Hari Keempat.
Kalau tidak salah hitung, Anggit sudah tidur tiga kali hari ini. Itu pun belum terhitung jam-jam pelajaran berikutnya yang kemungkinan besar juga akan dihabiskan dengan hal yang sama. Durasi waktunya memang tidak begitu lama, hanya sepotong-sepotong seperti lima belas menit per pelajaran. Riki sampai heran kenapa Anggit hobi tidur di sekolah. Apakah gadis itu kurang tidur di rumah atau jangan-jangan mengidap insomnia? Ah, tidak mungkin. Buktinya ketika gadis itu masih sebangku dengan Mera, Riki jarang mendapatinya tertidur di kelas.
Eh. Iya, Riki akui dia memang cukup sering memperhatikan Anggit hingga bisa seyakin itu.
Sebenarnya Riki tidak masalah dengan kebiasaan baru Anggit (baca: tidur) karena dia pun akan sulit untuk berkonsentrasi kalau Anggit menunjukkan tanda-tanda sedang terjaga. Bukan apa-apa, tapi Riki saja sudah dibuat buyar dengan kenyataan mereka duduk sebangku. Memang harusnya tidak ada yang salah. Namun segalanya bisa menjadi salah apabila melibatkan perasaan.
"Eh, Ki, lo bawa laptop nggak?" Sebuah tanya dari sebelah membuat Riki mengalihkan diri dari depan kelas. Anggit tengah menatapnya.
Sekali lagi, Anggit tengah menatapnya. Dengan mata membulat yang amat cantik.
"Bawa."
"Oh, oke." Cengiran menghiasi wajah Anggit beberapa jenak. "Gue kira nggak."
Riki kembali memfokuskan diri pada penjelasan guru di depan. Ketika waktu berjalan cukup lama dan guru yang tengah mengajar memerintahkan sekelas untuk mengerjakan soal di buku, Riki melirik sekilas ke samping dan mendapati Anggit dalam posisi tidurnya. Kepala di atas lipatan lengan, mata terpejam, rambutnya yang panjang menutupi sebagian wajah. Kenyataan bahwa Riki dapat melihat itu semua dari dekat membuat segalanya tampak surreal di mata Riki.
Tak butuh berapa lama Riki sudah terlibat dalam perang batin.
Bangunin nggak?
Bangunin lah, tolol.
Tapi dia lagi tidur.
Semua orang juga tahu dia lagi tidur.
Tapi....
Cemen amat sih bangunin cewek doang!?
Pft.
"Anggit."
Riki mengetuk pelan kening gadis itu dengan ujung bolpoin. Syukurlah detik berikutnya Anggit membuka mata.
"Hah? Kenapa?" tanya Anggit dengan suara kecil.
"Ngerjain soal. Dikumpulin."
Anggit mengerjap. Membeo, "Oh...."
i l i w y s
"Lo udah baca jurnalnya?"
Riki membuka percakapan ketika mereka mencapai sebuah meja batu di sebelah taman berair mancur yang biasa dijadikan tempat nongki-nongki anak-anak saat istirahat. Tempat itu kini lumayan sepi, hanya ada beberapa anak sebanyak hitungan jari.
Anggit sudah lebih dulu duduk dan membuka bungkus makanan berlandaskan semangat kelaparan. "Baru setengah. Lo?"
"Udah," sahut Riki singkat. "Kalau gitu lo lanjutin baca dulu aja sambil makan."
Anggit manggut-manggut sambil mengunyah.
Untuk beberapa lama, keduanya tenggelam dalam aktivitas masing-masing; Anggit menghabiskan makan sambil menggulir layar ponsel--membaca artikel jurnal dari sana--sementara Riki sibuk dengan laptopnya. Hingga tiba pada suapan terakhir, Anggit akhirnya merobek keheningan.
"Ini fokusnya lebih ke teknologinya, ya? Bukan penelitian, jadinya nggak ada setting sama subjeknya."
Tanpa beralih dari laptop, Riki menggumam mengiakan. "Lo mau coba buat rangkumannya dulu? Nanti gue bakal ngoreksi hasilnya sekalian buat power point. Lo juga nanti bisa ngoreksi balik."
"Boleh, boleh."
Dengan itu, Riki menyorongkan laptopnya ke arah Anggit. Dan selama beberapa menit ke depan, Riki hanya memperhatikan Anggit bekerja sembari sesekali mengecek hasilnya. Sesungguhnya, Riki mati-matian menahan debar di dada. Ada yang tidak beres di dalamnya. Dia pun tahu pasti itu ada hubungannya dengan sosok di depannya.
Anggit.
"Ki, ada maksimal halamannya, kan?"
Riki masih terpekur dalam kubangan pikirannya sendiri, tidak menyadari bahwa Anggit melempar tanya.
"Ki?"
"Eh? Iya."
"Berapa?"
Ada kerut pada kening si lelaki. "Apanya?"
Anggit berkedip lambat, memandangi Riki blak-blakan; yang mana sangat berpengaruh hebat pada lelaki itu. Selolosan kekeh kemudian mengudara di antara mereka. "Lo udah makan belum, Ki? Kayak nggak fokus gitu."
Riki salah tingkah. "Lo tanya apa tadi?"
"Halaman rangkumannya ada aturan maksimalnya nggak?" Dari caranya mengulang pertanyaan, Riki tahu Anggit masih berusaha untuk tidak tertawa.
Sialan, sialan!
"Ada. Dua halaman."
"Nice," seru Anggit pelan lantas mengembalikan laptop Riki. "Nih, udah selesai. Coba lo lihat."
Riki entah bagaimana membisikkan kata syukur dalam hati. Setidaknya, ada kesibukan yang bisa meredam urat malu yang sudah membengkak. Riki meraih laptop. Mulai menyisiri tulisan-tulisan yang tercetak pada layarnya.
Waktu merangkak.
Barangkali Riki terlalu memusatkan perhatian pada tugas, karena ketika pandangannya tak sengaja terarah pada Anggit, gadis itu tengah terlelap. Dengan posisi dagu yang berada di atas tumpukan lengan. Ketiduran selagi menunggu.
Berbeda dengan apa yang Riki saksikan di kelas, kali ini dia sebebas-bebasnya mengamati seluruh wajah Anggit. Dari mata, hidung, hingga bibir. Pipi tirus. Poni tipis.
Riki bertopang dagu. Mengesampingkan tugas. Mungkin Riki nekad, tapi bagaimana kalau sekarang memanfaatkan kesempatan selagi ada?
➂
KAMU SEDANG MEMBACA
i like it when you sleep
Short StoryMulanya Anggit tidak masalah dengan sistem pengacakan tempat duduk tiap beberapa waktu sekali. Namun, pendapatnya lantas berubah ketika ia mendapat teman sebangku yang tidak seru sama sekali. Namanya Riki dan Anggit harap satu bulan bakal cepat berl...