8

2.1K 531 44
                                    

Anggit masih terduduk di ranjang semenjak dia sampai di kamarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anggit masih terduduk di ranjang semenjak dia sampai di kamarnya. Cewek itu masih kehabisan kata-kata. Sebetulnya, tidak ada yang perlu dipikirkan, apalagi mengenai candaan Niki di mobil tadi. Bukannya itu sudah biasa terjadi antara kakak-beradik? Terlebih sifat Niki yang tampaknya usil. Namun tidak tahu kenapa, Anggit tidak bisa mengenyahkan pikiran itu.


Riki suka padanya? Mungkin saja. Mungkin iya, mungkin tidak. Dan hal itu bukan urusannya sekaligus berada di luar kuasanya. Tapi....

Bagaimana kalau Riki betulan suka padanya? O, tidak. Anggit tidak bisa membayangkan bagaimana dia harus bersikap pada cowok itu. Ya bersikap seperti biasa saja, dong! Iya, benar, tapi ini Riki yang sedang dibicarakannya. Anggit saja sudah merasa canggung bukan main-kendati rasa itu perlahan menipis-jadi dia benar-benar tidak ingin lebih canggung lagi di depan Riki bila ternyata ada perasaan yang terlibat. Hal itu membuatnya tak nyaman.

Ponsel dalam genggamannya mendadak bergetar.

Riki Pramudya

Anggit, sori kalau Niki bikin lo nggak nyaman tadi. Dia emang gitu anaknya.

Anggit diam sejenak.

Anggitania

its ok. niki seru kok orangnya.

Anggit menilik layar ponsel. Dia mendesah.

Anggitania

btw lo udah sampe rumah?

Riki Pramudya

Udah, barusan aja

Anggit menggigit bibir bawah, memikirkan hendak membalas apa.

Anggitania

sip. kalau gitu see you tmr di sekolah!
oya, sekali lagi makasih tumpangannya

Waktu cukup lama berselang, Anggit pun memutuskan untuk berbenah lantaran belum ada tanda-tanda balasan dari Riki. Dibuka pun tidak. Baru setelah Anggit selesai membersihkan diri dan mengganti pakaian, ada pesan baru muncul.

Riki Pramudya

Sama-sama
Selamat istirahat, ya.

i l i w y s

Hari keenam belas.

"Kak, ambilin selai cokelat, dong. Itu tuh di sebelah." Niki memanjangkan lengannya dan menunjuk pada small jar yang tidak jauh dari jangkauan Riki di seberangnya.

Alih-alih mendapatkan yang diinginkan, Niki malah mendapat jawaban ketus berupa, "Ambil aja sendiri. Punya tangan, kan?"

Wajah Niki langsung berubah masam. Cewek itu melirik mengadu pada Bunda di ujung meja, yang kebetulan tengah memandang Riki dengan keheranan. "Bun?" Nada memelas Niki terdengar.

"Kamu bikin masalah lagi ya sama Kakak?" selidik sang Bunda sambil menyerahkan selai cokelat pada Niki. Yang ditanyai segera menggeleng kuat-kuat.

"Nggak, kok."

"Terus, kenapa tuh Kakak kamu?" Bunda melirik sekilas si anak sulung yang sibuk dengan buku di tangan kiri, sementara tangan satunya menyuapkan roti ke mulut. "Kak, bukunya disimpan dulu, ih. Sarapan dulu."

"Bunda kayak nggak tahu aja deh. Kak Riki itu lagi pusing mikirin cara nyatain cinta ke Kak Anggit," ujar Niki santai. "Bunda belum lihat kan Kak Anggit kayak gimana? Cantik, lho, Bun. Menantu-able, hehehe."

"Jangan dengerin dia, Bun," kilah Riki dengan nada datar.

Namun, alangkah sialnya, Bunda justru bersemangat dengan cerita Niki barusan. Badannya condong agak ke depan, matanya bersinar-sinar penasaran. "Nggak mau diajak ketemu Bunda, Kak?"

Di lain sisi Riki yang menghela napas dan menatap lelah sang Bunda, Niki merogoh saku seragamnya kemudian mengeluarkan ponsel. Beberapa detik selanjutnya, layar ponsel sudah disodorkan pada Bundanya. "Cantik, kan?" tanya Niki. "Manis kayak aku ya, Bun?"

Raut Bunda langsung memberikan tanggapan positif. Anggukan kepala membuat Niki tertawa kecil. Melihat itu semua, tumbuh kecurigaan pada benak Riki. Dalam sekali rebut, ponsel milik Niki sudah berpindah tangan padanya. Matanya melebar begitu melihat gambar yang tertampil. Itu foto Anggit-yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Jelas, karena foto itu berasal dari aplikasi Onstagram milik Anggit yang bahkan Riki tidak tahu akan keberadaannya. Riki mengembuskan napas; nasib dirinya yang tidak pernah membuka aplikasi tersebut.

"Biar aku tebak," kata Niki di tengah kunyahannya, "Kakak pasti nggak tahu 'kan ada aplikasi kayak begituan? Mau ngepoin Kak Anggit jadi nggak bisa, deh. Yang dilihat foto profilnya mulu."

Astaga.

Suara kekehan halus terdengar dari Bunda.

Niki berkata lagi sebelum mengambil satu gigitan besar roti selainya. "Kak, satu lagi! Kalau mau modus yang keren dikit tuh, ucapin 'met bobo ya, have a nice dream'. Masa cuma 'selamat istirahat, ya'. Duh, aku nggak percaya kalau Kakak itu kakak aku!"

Kali ini, Bunda terkekeh lebih keras.

.

Anggit masih tertidur pulas di mejanya ketika istirahat kedua berakhir. Siswa-siswi berbondong kembali ke kelas, termasuk Riki yang selesai menunaikan solat di masjid sekolah. Perut Anggit terasa luar biasa sakit sejak pagi, kepalanya pusing dan dia sedikit merasa mual. Menstruasinya memang baru mulai hari ini. Kalau sempat, dirinya akan terkulai di meja dan berusaha tidur supaya tidak merasa sakit lagi.

Begitu Riki sampai di mejanya, dahinya terlipat melihat Anggit. Mendapati cewek itu tertidur memang sudah biasa, namun tidak apabila cewek itu berkeringat dan tampak pucat. Poni tipis pada dahi Anggit menempel karena basah.

Satu konklusi yang terlintas pada kepala Riki: Anggit sedang tidak baik-baik saja.

Dan benar saja, tatkala tangan Riki menyentuh kulit lengan Anggit untuk membangunkannya, dia merasakan panas tubuh yang tidak biasa. Sekujur tubuh Riki langsung menegang.

"Anggit." Riki mengguncang tubuh Anggit pelan. "Anggit, bangun. Badan lo panas."

Anggit menggeliat, matanya mengerjap-ngerjap dan tatapan sayunya pun terarah pada Riki.

"Kena-"

"Lo sakit. Gue antar pulang, ya?" Kecemasan kentara sekali pada suara Riki. Jujur saja, dia benar-benar khawatir. Suhu tubuh Anggit yang dirasanya tadi sangat tinggi.

"Kenapa, Ki?" Dari belakang, Mera muncul dengan penuh raut penasaran. Pandangan cewek itu tertubruk pada Anggit yang terlihat pucat dan tak bertenaga. Langkah kakinya pun segera diseret mendekati sahabatnya itu. "Lo kenapa, Nggit? Pucet banget. Sakit? Mau pulang aja?"

Anggit tidak mampu menjawab rentetan pertanyaan Mera. Dia hanya menggumam tidak jelas.

"Gue temenin izin ke BK, ya?" tanya Mera. Kemudiam beralih pada Riki. "Ki, lo antar Anggit pulang bisa?"

Tanpa pikir dua kali, tentu saja Riki mengangguk.

notes:

Mungkin akan selesai di part 10, entah ada epilog atau tida. Hehehe. Terima kasih yang udah nunggu dan menyempatkan membaca! Me loves you.

i like it when you sleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang