Empat : First Call

39 7 13
                                    

Kos-kosan Membosankan, 29 Oktober 2015 09:13 [14˚]

Udah mulai siang. Tapi masih tetep dingin. Aku males banget buat nyuci baju. Dinginnya air sumur kos-kosan itu tuh, yang bikin nyaliku jadi ciut.

Diam-diam aku jadi merindukan kampung halamanku. Kota dengan kesederhanaannya yang begitu erat.

Orang-orang menyebutnya 'Kota Pelajar'. Kota dengan ribuan kenangan selama hampir belasan tahun. Kota Malang. Aku lahir di sana, dan tumbuh di sana.

Sampai akhirnya ketika aku hendak masuk SMA, Bunda mengajakku pindah ke Klaten. Padahal aku sangat nyaman dan senang tinggal di Malang.

Ayah juga tidak mengatakan apapun padaku saat kami pindah. Selama dua bulan sejak kami pindah, hari-hariku makin biru. Kangen gitu sama temen-temen di Malang.

Tapi lambat laun aku mulai terbiasa. Dan sekarang, aku tinggal di kos-kosan dengan ibu kos yang lumayan 'ramah', air sumur yang dinginnya super--walaupun di tengah kota, serta teman-teman di kamar sebelah yang terkesan kaku dan tertutup.

Tentu saja, aku harus nge-kos. Ayah dan Bunda ada di Klaten. Sedangkan aku sekolahnya di Yogya kota. Yah, begini deh, nasib anak kos.

***

Ada yang beda sama hari ini. Entahlah aku juga enggak tahu. Kayak ada yang ngeganjel di hati. Tapi apa ya ?

Aku berjalan gontai menuju meja belajarku yang hampir penuh dengan gedung gedung tinggi yang terbuat dari banyak sekali lembar kertas berhiaskan huruf huruf.

Aku merapikannya. Ini sangat melelahkan, tapi aku sadar, kapan lagi bisa beresin kalo enggak sekarang ?

DLING!!

Ponselku berbunyi. Ada pesan, dari Vindi, temanku.

"Dhe, ikut aku yuk, ntar jam 3 sore." Begitu bunyinya.

"Kemana?" Send...

Belum ada dua menit kembali aku mendapat pesan. Tapi, ini bukan Vindi. Izzam.

"Assalamualaikum," membacanya tiba-tiba hati rasanya adem.

"Waalaikum salam, ada apa Zam?" Balasku.

"Enggak ada apa apa, kok. Kangen aja, wkwk." Balasnya dengan cepat. Hatiku berdesir. Sepertinya suhu tubuhku tiba-tiba meningkat ketika aku membaca kata 'kangen' itu.

"Ih, gombal." Balasku sejutek mungkin. Hm. Aku mematikan layar ponselku dan aku melihat bayangan wajahku di sana. Mampus, kepiting rebus ini.

Tak lama kemudian lagu Not Letting Go-nya Jess Glynne berbunyi. Itu nada dering ponselku. Izzam? Ngapain?

"Halo?" Ucapku berusaha mencari cari jawaban dari seberang sana.

"Halo? Dhea kan? Hehe, sorry ganggu. Tapi beneran, aku kangen kamu." Suara bariton dari seberang sana dapat kudengar, akhirnya. Suara Izzam.

"Ih gombal banget. Nggak suka."

"Yee, kok gombal beneran tauk," mendengarnya aku tersenyum kecil. Tapi sepertinya nggak kecil, kalo aku ada diantara orang-orang, senyumanku mungkin akan cukup membuat mereka mengira bahwa aku gila.

"Haha, iya deh. Kamu nggak sibuk, Zam?"

"Hm. Enggak, ini justru aku pengen ngajak kamu jalan."

"Kemana? Ini barusan temenku juga ngajak. Tapi ntar sore sih."

"Kemana-mana deh, pokoknya kita jalan. Tuh masih ntar sore kan, aku pengen jalan sama kamu sekarang," rengeknya.

"Aduh kek anak kecil deh, ah. Manja," cibirku.

"Ih paling juga manja-an kamu," balasnya.

"Yakali, bodo!" Jawabku ketus.

"Hehe canda, yaudah kamu siap siap. Kita ketemu di mana?"

"Hmm di depan rumah makan padang deket gang dua aja deh, yaa." Pintaku.

"Oke deh! Assalamualaikum." Tutupnya kemudian dilanjutkan bunyi tut-tut-tut-tut.

Waalaikum salam. Aku tersenyum kecil.

***

30˚ CELSIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang