Sembilan : Hey, Lin!

19 3 0
                                    

Cotton Inc. Cafe, 30 Agustus 2016 11.02 [17˚]

Es dengan topping gula-gula ini benar-benar terasa nikmat. Siang-siang, lagi panas juga di luar. Pas banget, deh.

"Mbak, mbak ini namanya Dheana Fatikha kan?" Seseorang mengagetkanku dari lamunan. Dia seorang gadis.

"Iya. Maaf, mbak siapa ya?" Aku bertanya balik kepadanya.

"Heeeei, aku temen SMP kamu, Alin. Masih inget nggak? Wah ternyata kamu nggak berubah-berubah banget ya," ujarnya girang.

Melihat wajahnya yang agak sedikit Chinese, kemampuan memoriku mulai bekerja. Iya, ini Alin, aku ingat.

"Alin? Yang dulu suka ngebret aja, ya kan?" Mendengar ucapanku tersebut dia mencucutkan bibirnya.

"Yang diinget kok malah ngebretnya sih," omelnya.

"Hihi, maaf. Kok bisa tau aku ada di sini?"

"Sebenernya sih, aku tadi duduk di sana sendirian," katanya sambil menunjuk bangku yang ada di sudut cafe.

"Tapi, ngeliat kamu sendirian di sini tiba-tiba kayak keinget wajah absurd seseorang. Kayak Dheana gitu, hehe." Lanjutnya

"Yaelah. Gabung di sini yuk, temenin aku."

"Iya ntar, aku ambil tas ku dulu ya." Jawabnya.

Senang rasanya bisa ketemu teman lama. Temen lama bukan berarti bekas temen ya. Soalnya temen itu nggak ada batasannya. Mau dia ada di masa lalu, mau dia ada di masa sekarang, tetap aja, namanya teman.

"Nglanjutin kemana?" Tanya Alin sambil membenahi posisi duduknya.

"Ke UGM, Lin. Kamu?"

"Wah, UGM? Kok jauh banget? Kenapa nggak di Malang sini aja? Aku masuk UNAIR yeheeey." Jawabnya sambil tertawa kecil memperlihatkan dua lubang kecil di kedua pipinya.

"Hmm pengennya sih di Malang. Tapi kan aku pindah ke Jogja. Ayah sama bunda pun di sana."

"Ya, terus, apa salahnya? Kamu ngekos di sini bisa kan?"

"Gimana ya, sebenernya aku mau mau aja ngekos di sini. Tapi beneran aku nggak tega ninggal ayah sama bunda jauh-jauh,"

"Belum lagi ayah sama bunda sudah mulai masuk fase sepuh. Aku mesti dan kudu deket sama mereka. Yang pasti buat ngerawat mereka." Lanjutku. Alin hanya ber-oh ria.

"Tapi bener juga, wujud bakti kan, ya?" Tanya Alin sambil mencabik-cabik gula-gula miliknya yang barusan datang.

Aku hanya mengangguk. Orang tua bukan sesuatu untuk ditelantarkan.

***

Taman Ijen Boulevard memang cocok buat duduk-duduk santai. Jalanan kota Malang sore ini agak ramai. Nggak seperti dulu. Yakali, udah beda, orang aku terakhir ada di sini juga sekitar tiga tahun lalu.

Dan entah kenapa tiba-tiba aku teringat Izzam. Ku buka notif ponselku, tapi nggak ada apapun. Nggak ada notif dari Izzam. Tumben, sibuk?

Aku terus menatap gelisah layar ponselku hingga aku tidak memperhatikan apa yang sedang dibicarakan Alin.

"Helooooow, Dhea? Denger aku ngomong nggak nih?" Tanya Alin menbuatku kikuk.

"A-a-nu iya, denger kok.k jawabku terbata-bata.

"Aku ngomong apa coba?" Kata Alin yang hanya kujawab dengan nyengir.

"Kenapa sih? Ada apa? Dari tadi liatin hape mulu,"

"Enggak ada apa-apa kok,"

"Alah bohong. Lagi nungguin notif dari gebetan yaaaa?" Goda Alin.

"Ih enggak, aku enggak punya gebetan, kok." Elakku.

"Ah masa, bohong banget, keliatan tuh dari mukamu. Hihihi."

"Dari mukaku? Keliatan banget, ya?"

"Nah tuh, berarti bener, kan?" Alin terkekeh melihatku mendengus.

"Ceritain, dong. Siapa sih?"

"Heh ... yaudah deh. Namanya Izzam, anak UGM hampir semester empat sekarang."

"Oh, beneran gebetanmu, Dhe?"

"Dibilang gebetan kayaknya enggak deh, Lin. Cuma sahabat aja."

"Mana ada cewek cowok sahabatan lama. Pasti ada aja yang kalah, kalo nggak cewek ya cowoknya. Dan kita emang nggak bisa nebak, siapa yang bakalan kalah dan menang. Pasti ada aja yang--"

"Suka?" Sahutku. Alin tersenyum, kemudian mengangguk.

"Kamu suka?"

"Nggak yakin sih, Lin. Enggak atau mungkin emang belum deh, kayanya."

"Wahaha, yaudah apapun yang terjadi, kamu harus tetep semangat. Jangan mikirin dia terus!" Katanya sambil menggenggam tanganku, berusaha meyakinkanku atas apa yang ia ucapkan barusan.

Aku tersenyum kecil. Benar, nggak ada yang bisa nebak siapa yang bakalan kalah dalam perang perasaan ini. Aku, atau Izzam, atau mungkin kami berdua bisa saja kalah semua.

30˚ CELSIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang