Dhea
"Tetapi semua diam, tetapi semua bisu." - Ebieth G. AdeAlun Alun Utara Yogyakarta, 24 Oktober 2015 13:25 [28˚ C]
Siang ini panas banget dan aku lagi enggak bawa uang sepeserpun. Sana-sini jualan es tapi nggak ada satupun yang aku beli. Sekali lagi, aku enggak bawa uang.
Mungkin bukan cuma enggak bawa, tapi enggak punya. Karena aku juga baru inget, tadi pagi aja terpaksa aku bikin mi instan buat sarapan. Bunda belum ngirim uang lagi.
Aku enggak tau harus melakukan hal apa lagi supaya deritaku siang ini berakhir. Mengemis ? Aku terlalu elegan untuk melakukan hal konyol seperti itu. Berakting layaknya orang yang sangat miskin sehingga semua orang mengasihani aku ? Tapi maaf, aku bukan drama queen.
Tiba-tiba tengkukku dingin. Kerudung bagian belakangku sedikit basah. Kemudian aku menoleh dengan cepat.
Edan, ada seorang cowok sedang menempelkan sebungkus es blewah di tengkukku. Dia tersenyum-senyum kepadaku, sedangkan aku hanya melongo menatapnya.
"Haus ya, mbak ? Nih minum !" Ujarnya sambil melenggokkan sedikit kepalanya.
Aku hanya diam melihat wajahnya dan es itu secara bergantian. Mataku menyipit seakan berkata "Lo siapa ?"
Dia menyodorkan es itu padaku. Ini, ini nih, yang dinamain rezeki siang bolong. Tanpa basa-basi aku menyabet es itu dan meneguknya pelan-pelan. Ketika ku lirik dia hanya tersenyum tipis.
"Thanks, ya."
"Iya," jawabnya pelan kemudian duduk di sampingku.
"Aku Izzam. Kamu ?" dia mengeluarkan tangannya dari saku celananya dan mengajakku bersalaman.
"Aku Dhea." Aku menjabat tangannya.
Dia mengangguk pelan dan melepas tangannya.
"Anak UGM juga ? Tapi kok aku enggak pernah liat kamu ya ?" Tanyanya yang ternyata bernama Izzam itu.
"Enggak, aku masih SMA. Aku kelas 12, tahun depan lulus." Jawabku sembari memutar-mutar sedotan es tadi.
"Pantesan gak pernah lihat. Aku kira anak UGM, soalnya kamu tadi aku lihat kayak lagi nyampur sama anak-anak UGM itu," matanya mengarah pada segerombolan pemuda-pemudi yang sedang bersenda gurau di seberang sana.
"Nah, kamu kenapa bisa tahu kalo mereka anak UGM, Zam ?"
"Ya, kan mereka seniorku," jawabnya santai.
Seketika wajahku memerah. Gawat, berarti dia lebih tua dariku! Seharusnya aku lebih sopan padanya sejak tadi.
"Yeeee, kenapa ? Kamu kira aku seumuran sama kamu ya ? Iyalah, aku kan awet muda." Lanjutnya dengan tawa kecil.
"Hehe, maaf kak, aku nggak tahu,"
"Jangan panggil kak, mungkin aja aku emang seumuran sama kamu,"
"Kok bisa ?"
"Ya bisa, aku baru masuk UGM kemaren. Baru semester dua. Kamu kelahiran tahun berapa emang ?"
"Aku 1998. Kakak ?"
"Jangan kakak,"
"Oke, maksudku, Zam ?"
"Aku 1996. Beda dua tahun sama kamu."
"Tuh kan, bedanya aja dua tahun. Ya pantes dong, aku panggil 'kak' ?"
"Tapi aku enggak suka, gimana ?"
"Yaaah, iya deh iya. Izzam deh, bukan Kak Izzam."
"Nah gitu," tawanya.
Aku hanya melihat wajahnya sebentar kemudian menunduk. Dia tampan. Ujarku dalam hati.
Sesaat kemudian dia meminta nomor ponselku. Ketika dia mengulurkan ponselnya, aku tidak sengaja menyentuh tangannya.
Deg, deg, deg!
Jantungku berdetak nggak teratur. Aku mulai salah tingkah, sampai-sampai aku lupa nomor ponselku.
"Kamu nggak papa ?" Tanyanya.
"A ? E-emm-eng-gak," jawabku terbata-bata. Bodoh, malah kelihatan kalau aku sedang salah tingkah.
Setelah kuberikan nomor ponselku dia pamitan, katanya mau pulang.
"Kamu nggak pulang ? Mau aku anterin ?" Dia mencoba mengajukan penawaran padaku.
"Enggak kak, eh Zam, makasih." Tolakku halus. Dia hanya mengangguk.
Did you know ? I think, first sight love would be true.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
30˚ CELSIUS
Teen FictionAlun Alun Utara Yogyakarta, 24 Februari 2015 - 28˚ C Siang ini panas banget dan aku lagi enggak bawa uang sepeserpun. Sana-sini jualan es tapi nggak ada satupun yang aku beli. Sekali lagi, aku enggak bawa uang. Mungkin bukan cuma enggak bawa, tapi e...