Sepuluh : Bad Memory

18 3 3
                                    

Izzam POV

Mama benar-benar terbaik. Masakan mama nggak ada yang menandingi keenakannya. Super lezat.

"Kali ini enak banget, ma." Pujiku pada mama sebelum melahap kembali nasi dan rendang yang sedang duduk di sendokku.

"Terus maksudmu masakan mama selama ini nggak seenak yang kali ini, gitu?" Mama malah melengos sedangkan papa terkekeh geli mendengarnya.

"Ya enggak gitu. Cuma kali ini beneran enak, ma." Pujiku lagi.

"Yaaah, namanya juga mama gitu, loh." Kata mama sambil melenggangkan pinggangnya. Papa hanya tersenyum sambil geleng-geleng.

"Ngomongin soal rendang, ternyata Dhea jago masak rendang lo, ma, pa." Kataku sambil meraih toples kerupuk yang ada di dekat papa.

"Dhea? Siapa?" Ujar mama dan papa hampir bersamaan.

"Papa sama mama lupa?"

"Oh, bilang aja gebetanmu. Gitu aja susah." Kata papa sambil tertawa-tawa tidak jelas. Sekarang aku tanya, dimana lucunya?

"Eh, enggak. Bukan gebetan kali, pa." Elakku.

"Aaaaaa, bener?" Selidik mama. Yang langsung kuberi hebat, berusaha meyakinkan mereka.

"Terus, gimana yang katanya mau kamu lamar itu?" Celetuk mama membuatku tersedak.

"Mama gimana sih, ya emang dia itu. Yang beberapa kali ke sini itu, ah elah, nggak peka banget, deh."

"Kamu dari tadi bahas siapa, sih?" Tanya papa bingung.

"Ah, ribet!" Aku membawa pergi makananku menuju ruang tengah.

***

Aku merogoh mp3 playerku di dalam tas. Tunggu, tidak ada! Bagaimana bisa, aku ingat, tadi pagi kumasukkan, kok. Di kantong depan, nggak ada. Di kantong dalem, nah ini dia!

"Kecil-kecil bikin khawatir aja!" Aku nampak seperti orang sinting kali ini. Mengajak bicara sebuah mp3 player sendirian.

Saking asyiknya aku mendengarkan musik di mp3 playerku, aku tidak sadar bahwa ponselku terus berbunyi sejak tadi.

Aku baru sadar setelah aku kembali merogoh dalam tasku mencari permen. Ponselku bergetar.

Unknown Number

"Ya, halo, Dheana sedang berbicara. Siapa ya?"

"..."

"Ini siapa?"

"..."

"Gimana, sih. Nelpon tapi enggak ngomong apapun, gaje banget."

"..."

"Yaudah tak matiin ini, ya!" Tut. Aku memutuskan panggilan itu sepihak. Usil banget sih.

Di tempat lain ...

Gadis itu tersenyum sinis mendapati nomor yang ia tuju benar milik gadis bernama Dheana itu.

Seribu satu umpatan muncul di dalam otaknya. Benci dan marah bercampur menjadi satu.

[Flashback On]

"Izzam, please, what are you looking for? Most beautiful girl is going to date you. Apa lagi yang kamu cari? Aku ada di sini." Ucap gadis itu tampak memohon kasih dari Izzam.

"I'm sorry, i'm not going date with bastard girl, like you. Lo berharap gue akan ngejar lo balik? Jangan ketinggian kalo ngarep."

"Oh God, kenapa kamu kayak gini sama aku? Aku kurang apa, sih?" Kini gadis itu mulai menampakkan matanya yang berbinar-binar.

"Lo nggak usah sok memelas di depan gue, itu nggak akan pernah ngebuat gue berhenti jijik sama lo." Jawab Izzam ketus kemudian pergi ke tempat lain, yang pasti untuk meninggalkan gadis itu.

"Benar-benar, kamu jahat banget, Zam. Jahat, setelah apa yang kita lalui dua tahun lalu, kamu sekarang gini sama aku? Oh God, why?" Gadis itu terisak pelan. Izzam menghentikan langkahnya.

"Gue, nggak pernah punya hubungan apapun sama lo. Dan lo, maaf gue sama sekali nggak cinta sama lo. Baik dulu maupun sekarang." Lalu Izzam melanjutkan lagi langkah kakinya membuat gadis itu semakin terisak.

[Flashback Off]

DAKKK!

Gadis itu menggebrek meja yang ada di hadapannya dengan keras. Ia begitu sesak mengingat kejadian kala itu. Izzam benar-benar tak menggubris omongannya.

Akhir-akhir ini gadis tersebut sering mendengar nama Dheana. Katanya, dekat dengan Izzam. Karena itulah gadis itu berusaha mencari tahu siapa gadis yang bernama Dheana tersebut.

"Well, tunggu aja." Gumam gadis itu pelan.

***

30˚ CELSIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang