6

2.1K 547 10
                                    

Begitu memasuki kelas dan mencapai meja mereka, Anggit tahu benar ada sosok yang memperhatikannya sejak tadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Begitu memasuki kelas dan mencapai meja mereka, Anggit tahu benar ada sosok yang memperhatikannya sejak tadi. Dan sosok itu langsung saja memanggil-manggil namanya dengan berisik, membuat Anggit yang baru saja menaruh tasnya di kursi menoleh malas.

"Sini, sini!" Mera mengibaskan tangannya, meminta Anggit menghampirinya.

Walaupun tahu apa yang akan dilakukan oleh kawannya itu, Anggit menuruti. Dia melewati beberapa meja hingga sampai di tempat Mera duduk. Seperti habis mendengar bahwa idolanya barusan putus dengan sang pacar, Mera semangat berbisik-bisik.

"Kok lo bisa bareng sama Riki?" Mera mengedip-ngedipkan matanya cepat berkali-kali.

Anggit memutar bola mata. "Ketemu tadi di parkiran."

"Halah," sahut Mera. "Kalian berangkat bareng kan pasti?"

Mengempit bibirnya, Anggit pun menjawab, "Kalau iya, memangnya kenapa? Kalau enggak...."

"HAH? BENERAN? LO SAMA RIKI?"

Dan detik itu juga, Anggit bersumpah ingin membunuh Mera dengan cara yang paling sadis di dunia ini. Sementara yang barusan berteriak dan memicu pandangan nyaris setengah penghuni kelas menuju pada Anggit dan Mera, tampak tidak bersalah sama sekali. Malah cengengesan, tak terpengaruh oleh tatapan tajam Anggit.

"Mulut lo tuh ya," desah Anggit, "pengin gue amplas tahu, nggak?"

"Hehehehe, ganas banget sih. Kelepasan, Nggit. Sori lah ya. Lagian Riki tampak tidak terganggu tuh, adem ayem aja kayaknya." Mera mengedikkan dahunya ke belakang punggung Anggit, yang sesegera mungkin memutarkan kepala Anggit ke arah yang dimaksud.

Oh, ya, tak heran sih apabila Riki hanya diam saja. Memangnya, apalagi yang bisa ditebak dari seorang Riki Pramudya?

"Cie cie..."

Anggit melengos, kemudian berlalu ke mejanya.

i l i w y s

Ketika jarum pendek sudah merambat ke angka tiga, alias saat mata pelajaran terakhir, tak pelak kantuk akan selalu menyerang. Anggit sudah menguap beberapa kali sampai mata berair. Namun kali ini, dia masih berusaha menyegarkan diri, entah dengan melakukan sejumlah gerakan peregangan otot sampai mencubiti diri sendiri.

Tentu saja, Riki sadar akan hal itu. Oleh karenanya, Riki juga sempat tersenyum sembunyi-sembunyi melihat kelakuan teman sebangkunya.

Sampai ujung-ujungnya, Riki merasa kasihan.

"Lo nggak tidur aja, Nggit?"

Mendengar pertanyaan itu tiba-tiba, Anggit tampak linglung sebentar. Dalam hatinya, nggak salah nih Riki tanya begitu?

"Hm, nggak." Anggit mengirup udara banyak-banyak. Riki memasang raut paham, lalu kembali menyimak penjelasan guru. Untung saja, guru matematika yang tengah mengajar biasanya bodo amat dengan kelakuan anak-anak di kelas. Selesai beberapa detik berlalu, suara Anggit kembali terdengar. "Adik lo cewek, Ki?"

"Eh? Iya."

"Oh, pantes. Jahil banget, ya, emang?"

Riki meloloskan napas. "Ya begitulah." Lalu memalingkan muka dengan raut bersalah pada Anggit. "Sori, ya."

Di luar dugaan, Anggit tertawa. Apalagi melihat raut cowok itu. Apakah Riki memang merasa sebersalah itu? Toh, Anggit juga tidak mempermasalahkannya. Itu bukan suatu hal yang besar, bukan?

"Santai aja, kali. Lagipula gue tahu kok lo nggak mungkin ngirim chat begituan. Ada 'hehe'-nya pula. Nggak lo banget. Punya adik lucu juga, ya? Lo pasti langsung berantem sama adik lo ini, ya?"

"Gue ... biasanya nggak menanggapi dia sih. Gue males berantem. Kalau dia ngapa-ngapain, ya gue diemin aja."

"Serius?" Anggit maju beberapa senti. Kemudian mundur lagi. "Yah, nggak heran, sih. Beruntung banget adik lo dapat kakak kayak lo, ya."

Percakapan pun terus berjalan. Kegugupan yang awalnya melingkupi Riki mulai meleleh seiring dengan bergulirnya waktu. Hingga bel tanda sekolah berakhir pun terdengar, mereka masih sesekali saling membalas di sela-sela merapikan barang.

"Btw, ekskul lo apa, Ki?" Anggit bertanya.

"Basket."

Gerakan Anggit lantas terhenti. "Hah? Basket?"

Riki mengangguk.

"Demi apa?"

Bukan apa-apa sih, tapi awalnya Anggit justru mengira Riki akan mengikuti ekstrakurikuler semacam KIR atau bahkan Olimpiade, mungkin? Secara dilihat dari wajah, Riki tampak seperti anak-anak teladan pendiam. Tidak, memang kenyataannya begitu. Tapi ... basket? Anggit sama sekali tidak pernah membayangkannya. Walaupun dia mengakui bahwa dalam pelajaran olahraga, Riki cukup baik mengikutinya. Tidak kaku.

"Kenapa emangnya?"

Anggit pun tersadar. "Ah ... nggak. Sedikit ... di luar dugaan gue aja. Tapi nggak penting. Eh iya, btw boleh dong gue minta tolong?"

Pertanyaannya itu pun dibalas oleh alis Riki yang meliuk ke atas.

"Majalah sekolah kan bakal bahas tentang ekstrakurikuler tuh, nah gue butuh wawancara sama personil tiap ekstra. Kalau perlu ketuanya sih, tapi kalau yang lain juga nggak papa. Berhubung gue nggak kenal sama anak-anak basket, bisa nggak lo ... apa ya, menjembatani gitu? Eh, apa gue wawancara lo aja, ya?"

"Lebih baik lo wawancara Arman aja, kapten tim. Gue bisa kok atur waktunya."

Muka Anggit tampak berseri. "Oh ya, hari latihan kalian hari apa aja?"

"Selasa sama Kamis."

"Oke. Kalau bisa aturin sekalian ya biar kalian pake seragam basket juga. Buat foto."

Riki mengangguk paham.

"Makasih banyak, Ki!"

i like it when you sleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang