa, Gus? Mau pinjam catatan lagi?" kujauhkan sedikit gagang telepon dari telinga.

"Eh, engga..itu..anu..mmm..sss.." gugup menyerangku.

13 Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang