Mulanya Anggit tidak masalah dengan sistem pengacakan tempat duduk tiap beberapa waktu sekali. Namun, pendapatnya lantas berubah ketika ia mendapat teman sebangku yang tidak seru sama sekali. Namanya Riki dan Anggit harap satu bulan bakal cepat berl...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hari Ketiga.
Riki meraih botol minum dan meneguk isinya sampai tersisa setengah. Keringat membanjiri tubuh, rambutnya bahkan sudah begitu lembap. Sementara di langit, matahari mulai tergelincir untuk menghilang demi membiarkan sang bulan giliran bersinar. Riki mengamati tumpahan warna oranye kemerahan yang tergores di atasnya sembari mengatur napas yang masih satu-dua. Ekskul basket seharusnya sudah berakhir setidaknya lima belas menit yang lalu, tapi di sinilah Riki, masih berlatih sambil mengawasi jalannya ekskul.
"Ki, sekali lagi abis itu bubaran, ya?" Salah satu peserta ekskul yang seangkatan dengan Riki mengajukan usul. Riki lantas mengangguk. Menyetujui.
Tim basket mereka memang akan mengikuti kejuaraan dalam beberapa minggu. Dan karena sudah terkenal sebagai salah satu tim yang sering meyabet banyak prestasi, mau tidak mau mereka harus mempertahankan label tersebut dengan perjuangan keras.
Waktu berlalu, sekumpulan siswa itu kemudian berkumpul singkat untuk mengakhiri perjumpaan. Lambat laun lapangan sepi. Menyisakan segelintir orang, termasuk Riki. Lelaki itu masih duduk di salah satu sudut. Mengelap tetesan keringat sambil menyibuki diri dengan grup obrolan di ponselnya. Yang sedang dia buka adalah grup kelas; sedang riuh membahas tugas dan masalah keuangan yang dikoar-koarkan oleh bendahara.
Dari banyaknya profil yang bergabung meramaikan grup itu, pandangan Riki terhenti pada satu nama.
Anggitania: wei, itu harga kaos nggak kemahalan? pasin sama kantong pelajar dong
Sudut bibir Riki berkedut.
"Woi, Ki, lo nggak balik? Udah mau maghrib ini."
Riki menoleh. Seorang teman berdiri tak jauh darinya, tampaknya sudah siap meninggalkan sekolah dengan tas terjinjing di tangan.
"Bentar lagi! Lo duluan aja!"
"Yakin? Awas ntar ada yang ngusilin. Hakhakhakhak."
Riki mendengus. "Nggak usah sok nakutin gitu, lo aja nggak berani balikin bola ke gudang sendirian di siang bolong."
"Bodo, gue tinggal nih!"
Riki mengangkat sekilas tangannya, sebagai salam perpisahan. Sepeninggal temannya itu, perhatiannya kembali tertuju pada layar ponsel. Ibu jarinya menekan sebuah profil dari ruang obrolan grup kelas untuk dia amati beberapa saat. Profil itu tidak semenarik yang orang-orang kira, fotonya hanya berupa seorang gadis dengan balutan sweater kebesaran yang tengah menutupi wajah. Nama yang tercantum di bawah gambarnyalah yang menggeret Riki untuk memperhatikannya lebih lama.