Hari Pertama.
Anggit mengetukkan kakinya ke lantai dengan kesal. Tangannya menyangga kepala dan poninya sudah awut-awutan lantaran sering diacak beberapa menit sekali. Tidak jarang gadis itu menghela napas berat, pula mendesah pelan berlebihan. Siapa pun, tolong Anggit! Dia sudah tidak tahan lagi; Anggit kebosanan setengah mati. Parahnya lagi, guru seni itu masih saja melontarkan kalimat yang sulit untuk dilahap otak, membuat kepalanya pusing, dan kedua matanya jadi berat.
Jangan bilang kalau Anggit tidak berusaha untuk menghalau kantuknya itu. Dia sudah mengerahkan segala cara—bersenandung, melihat ke luar jendela, mencoret-coreti halaman bukunya yang kosong dengan gambar amatiran sampai kata-kata jelek yang bisa membuat kelas gempar kalau tiba-tiba Anggit teriakkan di tengah-tengah pelajaran. Segalanya sudah dia upayakan.
Dilihatnya Mera, kawan dekatnya, duduk di baris sebelah dan tampak tidak masalah dengan pelajaran yang membosankan karena, terang saja, gadis itu punya teman mengobrol. Ah, asyik sekali. Sementara itu, lihatlah Anggit yang bahkan bingung pula enggan untuk mengajak bicara teman sebangku yang kelewat tidak seru. Namanya Riki dan Anggit harap satu bulan bakal cepat berlalu.
Anggit akhirnya bersandar pada dinding, tubuhnya menghadap Riki yang tampak santai sekali mendengarkan ocehan guru di depan. Heran deh, dia ngerti memangnya? Bahasa alien begitu. Gadis itu mendecak pelan dan melihat sekitar. Beberapa anak sudah ada yang terbawa ke alam mimpi, paling banyak dari mereka mengobrol dengan kawan sebelah atau sibuk sendiri. Andai Anggit bisa menyibukkan diri dengan sesuatu, dia tidak akan merana. Sayangnya, sesuatu saja Anggit tidak punya, dia kehabisan ide.
O, ya Tuhan. Anggit menatap lagi Riki. Lalu, ditendangnya pelan tulang kering Riki. Lelaki itu menoleh sebagai respons, sekaligus melempari Anggit dengan sorot tanya.
"Tutupin gue dong," kata Anggit selepas mengirup udara pendek. Riki mengangkat alisnya sebelah, membuat Anggit mendesah. Gadis itu menambahkan, "Gue mau tidur dan karena lo tampak sangat berkonsentrasi merhatiin pelajaran, sekalian aja tutupin gue biar nggak kelihatan sama ibunya."
Riki masih menatapnya, namun Anggit kepalang tidak peduli. Dia segera merebahkan kepala di tumpukan lengan dan memejamkan mata. Oh, Tuhan, berilah Anggit mimpi yang indah.
i l i w y s
"Lo tahu nggak sih, gue nggak paham kenapa anak-anak pada rela diperlakukan selayaknya anak kecil. Kita udah SMA, Mer," alun Anggit lancar sekali. Dia memang butuh tempat untuk berkeluh kesah atas pertidaksetujuannya dengan ide menggilir tempat duduk. Memangnya Anggit anak TK? "Dan lo pula yang tampak baik-baik aja dengan penindasan itu."
Mera memandang temannya bosan, memutar butir mata, dan maju beberapa senti ke depan. "Kita semua memang baik-baik aja dengan itu, Nggit, pun sampai sekarang. Lo protes karena lo lagi nggak bejo dengan sebangku sama Riki."
KAMU SEDANG MEMBACA
i like it when you sleep
Short StoryMulanya Anggit tidak masalah dengan sistem pengacakan tempat duduk tiap beberapa waktu sekali. Namun, pendapatnya lantas berubah ketika ia mendapat teman sebangku yang tidak seru sama sekali. Namanya Riki dan Anggit harap satu bulan bakal cepat berl...