Sebelas : He's Back

26 5 7
                                    

Mandala 21, Malang Plaza, 1 September 2016 13.18 [18˚]

"Nonton apa?" Pesan dari Izzam masuk setelah hampir dua puluh menit pesanku belum dibalas.

"Back Street. Katanya sih, filmnya bagus, gitu kata Bagus." Balasku kemudian.

"Sama siapa?"

"Bagus." Jawabku singkat.

"Siapa, tuh?"

"Kepo deh yaa"

"Serius!"

"Ampun, deh. Temen aku waktu SMP, Zam."

"Oh, yaudah. Awas jangan macem-macem!"

Tanpa aku sadari bibirku menyimpulkan sebuah senyuman membuat Bagus bertanya padaku.

"Kenapa senyum senyum sendiri, Dhe? Gila?" Kata Bagus.

Well, aku akan perkenalkan dulu. Bagus Naufal Riza namanya. Temanku sewaktu SMP. Usil, humoris, tapi baik, kadang ketus, kadang juga romantis. Emm ... Dia mantanku.

Mantan pertamaku dengan cinta monyet yang masih begitu sangat kentara kala itu.

"Yakali, kamu yang gila," Jawabku ketus.

"Berani banget ngajakin mantan nonton, apalagi pas ulang tahun gini." Lanjutku. Ya, hari ini hari ulang tahun Bagus.

Bagus hanya tertawa kecil. Tunggu, kecil? Apa yang bisa kusebut kecil setelah semua orang di studio ini menoleh menatapnya?

Tawanya kian meledak setelah ia menyadari banyak mata memandangnya bingung. Gila tuh bocah. Mungkin itu yang dipikirkan orang-orang, atau mungkin aku sendiri saat ini.

Aku memukul lengannya.

"Malu-maluin!" Omelku pelan. Dia hanya mengibaskan tangannya, kemudian tawanya mereda.

"Jangan berisik!" Kata Bagus sambil memperlihatkan lirikan matanya yang tajam. Aku hanya melengos.

Nggak ada bedanya sama Bagus yang dulu, tetep Bagus yang asik dan enggak ngebosenin (:

Oh, aku lupa membalas pesan Izzam. Tapi, kenapa aku tiba-tiba merasa sangat aneh? Seperti ... dilema? Apa aku mulai nyaman lagi dengan Bagus? Kok, aku jadi enggak enak mau bales pesan Izzam?

Seperti ada gemuruh keras memenuhi seisi hatiku. Tiba-tiba gelisah dan nggak menentu. Pengen nangis, tapi yang ditangisin apa. Pengen ketawa, tapi yang diketawain juga apa.

Sepanjang film diputar, aku nggak fokus sama sekali. Aku hanya fokus dengan popcorn di tanganku. Aku memang begini, kalo enggak mood, pelampiasanku cuma satu, ya makan.

Sepertinya Bagus menyadarinya. Dia menepuk pundakku. Aku tersentak kaget.

"Wa!" Teriakku. Sekarang gantian, bukan lagi Bagus yang diperhatikan orang-orang.

"Sssttt!" Bagus menempelkan telunjuknya di depan bibirnya.

"Ih, apaan sih. Ngagetin aja, deh." Aku mencucutkan bibirku.

"Kamu kenapa diem aja sih, Dhe? Tadi ada scene ketawa, kamu nggak ketawa. Ada scene nangis juga nggak nangis. Mood kamu jelek?" Dari raut wajah Bagus aku bisa menyimpulkan, dia tetap perhatian juga.

Banyak sekali hal positif yang melekat pada diri Bagus. Aku mengakuinya.

"Enggak kok, Gus. Mungkin aku kelaperan. Hehe" jawabku sekenanya, berusaha meyakinkan dia tentang hal itu.

Bagus hanya ber-oh ria kemudian membenahi posisi duduknya.

Maaf, Gus. Kali ini aku nggak bisa cerita.

***

Bagus POV

Dhea ternyata nggak beda. Eh, ada bedanya, kok. Bedanya, dia lebih tinggi sekarang, hehe.

Maksudku, Dhea nggak beda, memang tetap bergelar "Si Tukang Ngomel". Ya, aku yang memberikan gelar itu waktu kami kelas tiga SMP dulu.

Kalian tanya, aku masih suka dia? Menurut kalian?

Ini kali pertama sejak tiga tahun nggak ketemu. Sekarang ketemu lagi. Jodoh? I don't know (:

Ya, aku tadi bertemu Dhea saat aku sedang membeli sepatu di departmen store dekat sini. Aku memang sedikit tidak mengenalinya, karena perawakannya yang cukup berubah.

Film sudah selesai. Aku dan Dhea keluar studio.

"Dhe, kenapa sih?" Tanyaku pada Dhea yang memang sejak pemutaran film tadi terlihat sangat aneh.

"Eng-enggak papa, Gus." Jawabnya terbata-bata.

"Bohong banget, tau nggak. Dari matamu keliatan kali. Kamu kenapa? Cerita sama aku, dong," aku mengkhawatirkannya sekarang.

Dhea hanya menatapku. Tatapan yang aneh. Sangat aneh. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Tujuh detik, dia tidak bergeming, hanya bertahan dengan tatapan anehnya itu.

"Helooo, i'm speaking with you princess!" Aku mengguncang bahunya.

Bug!

Dia memelukku.

Pelan kudengar dia terisak kecil. Aku sangat kebingungan, apa aku melakukan kesalahan?

Kini mata semua orang di depan bioskop ini tertuju pada kami. Aku bingung bagaimana harus menyembunyikan mukaku.

Dhea terus terisak di pelukanku. Jujur, ini adalah pelukan pertamaku, dengan mantan pertamaku pula.

Aku mengelus punggungnya.

"Puasin dulu kalo nangis, tapi plis jangan di sini." Kataku dengan iba kemudian dia semakin mengeratkan pelukannya membuatku sedikit sesak.

Sekarang aku sedikit lega. Orang-orang kini mulai acuh dengan keberadaan kami. Mungkin beberapa dari mereka berpikir, kami pasangan yang gila.

"If you wanna go back, i'm always stay here to say welcome to you." Gumamku pelan.

***

30˚ CELSIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang