Lima : Passcode

26 6 0
                                    

Rumah Makan Padang, 29 Oktober 2015 10.02 [19˚]

"Assalamualaikum!" Ujar seseorang mengagetkanku. Izzam melambaikan tangannya padaku.

"Waalaikum salam." Jawabku sambil membalas lambaian tangannya. Izzam menghampiriku.

"Udah lama nunggu?" Tanyanya yang hanya kujawab dengan gelengan tanpa menatap matanya. Takut. Takut jatuh cinta.

"Yaudah, jalan sekarang yuk." Ajaknya mendahului langkahku.

"Mobilmu mana?" Sebenarnya aku sedikit canggung mengatakannya, karena jadi terlihat sedikit, ehm, matre.

Dia mengerutkan dahinya.

"Ya nggak bawa lah, kan aku bilang jalan adek cantiiiik," jawabnya santai sambil berusaha meraih hidungku tapi aku keburu menghindar. Dia hanya ber-hehe ria.

"Yaudah ayok. Kemana?" Tanyaku.

"Temenin ke rumah bude aku bentar, terus kita makan, terus kita main. Ntar solat dzuhur di deket mall aja." Katanya. Aku hanya mengiyakan kemudian berjalan ke arah selatan bersama Izzam.

***

Jujur, aku canggung sekali. Terasa aneh berjalan dengan seorang pria yang sebelumnya tak begitu aku kenal.

Ternyata rumah bude Izzam nggak jauh dari kos-kos an ku. Ketika kami sampai, kami langsung disambut oleh budenya. Namanya Bude Nikmah, kata Izzam.

"Assalamualaikum bude," sapa Izzam sambil menghampiri budenya yang kebetulan sedang di luar rumah. Aku hanya mengekor di belakangnya kemudian menyalami budenya itu.

"Waalaikum salam, eh eh, keponakanku, tumben le, kesini. Ada apa? Pasti nyari Mas Adri, iya kan? Ngomong-ngomong ini siapa, Zam? Aduuuu cantiknyaaa, tunanganmu? Waduh senang sekali, pasti kamu menang banyak deh, sudah cantik, tampaknya pintar, pula." Cerocos Bude Nikmah tanpa henti sambil tersenyum-senyum menatapku.

Aku hanya melotot mendengar ucapan budenya. Tunangan? Ya Allah, aku masih kecil banget untuk dijadiin tunangan seseorang!

"Ah, emm-bu-bukan bude." Aku menepis ucapan Bude Nikmah dengan sedikit senyuman. Ku lirik Izzam malah tersenyum kecil menatapku. Waduh, bisa jadi salah paham, nih!

"Ah kamu Dhe, suka bercanda. Iya bude, dia tunanganku." Ucap Izzam sambil melirikkan matanya penuh arti, tapi aku masa bodoh dengan itu.

Aku malah menginjak kakinya. Bagaimana bisa, Izzam bohong banget. Cukup tau, ternyata Izzam usil. Bude Nikmah bukannya nanyain bener apa enggak, kayaknya beliau percaya aja. Ampun deh!

"Yaudah bagus deh, pilihanmu. Terus ngapain ke sini?" Tanya Bude Nikmah pada Izzam. Nah tuh, mampus deh, beneran percaya lagi.

"Anu, mau nyampein pesen mama. Katanya kuenya nggak jadi 40 biji, 55 katanya." Jawab Izzam.

Setelah berbincang-bincang sedikit akhirnya kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.

***

"Wah, Zam, parah kamu." Hardikku pada Izzam setelah kami berjalan cukup jauh dari rumah Bude Nikmah.

"Hehe, maaf. Kan aku orangnya suka bercanda!" Izzam hanya nyengir kuda.

"Tapi nggak lucu, Zam, plis deh ah!"

"Yaaa apa salahnya sih, kali aja beneran." Ucapnya pelan tapi cukup bisa ku dengar.

"What?!"

"Apa sih, ngagetin aja deh!" Gerutu Izzam.

"Ngomong apa kamu barusan huh?" Tanyaku sambil melotot.

"Enggak, nggak ngomong apapun kok." Elaknya.

"Bohong, itu tadi aku denger kok!"

"Nah itu denger, kenapa masih nanya?" Ledeknya kemudian berlari mendahuluiku.

"Ya ampun Zaaaaaaam!!" Teriakku mengejarnya. Tapi langkahku terhenti oleh sesuatu. Aku melihat seekor anak kucing di depanku.

"Aaaaaaa ya ampun, ini lucu bangeeeet!!" Teriakku.

Kulihat Izzam berhenti kemudian menghampiriku yang terhenti oleh sebuah benda hidup bernama anak kucing ini.

"Suka kucing?" Tanya Izzam.

"Bangeeet, aduduh, ini lucu banget tau nggak sih?!" Kataku sambil mengelus-elus kepala kucing ini.

"Yaudah, bawa pulang aja," kata Izzam. Aku mengerutkan dahi kemudian mendongak untuk melihat wajah datar Izzam.

"Yakali, ini kan kucing ada emaknya. Nanti kalo aku digalakin emaknya gimana?"

"Haduh aneh aja. Udah ayo jalan." Ajak Izzam.

"Kemana sekarang?" Tanyaku sambil berdiri kemudian berjalan menjauhi kucing tadi.

"Ke pasar hewan." Jawabnya singkat.

"Ngapain? Kamu mau cari kucing? Oh kamu suka kucing juga?"

"Hm. Dulunya sih enggak. Tapi barusan, aku jadi suka."

"Maksudnya?"

"Aku bisa suka sama sesuatu yang sebelumnya aku nggak suka, cuma gara-gara orang yang aku suka." Katanya sambil menatapku.

"What? Aku nggak ngerti, nih. Kamu terlalu banyak pake kata 'suka', aku jadi nggak ngerti. Jelasin lagi, deh." Aku menaikkan alis kananku sambil menggaruk-garuk kepalaku.

"Aaaah, kamu kepo banget sih!" Izzam terkekeh menjawab perkataanku. Sumpah, ini anak nyebelin juga ternyata!

***

Sudah mulai paham dan bisa menebak alur cerita berikutnya? Maaf ya, kalau mungkin ada typonya hehe.

Terima kasih sudah baca, vommentnya authoe tunggu 😘

30˚ CELSIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang