0.8

145 14 1
                                    

We don't have to be ordinary, make your best mistakes, 'cause we don't have the time to be sorry, so baby be the life of the party

- Life Of The Party, Shawn Mendes -

Wajah cewek itu masih ditekuk sejak tadi. Sambil menyilangkan tangannya di depan dada, ia terus menggerutu dalam hati. Membuat cowok di sebelahnya terkikik geli.

"Ditekuk mulu mukanya, neng," goda Gio sambil mencubit pipi Vio.

"Diem, ah! Berisik lo!" bentak Vio yang semakin membuat Gio tertawa kencang.

"Eh, ga boleh pake 'ah'. Dosa lho," nasihat Gio sok baik. Vio tidak menggubris perkataan Gio, ia malas untuk meladeninya.

Gio menoleh ke arah Vio lalu kembali lagi menatap jalanan yang macet. "Kok, marahnya sama gue, sih? Kan tadi yang ngomong Rafa."

"Kalian tuh sama aja! Satu salah, ya yang lain juga salah," kata Vio berapi-api.

Vio menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "pokoknya gue gamau tau, kalian harus tanggung jawab sama semua ini. Kalo rahasia ini sampe kebongkar ke anak-anak sekolah, bisa-bisa gue dibully! Semuanya pada ga suka sama gue---"

"Kenapa pada ngebully lo?" potong Gio.

"Kalo pada tau, nanti fans-fans lo bakal ngancem gue lah, neror gue lah, atau apa kek! Pokoknya yang tau hal ini cuma temen lo sama temen gue doang, titik. Ga pake koma," lanjut Vio sambil menekankan kata "fans-fans".

"Fans? Emang gue punya fans?" Gio selama ini merasa hanya seperti manusia biasa pada umumnya. Ia terus berpikir siapa yang Vio maksud sebagai "fans-nya".

"Angel. Maksud lo dia kan, fans yang lo maksud?" Akhirnya Gio tahu siapa yang Vio maksud sebagai fansnya. Vio hanya bergumam tidak jelas. "Lo tenang aja kali, selama ada gue disini, lo bakal aman dari apapun termasuk hewan buas sekali pun."

Vio menoleh menatap Gio yang sedang tersenyum tidak jelas menatap jalanan. Tanpa ia sadari, ia juga ikut tersenyum mendengar perkataan Gio kalau dia akan aman selama ada Gio didekatnya. Ketika ia menoleh ke arah jendela, ia baru sadar kalau mobil Gio tidak berjalan menuju rumahnya.

"Kita ke cafe dulu, ya," kata Gio seolah tahu isi pikiran Vio. Vio mengangguk sebagai balasannya.

Begitu sampai di Memories Cafe, Gio memarkirkan mobilnya di bawah pohon besar. Buru-buru ia turun dari mobilnya lalu memutari mobilnya dan membukakan pintu Vio. Vio menaikkan satu alisnya melihat kelakuan aneh Gio.

"Ini sebagai permintaan maaf dari gue. Sebenarnya mewakili sih, karena gue ga salah apa-apa. Gue bakal neraktir lo," ucap Gio. Lagi-lagi ia seperti bisa membaca pikiran Vio. Vio tersenyum lalu menerima uluran tangan Gio dan keluar dari mobil.

"Gue aja belom neraktir lo yang waktu gue nabrak lo. Masa sekarang lo udah neraktir gue, sih?"

"Lupain soal itu. Lagian gue cuma bercanda, kok." Gio membuka pintu cafe dan terdengar bunyi lonceng yang menandakan kalau ada yang baru saja masuk. Mereka memilih meja paling pojok dan paling sepi. Menghindar dari keramaian. Seorang pelayan menghampiri mereka lalu menyodorkan buku menu.

"Lo mau pesen apa?" tanya Gio pada Vio.

"Samain aja sama lo."

Gio membolak-balik buku menu itu, lalu mengangkat kepalanya menatap si pelayan. "Vanilla Latte dua ya, mas."

"Oke, silakan ditunggu pesanannya," kata pelayan dengan ramah, lalu pergi.

Sekitar 10 menit, mereka mengobrol tentang hal-hal biasa. Namun itu tak berlangsung lama karena ada seseorang yang tiba-tiba datang menghampiri meja Gio dan Vio.

GivioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang