Riki tidak henti-hentinya mendecak, mendesah, dan menghela napas. Jemarinya mengetuk-ngetuk stir mobilnya tak sabaran. Kepalanya berkali-kali tertoleh ke samping, mengecek keadaan Anggit. Menepis keraguan, beberapa kali juga Riki sempat memeriksa suhu tubuh cewek itu dengan menempelkan telapak tangan pada dahinya.
"Gue nggak papa, Ki," ujar Anggit serak, kontan membuat Riki menjauhkan tangannya. Cowok itu nyaris mengerem mendadak.
"Badan lo masih panas."
"Tapi gue merasa lebih baik," kilah Anggit. Matanya masih memejam. "Makasih udah nganterin gue, padahal gue bisa telepon orang rumah biar dijemput."
"Lebih cepat sampe rumah lebih baik. Udah lo tidur aja, nanti kalau udah sampe gue bangunin."
Senyum tipis terukir pada bibir Anggit. Cewek itu menurut. Dalam keadaan sakit seperti itu, mudah saja baginya untuk tertidur. Sementara di sebelahnya, Riki menyelip kendaraan di depannya dengan lihai, berharap untuk sampai di tujuan secepatnya.
.
"Riki, masuk dulu aja, yuk. Tante buatkan minum dulu.""Eh, nggak perlu repot-repot tante. Saya mau langsung balik ke sekolah aja."
"Nggak papa. Jarang-jarang Anggit bawa temannya ke rumah." Wanita paruh baya itu kemudian menggiring anak perempuannya ke dalam rumah. Riki bimbang harus mengekor atau tidak; pun akhirnya dia mengunci mobilnya dan menyusul masuk ke rumah yang dua kali ini baru dikunjunginya. Kendati kali pertama tidak bisa dikatakan berkunjung, sih, karena Riki cuma menurunkan Anggit di depan gerbang.
"Riki yang sempat antar Anggit juga ya waktu kapan itu? Makasih, ya," kata ibu Anggit.
"Sama-sama, Tante."
Tak lama kemudian, ibu Anggit kembali dengan segelas jus jambu merah di tangan. Riki tersenyum kikuk menerimanya. Sembari menyesap, Riki mengedarkan pandangan pada isi rumah Anggit; sederhana dan minimalis. Matanya terhenti pada sebuah foto keluarga yang terpampang besar di dinding; ada ayah, ibu, Anggit, dan seorang perempuan lagi. Riki tidak tahu kalau cewek itu punya kakak atau adik.
"Itu kakaknya Anggit," celetuk ibu Anggit seolah mengetahui rasa penasaran Riki. "Sekarang lagi kuliah di luar. Anggit nggak pernah cerita?"
Riki menggeleng. Dia tidak sedekat itu untuk diceritakan soal keluarga. "Saya nggak terlalu dekat sama Anggit, Tante."
Ibu Anggit mengerling sangsi. "Nggak deket tapi sampe nganterin?" Sebuah kekeh lolos kemudian. "Tante juga pernah muda, kok. Ya udah, jusnya diabisin ya. Kamu harus balik ke sekolah, kan? Mau pamit dulu sama Anggit?"
Riki mesem salah tingkah. Ditenggaknya jus jambu sampai habis.
"Yuk, Tante antar."
Mereka lalu bangkit. Riki mengikuti ibu Anggit ke sebuah pintu putih dengan gantungan sederhana bertuliskan 'Anggitania'. Pintu dibuka lebar.
"Tante tinggal dulu, ya. Nanti Riki langsung balik aja nggak papa, nggak usah nyari Tante."
Begitu Riki ditinggal sendirian di depan pintu, dia benar-benar tidak tahu harus apa. Ini akan menjadi kali pertama dia memasuki kamar perempuan. Kenapa tadi dia tidak menolak saja, sih? Riki menelan ludah.
Langkah perlahan terangkat. Pertama-tama, Riki melongokkan kepalanya ke dalam. Anggit tengah berbaring dengan selimut menutupi tubuhnya hingga dagu. "Nggit?" panggil Riki pelan.
"Masuk aja, nggak papa." Riki bisa mendeteksi adanya nada geli pada suara cewek itu. Astaga, rasanya ingin mengubur diri segera.
"Lo nggak tidur?"
"Barusan lo bangunin gue."
"Eh, gue nggak bermaksud. Maaf. Gue ganggu istirahat lo, ya?" Raut Riki kentara mengatakan rasa bersalah.
Mendengar itu Anggit membekap mulutnya sekilas. Menghapus tawa. "Bercanda. Gue memang belum tidur kok. Nyokap gue bilang apa aja ke lo?" Anggit memiringkan tubuhnya menghadap Riki.
Mengusap tengkuknya canggung, Riki menjawab, "Mm, nggak banyak sih. Tapi gue jadi tahu kalau lo punya kakak."
"Oh. Nggak ada yang aneh-aneh, kan?"
Riki menggeleng.
"Syukurlah. Nyokap suka cerita yang aneh-aneh sih ke temen gue tiap ada yang ke sini, makanya gue jadi trauma dan nggak pernah ngajak temen main lagi ke rumah." Anggit menghela napas. "Semenjak kakak gue kuliah di luar, kayaknya nyokap merasa kesepian gitu. Biasanya kakak gue yang jadi temennya cerita-cerita."
"Kan ada lo," sahut Riki polos.
"Iya, sih. Cuma gue nggak seasyik kakak gue." Anggit kemudian tersenyum. "Kenapa gue jadi cerita ini, ya?"
Riki mengangkat bahu. Baiklah, sebaiknya pamitan ini dipercepat saja. Meskipun sebenarnya Riki mau-mau saja mendengarkan Anggit bercerita apa saja. "Nggit, gue mau pamit balik dulu." Riki mengambil jeda. "Lo istirahat ya."
Anggit mengangguk.
"Bye."
"Bye."
Riki berbalik.
"Ki."
Riki memutar kepala. "Ya?"
"Lo...," Anggit mengulum bibirnya, "beneran suka sama gue?"
"Hah?"
Anggit mengerjapkan matanya pelan. Menunggu. Dia tidak mau mengulangi kalimatnya itu lantaran pipinya sekarang sudah memanas. Jantungnya juga berdebar tak karuan, tapi Anggit penasaran akan hal ini. Dia ingin memastikan.
Dalam beberapa detik, keduanya bertatapan. Ingin rasanya Riki mengalihkan pandangan ke mana saja, namun pertanyaan Anggit barusan dan ... kedua manik mata di depannya begitu menghipnotis.
"Cantik."
Anggit mengerutkan dahi. "Kok cantik, sih?"
Riki baru sadar apa yang telah dilakukannya. Bodoh! "Eh! Bukan gitu ... maksud gue ... eung ...."
"Aduh, lo itu memang gemesin ya. Gue tanya apa lo jawabnya apa. Ya udah, lo boleh balik sekarang." Anggit membalikkan tubuhnya, memunggungi Riki. Nadanya barusan memang terdengar kesal, tidak salah, karena memang begitu perasaannya. Tapi lebih-lebih, dia berusaha menekan rasa malunya.
Riki tadi bilang gue cantik, kan? Iya, kan? Nggak salah tuh cowok?
Riki masih mematung di tempat. Oke, tampaknya dia melakukan kesalahan.
"Iya, gue suka lo, Nggit." Napasnya tertahan setelah itu.
Satu detik, dua detik. Tidak ada tanggapan.
Bahu Riki merosot. Memangnya apa yang dia harapkan?
"Get well soon, Anggit."
➈
notes;
Uwu. Uwu. Gemes sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
i like it when you sleep
Short StoryMulanya Anggit tidak masalah dengan sistem pengacakan tempat duduk tiap beberapa waktu sekali. Namun, pendapatnya lantas berubah ketika ia mendapat teman sebangku yang tidak seru sama sekali. Namanya Riki dan Anggit harap satu bulan bakal cepat berl...