Delapan : Jalang?

31 6 0
                                    

Izzam
"Di dalam heningmu pun, kau masih mau mendengarku." - Anonymous

Alun-Alun Balai Kota Malang, 28 Juli 2016 13.20 [17˚]

Rinduku akan kota ini sudah terobati. Aku sengaja pulang ke Malang lebih dulu dari ayah dan bunda karena aku harus mengurus beberapa data untuk masuk perguruan tinggi--sekaligus liburan.

Lebaran kemarin, keluarga yang dari Malang yang malah datang ke Jogja. Sekarang gantian, aku yang ke Malang.

Aku menikmati suasana taman alun-alun yang sebenarnya tak cukup luas ini diiringi musik yang mengalir dari ponsel melalui headset dan masuk ke telingaku.

Soal Izzam, hubungan kami semakin membaik sejak adanya Cimi beberapa bulan lalu. Aku semakin sering bertemu dia, karena aku bolak-balik ke UGM untuk mengurus pendaftaranku.

Tidak, aku tidak masuk UGM untuk mendekati Izzam. Tapi karena memang sejak dua tahun terakhir, UGM mengalihkan pandanganku.

Dari yang semula aku tidak ingin kuliah--menjadi aku ingin kuliah. Bahkan aku memasang target lulus di tahun ketiga. Semoga dapat terwujud. Amin.

Mengingat tentang Izzam, tiba-tiba dadaku sesak. Seperti ada pertanda buruk. Tapi aku buru-buru menepis pemikiran itu. Mungkin hanya perasaanku saja.

Aku membuka buku harianku kemudian menulis beberapa baris kalimat untuk menggambarkan siang ini.

Ya, memang seperti ini hobiku, mendokumentasikan beberapa momen lewat tulisan-tulisan sederhana di buku harianku.

***

Izzam POV

Gadis jalang itu datang lagi. Mengumbar semua pesonanya padaku. Tapi sayangnya aku nggak tertarik sama sekali.

Namanya Evelyn. Gadis terpopuler di tempat pembuangan akhir. Aku memang begitu membencinya. Dia terus-terusan mengganggu hidupku.

"Zam, are you really really hate me? Oh God, why, why you do this? I love you, Zam, please be mine." Pintanya sambil mengibas-ngibaskan rambut merahnya.

"Masih nggak percaya kalo gue benci lo? Gue akan ngasih kabar terbaik dan mungkin juga terburuk buat lo. Bulan depan gue tunangan sama seorang cewek,"

"Dan lo, wajib hukumnya ngejauhin gue. Ngerti lo." Jawabku picik kemudian mengusirnya pergi dari depan pintu apartemenku.

DAKK!

Aku membanting pintu depan dengan keras, berusaha menunjukkan pada Evelyn bahwa aku membenci gadis jalang sepertinya.

Bahkan sepertinya dia sudah tidak gadis, mengingat dia beberapa kali keluar-masuk ruang konsultasi mahasiswa untuk menerima pembinaan.

Dia berkali-kali terkena kasus.

Dia sering ketahuan minum di bar diskotik dan pulang dengan bermacam-macam pria.

Om-om, anak kuliahan sepertiku, bahkan berondong yang masih berseragam putih abu-abu.

Ironis memang. Tapi anehnya, Evelyn tak kunjung di De-O dari kampus.

Dan berbicara soal tunangan yang kumaksud tadi, emm, aku sebenarnya hanya masih sebatas merencanakannya saja. Masih belum ada apa-apa.

Aku tau, mungkin terlalu cepat bagi gadis yang akan kulamar itu. Tapi, aku memang sudah memikirkannya matang-matang.

Aku tidak boleh berpacaran, maka saat sudah tiba waktunya aku belajar mencintai seorang gadis, mama mendukungku penuh untuk langsung melamarnya saja.

Mama sudah kenal dengan gadis itu. Katanya baik, ramah, dan senang membantu. Pernah beberapa kali, gadis itu datang ke rumah atas permintaan mama setelah aku menceritakan tentang gadis itu pada mama.

"Kamu suka sama dia, Zam?" Aku masih ingat pertanyaan yang terlontar dari mulut mama tempo hari yang lalu.

"Emm... mungkin... belum yakin banget, sih ma."

"Cepet cepet, deh."

"Ma, dia baru lulus. Aku takut dia menolak karena ini terlalu cepat bagi dia."

"Oh, jadi dia baru lulus?"

"Iya, baru kemarin. Aku nggak ngebet soal nikahnya, ma. Tapi aku juga nggak mau berpacaran. Aku pengen langsung melamar dia."

"Yaudah, lamar aja, papa setuju kok." Ujar papa ikut campur dalam perbincangan kala itu.

"Emang, papa tau, gadis itu siapa?"

"Yah tau dong, apa yang papa nggak tau, huh?"

"Siapa coba?"

"Gadis ini, kan?" Papa menyodorkan ponsel mama yang bergambar seorang gadis yang sekarang sedang jauh dariku. Pulang kampung, katanya.

"Kok mama sama papa bisa punya fotonya?" Tanyaku heran.

"Ya bisa, ya kan, pa?"

"Iya."

Aku hanya tersenyum melihat kedua orang tuaku mendukungku penuh kali ini.

"Tunggu aku." Gumamku sambil mengedarkan pandanganku ke pemandangan kota Jogja ini lewat jendela ruang tamu ini.

Seorang gadis nan jauh di sana.

"Sepertinya aku mulai menyukainya." Gumam gadis itu pelan kemudian menutup buku hariannya.

***

30˚ CELSIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang